Jejak Tambang Sang Ketum

Jejak Tambang Sang Ketum

KEPALA Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Kutai Timur (Kutim), Kalimantan Timur (Kaltim), Wijaya Rahman, masih mengingat kejadian pada awal 2010. Suatu siang, seorang utusan Grup Permai, Khalilur R. Abdullah Sahlawiy alias Lilur, menemuinya di pusat perkantoran Bukit Pelangi, Sangatta, guna mengurus izin usaha pertambangan batu bara PT Arina Kota Jaya. “Ia datang sendiri,” kata Wijaya, Jumat (13/6).

Lilur tak cuma sekali menemui Wijaya di ibu kota Kabupaten Kutai Timur itu. Sepanjang Januari-Maret 2010, ia lima kali datang. Wijaya juga pernah bersua dengan Lilur di sebuah kedai kopi di Jakarta. Setelah Lilur berkali-kali melobinya, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kutim menerbitkan izin eksplorasi pertambangan batu bara untuk Arina pada 26 Maret 2010.

Konsesi PT Arina berada di area hutan produksi seluas 10 ribu hektare di perbatasan Kecamatan Bengalon dan Kecamatan Kongbeng. Di dalamnya terdapat tanaman kopi dan cengkih. Ada pula kebun warga dan hutan rakyat. Dari akta perusahaan, Wijaya mengetahui pemilik PT Arina adalah Syarifah dan Nur Fauziah, yang beralamat di Jakarta. Masing-masing memiliki 50 persen saham perusahaan. “Tidak ada nama Lilur di situ,” ujarnya.

Sebelumnya, Wijaya mengaku tak mengetahui Ketua Umum Partai Demokrat 2010-2013 Anas Urbaningrum dan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin adalah pemilik PT Arina. Ia baru menyadarinya setelah penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi memeriksanya sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi Anas, empat bulan lalu.

Mindo Rosalina Manulang, mantan anak buah Nazar, mengungkapkan Syarifah dan Nur adalah pegawai Grup Permai milik bosnya itu. “Mereka di bawah saya,” katanya Kamis pekan lalu. Rosalina juga mengenal Lilur sebagai pegawai Grup Permai. Tapi ia mengaku tak tahu soal pengurusan izin tambang itu.

Maret lalu, Nazar membeberkan kepada penyidik KPK bahwa pemilik PT Arina adalah Anas, yang pada waktu memimpin Demokrat dipanggil “Ketum”. Menurut dia, Anas memiliki enam perusahaan tambang yang tersebar di Kalimantan Timur dan Kepulauan Riau. Anas membantah tudingan Nazar itu.

Keberadaan tambang batu bara itu penting bagi penyidik karena Anas diduga melakukan tindak pidana pencucian uang, di antaranya lewat pengurusan izin tambang. Dalam dakwaan yang dibacakan jaksa Yudi Kristiana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jumat tiga pekan lalu, Anas ditengarai mengorupsi berbagai proyek pemerintah sejak menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada 1 Oktober 2009. Proyek tersebut antara lain pembangunan pusat pendidikan dan pelatihan olahraga di Bukit Hambalang, Bogor, Jawa Barat, dan sejumlah proyek di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional pada 2009-2010.

Ia diduga menerima suap hingga Rp 167 miliar, menerima hadiah satu unit Toyota Harrier seharga Rp 670 juta dan satu unit Toyota Vellfire seharga Rp 735 juta, serta menerima fasilitas survei senilai Rp 478 juta. Jaksa Yudi mengatakan fulus itu digunakan untuk memenangkan Anas menjadi Ketua Umum Demokrat dalam kongres di Bandung pada 2010 serta untuk memuluskan langkah Anas menjadi presiden.

Yudi mengatakan uang yang dihimpun Anas bersama Nazar untuk persiapan menjadi presiden dan sisa dana pemenangan di kongres digunakan buat membeli sejumlah aset. Antara lain enam petak tanah dan bangunan di Duren Sawit, Jakarta Timur, dan di Yogyakarta seharga Rp 20 miliar. Juga buat pengurusan izin tambang di Kutai Timur. “Patut diduga uang itu sebagai hasil dari tindak pidana korupsi,” ucap Yudi.

Khusus untuk tambang di Kutai Timur, kata Yudi, Grup Permai mengeluarkan cek senilai Rp 3 miliar dalam tiga tahap. Tahap pertama Rp 2 miliar, lalu dua tahap berikutnya masing-masing Rp 500 juta. Dari total dana itu, Grup Permai mengucurkan Rp 600 juta ke Dinas Pertambangan dan Energi Kutai Timur untuk pengurusan izin dan survei lokasi. Tapi Wijaya membantah pernah menerima uang dari Grup Permai. “Pengurusannya gratis.”

Anas membantah dakwaan jaksa. “Aset saya yang disita saya beli dari penghasilan halal setelah berhenti jadi anggota DPR,” katanya Jumat (6/6). Ia juga menganggap jaksa berhalusinasi dan mendakwanya secara politik. Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi akan membacakan putusan sela perkara itu Kamis (19/6).

Kaitan antara Anas dan Nazar dalam pengurusan izin tambang dibeberkan dalam dakwaan jaksa. Pada awal 2010, keduanya bertemu dengan Bupati Kutai Timur Isran Noor di Hotel Sultan, Jakarta Selatan. Lilur dan Gunawan Wahyu Budiarto, pegawai Grup Permai, ikut hadir. Mereka membincangkan pengurusan izin PT Arina. “Izin usaha pertambangan itu akan digunakan untuk perusahaan terdakwa,” ucap Yudi.

Isran mengakui beberapa kali bertemu dengan Anas sebagai sesama kader Demokrat. “Saya tidak pernah bertemu dengan Anas untuk urusan tambang,” kata Isran awal Juni lalu.

Karena kasus rasuah ini, area tambang PT Arina di Kutai Timur mangkrak. Wijaya mengatakan izin eksplorasinya dibekukan sejak KPK menyitanya. “Perusahaan belum menambang karena harus ada izin penggunaan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan.”

Selain area tambang, aset yang dipersoalkan adalah tanah seluas 7.870 meter persegi di Kelurahan Mantrijeron, Yogyakarta. Pada Rabu pagi pekan lalu, area seluas lapangan sepak bola ini terlihat lengang. Padahal biasanya santri Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta, milik KH Attabik Ali-ayah Athiyyah Laila, istri Anas-berolahraga di tempat itu. Di tanah itu terdapat lapangan bola basket, bola voli, dan sepak bola berukuran mini. “Ada santri yang biasa main di situ,” ujar Ketua Rukun Warga 10 Mantrijeron, Singgih Maryanto.

Lahan ini menjadi satu-satunya tanah kosong terluas di Mantrijeron. Lokasinya berada di Jalan D.I. Panjaitan Nomor 139, sekitar seratus meter dari gedung Pesantren Krapyak. Di pagar pembatas tanah itu terdapat papan pengumuman yang menyatakan tanah disita KPK sejak 6 Maret lalu.

Singgih tinggal bersebelahan dengan tanah itu. Ia bercerita tanah itu sempat berpindah-pindah kepemilikan sebelum dibeli Anas atas nama Attabik. Mulanya tanah itu milik Sigit, warga Pasar Gading, Yogyakarta, lalu dibeli Petrik Darmawan, pengacara di Kota Gudeg. Petrik kemudian menjualnya kepada Onggo Setiyono, yang tinggal di Jalan Brigadir Jenderal Katamso, Yogyakarta. “Dari Onggo lalu dibeli Pondok Pesantren Krapyak,” kata Singgih.

Berdasarkan dokumen jaksa, Anas membeli tanah ini melalui Attabik pada 20 Juli 2011. Pada tanggal yang sama, juga lewat Attabik, Anas membeli tanah 200 meter persegi tak jauh dari lokasi tanah pertama. Keduanya dibeli seharga Rp 15,7 miliar secara tunai dan barter. Total pembayaran tunai sebesar Rp 1,57 miliar dan US$ 1,1 juta. Sisanya dibayar menggunakan 20 batang emas seberat total seratus gram serta ditukar dengan dua bidang tanah seluas 1.069 dan 85 meter persegi di Mantrijeron.

Juru bicara KPK, Johan Budi S.P., mengatakan tanah-tanah tersebut disita KPK karena diduga terkait dengan kasus korupsi dan pidana pencucian uang Anas. Adapun pengacara Anas, Firman Wijaya, tak berkomentar banyak mengenai hal ini. “Nanti akan kami validasi di pengadilan,” katanya Jumat (13/6). [] RedIrw/Temp

Nasional