Rusuh di Kebut Sawit PT Agro Bukti

Rusuh di Kebut Sawit PT Agro Bukti

PALANGKA RAYA – Konflik menghebohkan terjadi di Kotawaringin Timur (Kotim), Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng). Seteru melibatkan masyarakat Desa Penyang, Kecamatan Telawang dengan manajemen PT Agro Bukti, perusahaan sawit yang punya konsesi sangat luas di Kotim.  PT Agro Bukti sebagai pemilik modal, dibeking aparat. Akibatnya, seorang warga tewas sia-sia akibat rusuh tersebut.

Peristiwa rusuh terjadi pada pekan kedua Juni lalu (12/6). Ratusan Ratusan warga Desa Penyang nekat mendatangi perkebunan sawit PT Agro Bukti untuk menuntut penggantian lahan mereka yang dicaplok. Ada tudingan, mereka melakukan penjarahan buah kelapa sawit milik perusahaan PT Agro Bukit. Pihak perusahaan tentu tak terima, dengan bantuan aparat kepolisian yang entah berasal dari kesatuan mana, menghalau dan menembaki warga. Banyak yang mengalami luka-luka akibat bentrokan. Salah seorang warga, Ajak Sarmito bahkan terkena sasaran peluru senjata api milik aparat. Ia akhirnya tewas.

Tewasnya Ajak Sarmito seperti memicu perlawan warga. Warga menggalang dukungan dari banyak pihak, mulai dari anggota legislatif hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang peduli terhadap nasib warga yang tertindas tersebut. Seperti yang berlangsung Jumat lalu (20/6), warga mendatangi markas DPRD Kalteng di Jl. S. Parman Nomor 2, Palangka Raya.

Warga Desa Peyang tak datang sendiri, mereka didampingi 14 or­ganisasi kema­sya­rakatan dan kepemuda­an. Setelah sebelumnya menggelar demontrasi di Bundaran Besar, Kota Pa­lang­ka Raya, mereka mendatangi kantor DPRD Kalteng. Ke-14 organisasi itu terdiri da­ri Walhi Kalteng, SOB, YBB, YPD, LDP, JPIC Kalteng, Agra, GMNI, FMN, Aman, Hima Barut, KH2 Institute, dan Ma­pa­la Comodo.

Massa menuntut semua pi­hak terkait mengusut tuntas kasus penembakan yang me­newaskan warga Kabupa­ten Seruyan bernama Ajak Sa­r­mito. Kasus itu terjadi di di Desa Pe­nyang, Kotim. Pelaku penembakan dapat dipastikan aparat Kepolisian Resor Ko­tim yang kala itu sedang ber­tugas menjaga keamanan di perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Agro Bukit.

Masa berkumpul di Kantor DPRD Kalteng

“Konflik di Desa Penyang su­dah lama terjadi namun tidak diselesaikan oleh peme­rin­tah. Masyarakat sudah ba­nyak berupaya mengambil jalan kooperatif dalam me­nuntaskan masalah demi men­dapatkan hak mereka kembali. Tapi upaya itu se­akan sia-sia karena usaha yang dibangun baik melalui ja­lur pemerintah maupun lain belum ada jawaban yang me­muaskan. Padahal, konflik antara masyarakat dan pe­rusahaan sudah terjadi se­jak 2002 atau ketika perusa­ha­an itu mulai beroperasi,” ung­kap koordinator demo Afan­di.

Ia menilai, munculnya konflik antarwarga dan perusa­ha­an lantaran pemerintah ku­rang serius menanggapi ma­salah itu. Bahkan terke­san dibiarkan berlarut-larut. Se­dangkan kesabaran masya­ra­kat kian menipis sehingga me­reka mengambil langkah ini­siatif untuk memanen buah sawit di lahan sengke­ta.

“Kami memandang kasus pe­manen sawit bukan dari se­gi kriminalitasnya. Namun kami melihat bahwa ini adalah bentuk protes yang dilakukan masyarakat atas lambannya penangan­an pemerintah terhadap kon­flik lahan yang selama ini terjadi.

Setelah berorasi selama sekitar 90 menit di Bundaran Besar dengan dikawal ketat aparat kepolisian, massa ngeluruk ke kantor DPRD Kalteng. Mereka disambut wakil rakyat dan memberikan dukungan atas pengusutan atas kasus penembakan tersebut dan agar konflik lahan di kebun PT Agro Bukti dapat diselesaikan.

Di ruang Badan Musyawarah DPRD Kalteng, Wakil Ketua DPRD Kalteng Arief Budiatmo, serta anggota dewan dari dapil II Kotim dan Seruyan Artaban, Iswanti, dan Heru Hidayat, melayani diskusi dengan para demonstran.

Yohanes Tanggap, juru bicara pengunjuk rasa, menuturkan bahwa konflik di Desa Penyang dengan PT Agro Bukit merupakan perkara lama yang belum terselesaikan. “Dari tahun 2002, namun pemerintah tidak serius menyelesaikan persoalan ini. Kami mendesak aparat menindak anggotanya yang melakukan penembakan,” kata Yohanes.

Para demonstran membawa enam pernyataan sikap seperti mengutuk aksi penembakan warga di desa Penyang, meminta aparat menarik anggotanya dari perusahaan perkebunan, usut dan seret pelaku penembakan ke pengadilan, mendesak pemerintah untuk segera menyelesaikan konflik agraria, mendesak pemerintah mengevaluasi perizinan PT Agro Bukit, serta kembalikan tanah masyarakat.

“Menurut catatan Walhi Kalteng, konflik agraria di Kalteng mencapai 300 kasus. Jika aparat penegak hukum melakukan cara-cara kekerasan dalam menyelesaikan konflik, artinya itu merupakan gambaran umum betapa buruknya proses penanganan konflik agraria di Kalteng,” tukasnya.

Arief Budiatmo berjanji segera mengambil langkah-langkah penanganan konflik yang terjadi di Kotim dan memakan korban jiwa tersebut. “Kami akan seret pelaku ke ranah hukum dan jika terbukti tentu harus ditindak tegas. Minggu depan paling lambat harus dilaporkan kasus ini,” tegasnya.

DPRD Kalteng juga segera berkordinasi dengan aparat terkait kasus penembakan tersebut. Pasalnya, kasus penembakan tersebut harus dicermati dan diselesaikan dengan tuntas. “Kami siap mengawal segketa lahan yang terjadi di PT Agro Bukit,” tukas Arief.

Dewan juga berjanji akan melakukan rapat dengar pendapat (RDP) dengan pemerintah, aparat, dan pihak terkait dalam penyelesaian konflik agraria di Kotim. “Setelah Pilpres kami akan panggil semua untuk rapat dengar pendapat,” tegasnya.

TERJADI DI BANYAK DAERAH

Secara terpisah, anggota Komisi C DPRD Kalteng, Rahmat Nasution Hamka, turut angkat bicara terkait kasus sengketa lahan antara masyarakat dengan perusahaan PT Agro Bukti yang terjadi di Kotim. Dugaan penembakan oleh aparat keamanan hingga menyebabkan Aja Sarminto meninggal dunia.

Rahmat Nasution Hamka

Menurut Rahmat, kasus sengketa lahan antara masyarakat dengan perusahaan terjadi merata hampir di semua kabuapaten yang daerahnya memiliki Perusahaan Besar Swasta (PBS).

“Ini terjadi merata, tak terkecuali di daerah saya, Kotawaringin Barat,” ucap Rahmat usai menerima para anggota Sekretariat Bersama (Sekber) yang menyampaikan aspirasinya kepada anggota DPRD Kalteng, pekan kedua Juni lalu.

Untuk itu, ia meminta agar sekretariat bersama, pengaduan dan penanganan konflik agraria dan sumber daya alam yang telah terbentuk, dapat dipermanenkan. Ini dilakukan untuk mempermudah dalam mempersiapkan strategi melawan ketidakadilan yang terjadi dimasyarakat sekitar PBS.

“Saya sangat mendukung apa yang dilakukan Sekber. Tetapi alangkah lebih baiknya jika sekber ini dipermanenkan sehingga dapat lebih intens untuk melakukan diskusi-diskusi dalam menyusun strategi untuk melawan ketidakadilan yang terjadi di masyarakat,” ucap Rahmat berapi-api.

Ia mengaku siap terlibat dan membantu dalam gerakan yang digagas Sekber yang melibatkan Walhi, Save our Borneo, YBB, LPD, JPIC Kalteng, AGRA, GMNI, AMAN, FMN, Hima Barut, KH2 Institut, dan Mapala Comodo Unpar.

“Saya siap membantu dan terlibat langsung, saya punya berbagai strategi untuk melawan ketidakadilan tetapi tidak dengan kekerasan. Saya siap berbagai dengan kawan-kawan dan saya yakin kita bisa membantu menyelesaikan persoalan ini,” kata Politisi muda dari PDIP itu.

Ia juga meminta sekber yang telah terbentuk agar terus berjuang dan menyuarakan pembelaan kepada masyarakat, dan tidak hanya berhenti pada kasus yang sedang terjadi. Tetapi terus proaktif memberikan masukan dan mengkiritisi para bupati/wali kota untuk bisa meninjau ulang perizinan PBS yang bermasalah di daerahnya.

“Saat ini, banyak perusahaan besar swasta yang izinnya dikeluarkan oleh bupati/wali kota. Jadi mereka lah yang berwenang untuk mencabutnya, jika ada perusahaan-perusahaan yang nakal,” katanya.

Di Kotim, Ketua DPRD Kotim, Jhon Krisli juga menyesalkan peristiwa tersebut. Ia juga mendesak agar konflik agraria antara masyarakat dengan PT Agro Bukit dapat segera diselesaikan.

“Mereka menjarah buah kelapa sawit tersebut karena pihak perusahaan tidak kunjung mengganti rugi lahan milik masyarakat,” kata Ketua DPRD Kotim, Jhon Krisli, di Sampit, Senin (17/6).

Buah kelapa sawit yang dipanen masyarakat tersebut posisinya berada di luar izin Hak Guna Usaha PT Agro Bukit. Kepemilikan lahan tersebut sampai sekarang masih belum jelas dan statusnya sebagai lahan sengketa. Sesuai data, izin HGU PT Agro Bukit sekitar 15.000 hektare, namun faktanya, melebar menjadi 24.000 hektare lebih.

Dengan melebarnya lahan yang dimiliki PT Agro Bukit, diduga pihak perusahaan telah menggarap lahan di luar HGU yang sebagian besar lahan tersebut milik masyarakat desa di sekitar perusahaan.

Tindakan yang dilakukan PT Agro Bukit telah merugikan negara miliaran rupiah, karena selama ini mereka tidak membayar pajak atas lahan yang berada di luar izin HGU tersebut.

“Sebelum terjadi konflik antara pihak perusahaan dengan warga desa saya harap pemerintah daerah untuk segera turun kelapangan, melakukan pengecekan,” katanya.

Kelapa sawit yang telah ditanam di luar izin HGU PT Agro Bukti dan sekarang sudah panen harus segera diambil alih pemerintah daerah kepemilikannya. Kebun kelapa sawit yang berada di luar HGu tersebut sebaiknya di jadikan kebun plasma dan pihak perusahaan sebagai bapak angkat.

MELANGGAR ATURAN

Di awal Juni lalu, karena diduga menebang hutan tanpa izin dan tidak memperhatikan ekosistem yang ada, LSM Gerakan Hati Nurani Rakyat (Gerhana) Kotim melaporkan perusahaan sawit PT Bintang Mulia Sinar agung (BMSA) atau PT Tunas Agro Subur Kencana (TASK) ke Polda Kalteng.

Menurut Muthalib, Ketua LSM Gerhana saat diwawancara di Kantor PWI Minggu (5/7), berdasarkan hasil investigasi pihaknya yang dilakukan selama tiga bulan, kegiatan perusahaan sawit tersebut yang terletak di desa Pamalian, Kecamatan Kotabesi, Kabupaten Kotawaringin Timur, telah melakukan pelanggaran beberapa kali.

Perusahaan sawit tersebut telah melakukan penebangan pohon di kawasan hutan rawa sampai ke tepi sungai Pamalian sepanjang 5 kilometer, ujar Mutholib. Oleh karena itu ia berharap agar Polda menindaklanjuti laporan dengan bukti-bukti pelanggaran dan peta.

Temuan lainnya, tempat-tempat penampungan air seperti danau dan waduk juga diubah menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Lanjutnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 tentang Kehutanan, hutan di sekitar waduk atau danau tidak boleh ditebang dalam radius 500 meter, disekitar daerah rawa dengan radius 200 meter, sungai 100 meter dan wilayah anak sungai sepanjang 50 meter.

Tak dapat dipungkiri, keberadaan perusahaan sawit di Kabupaten Kotawaringin Timur semakin tahun semakin bertambah, namun tidak jarang juga mendapatkan gesekan dengan masyarakat setempat yang lokasinya merasa diambil perusahaan dimaksud.

Seperti yang terjadi antara warga desa Natai Baru dan Desa Rongkang, kecamatan Mentaya Hilir Utara (MHU) Kotim dengan PT Agro Bukit. Mereka melakukan pemortalan di ruas jalan menuju perkebunan kepala sawit PT Agro Bukit KM 26 Sampit-Pangkalanbun. Menurut Kepala Padang Hilik Enok, pemblokiran dan pemortalan jalan tersebut dilakukan sebagai bentuk protes karena perusahaan telah mengambil alih tanah milik warga.

TEWASNYA AJAK SUMARNO

Sementara soal tewasnya Ajak Sarmito, korban dugaan penembakan oleh aparat kepolisian akhirnya meninggal dunia setelah dirawat beberapa hari di RSUD dr Murjani Sampit. Jasad korban yang merupakan staf Desa Mojang, Kecamatan Tumbang Manjul, Kabupaten Seruyan itu, langsung diantar menuju kampung halamanya.

Di sisi lain, Kepolisian Daerah (Polda) Kalteng menegaskan, Ajak merupakan pelaku kriminal dan terluka akibat pantulan serpihan peluru polisi. Sementara Kapolres Kotim AKBP Himawan Bayu Aji, Selasa (17/6), membenarkan Ajak telah meninggal. “Iya benar, korban yang dirawat di rumah sakit meninggal,” kata Himawan.

Perut Ajak Sarmito bobol dihantam peluru senjata api aparat. Tampak korban telah terbujur kaku di kamar mayat

Ajak meninggal sekitar pukul 22.31 WIB, Senin (16/6). Jasadnya dibawa pihak keluarga sekira pukul 03.30 WIB. Ajak meninggal akibat luka pada bagian perutnya. Polres Kotim sebelumnya tak memberi penegasan penyebab luka Ajak karena masih menunggu hasil visum. Akan tetapi, sampai Ajak meninggal, hasil visum itu juga belum keluar, sehingga belum ada pernyataan resmi dari Polres.

Penegasan penyebab luka Ajak justru disampaikan Polda Kalteng melalui Kabid Humas AKBP Pambudi Rahayu. “Saya pertegas bahwa Ajak Sarminto itu merupakan pelaku kriminal pencurian kelapa sawit yang tertangkap oleh anggota kita (Polres Kotim, Red). Luka yang diderita korban itu dari tembakan yang tidak ditembakkan secara langsung, tetapi akibat dari pantulan serpihan peluru aparat kita,” katanya.

Perwira menengah Melati Dua ini menuturkan, hingga kini belum ada laporan visum dari Polres Kotim, karena hasil visum nanti akan diketahui di persidangan. “Untuk hasil visumnya, kita tunggu dan lihat di persidangan itu nantinya, karena korban kan juga salah satu komplotan dari pelaku tindak pencurian,” katanya.

Sementara itu, Samosir, keluarga Ajak mengatakan, jasad Ajak langsung dibawa menuju kampung halamanya dari Sampit menggunakan kendaraan jalur darat, kemudian transit di Rantau Pulut, menggunakan speadboat menuju Desa Mojang.

Ajak sendiri dilarikan ke RSUD dr Murjani Sampit pada 12 Juni 2014 lalu. Dia dirawat lantaran di bagian tubuhnya mengalami luka yang cukup parah, bahkan dari keterangan pihak keluarga korban hingga Sabtu tadi, korban menggunakan delapan kantong darah. Dari bagian luka korban sendiri nampak terlihat beberapa jahitan.

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Tengah (Kalteng) sebelumnya mengutuk keras dugaan penembakan tersebut. Peristiwa itu dinilai semakin membuktikan fasisme telah menjadi watak negara. “Penggunaan cara-cara kekerasan berupa penembakan, pemukulan, pembubaran paksa, dan kriminalisasi, merupakan pilihan cara yang dipakai pemerintah untuk menjawab tuntutan atas hak-hak demokratis warganya yang telah dirampas oleh para pemilik modal besar dan para tuan tanah di berbagai tempat,” kata Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Arie Rompas, dalam rilisnya, Jumat (13/6).

Arie menuturkan, dugaan penembakan warga merupakan buntut berlarutnya kasus sengketa tanah antara warga sekitar perkebunan dengan PT Agro Bukit (Agro Indomas Group) sejak 2003. “Kuatnya keberpihakan pemerintah kepada investasi asing yang diwujudkan dengan tetap membiarkan perkebunan beroperasi di atas lahan seluas sekitar 13.930 hektare, meski banyak menyisakan soal dengan warga sekitar, telah melahirkan berbagai upaya perjuangan warga yang menginginkan tanahnya kembali,” katanya.

Menurutnya, pengerahan atau penambahan aparat keamanan merupakan jawaban yang diberikan pemilik kebun untuk menjaga asetnya dari ancaman perlawanan warga. Di sinilah, pemicu semakin bertambahnya jumlah kekerasan dan jatuhnya korban jiwa. “Ajak Sarmito merupakan salah satu korban dari sekian banyak warga yang merasakan tajamnya peluru aparat kepolisian yang ditempatkan demi keamanan investasi,” katanya. [] RedHP/RS/KTeP/Ant/TKte

Headlines