Meski luas izin konsesi di Kaltim mencapai 21,7 juta hektare dari luas total provinsi 19,6 juta hektare, bukan berarti kondisi riilnya demikian. Luas konsesi yang justru lebih besar dari luas provinsi disebabkan kasus tumpang tindih lahan di daerah ini yang sangat besar.
Kepala Kanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kaltim Made Ngurah Pariatna mengatakan, ada 742 kasus tumpang tindih lahan. Luas konsesi yang memunculkan angka yang demikian luas, diperkirakan karena termasuk kawasan hutan. Kawasan hutan disebut tak terhitung sebagai luas provinsi.
“Aturan memungkinkan tambang berada di kawasan hutan,” ucapnya kepada wartawan, kemarin (30/5).
Dikatakan, tumpang tindih didominasi konsesi perkebunan dan tambang. Saat berproses, izin perkebunan mestinya sudah klir karena sebelum dikeluarkan harus ada kesepakatan antara pemegang izin tambang dan perkebunan. Tanpa itu, izin tak bisa diproses kecuali di-enclave.
“Sementara izin lokasi kawasan pertambangan bertahap diselesaikan. Kuncinya ada di bupati/wali kota,” sebut dia.
Made memastikan kasus tumpang tindih lahan terus diinventarisasi. Jumlah kasus pun diyakini sudah berkurang dari 742. Namun demikian, dia belum tahu persis berapa kasus yang berkurang tersebut.
Dalam kesempatan berbeda, Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman Sigit Hardwinaro mengatakan, sejak era otonomi daerah, tumpang tindih lahan makin banyak karena pemda punya wewenang mengeluarkan izin. Kerusakan hutan pun makin masif, terlihat dari kondisi lahan yang makin kritis. Dalam satu areal hutan, muncul izin perkebunan tetapi terdapat pula izin tambang di lokasi yang sama.
Adapun data sementara Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Mahakam Berau mencatat lahan kritis di Kaltim tercatat seluas 1,03 juta hektare. Sementara kategori agak kritis 7,86 juta hektare, sangat kritis 77 ribu hektare, dan potensial kritis 8,18 juta hektare. Sedangkan lahan tidak kritis hanya 2,31 juta hektare. Jika dipersentasekan, lahan kritis Kaltim-Kaltara mencapai 46,10 persen.
Dalam pemberitaan sebelumnya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) protes keras karena kondisi lingkungan Tanah Borneo semakin darurat. Lebih 50 juta hektare lahan Kalimantan jadi kawasan bisnis tambang hingga perkebunan.
Kalimantan Selatan (Kalsel) yang memiliki luas 3,7 juta hektare, sebanyak 2,3 juta hektare di antaranya dikuasai investasi. Begitu juga Kalimantan Barat (Kalbar) yang memiliki daratan 14,7 juta hektare, mendapat penguasaan investasi mencapai 13,6 juta hektare.
Sedangkan Kalimantan Tengah (Kalteng) dengan luas daratan 15,3 juta hektare, terdapat penguasaan investasi mencapai 12,8 juta hektare. Dan, yang paling mengejutkan adalah Kaltim. Dari 19,6 juta hektare, luas izin telah mencapai 21,7 juta hektare.
Jika dihitung-hitung, lahan yang dikuasai investor mencapai 50,4 juta hektare dari total luas 53,3 juta hektare tanah Kalimantan atau mencapai 94,5 persen!
Isu ini mengemuka dalam konsolidasi WALHI se-Kalimantan di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Konsolidasi dalam rangka menghadapi pemerintahan baru tersebut mencuatkan kondisi Kalimantan yang semakin darurat pengelolaan lingkungan, berlangsung 27 Mei.
Jelang Pemilu Presiden (Pilpres) 9 Juli, WALHI meminta pemerintahan baru melakukan pemeriksaan menyeluruh serta komprehensif terhadap kebijakan yang merugikan rakyat dan negara. Pemeriksaan ulang izin perusahaan rakus lahan mesti jadi sasaran utama.
“Pemerintahan ke depan harus mengakomodasi dan memfasilitasi rakyat terhadap wilayah kelola serta sumber kehidupan,” ujar Direktur Eksekutif WALHI Kaltim Fathur Roziqin Fen.
“Momentum 2014 ini adalah awal bagi pemerintahan ke depan mengeluarkan dan melaksanakan kebijakan iklim yang komprehensif, detail, dan bertanggung jawab,” sambung Fathur. RedFj/KP