TENGGARONG – Janjinya, Februari 2013 lalu PLTG Senipah sudah bisa beroperasi dan mengatasi krisis listrik di Kaltim. Nyatanya, sampai awal Juli ini belum juga jalan. Rupanya cuma memberikan harapan palsu.
Kebutuhan daya listrik di Bumi Etam Kalimantan Timur (Kaltim) ini sangat tinggi, dari tahun ke tahun terus meningkat. Beban puncak yang tersambung di dalam Sistem Mahakam sendiri, mencapai 360 Megawawatt (Mw). Sementara daya listrik yang tersedia hanya 313,8 Mw, ditambah daya listrik cadangan, menjadi 413,8 Mw.
Kondisi tersebut tentu saja membuat sulit PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Persero untuk menerima permintaan sambungan baru, khususnya bagi pelanggan besar. Jika satu saja pembangkit yang selama ini memasok daya di Sistem Mahakam terganggu, maka pemadaman bergilir pasti terjadi.
Agar tak mengalami defisit dan bisa terus memenuhi permintaan sambungan baru, PLN tentu perlu penambahan daya. Salah satu pembangkit yang diharapkan segera masuk ke Sistem Mahakam adalah Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) Senipah di Desa Teluk Pemedas, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) yang akan mensuplai daya sebesar 2×41 Mw.
Perencanaan PLTG Senipah dimulai sejak 2008 silam, dinaungi sebuah perusahaan konsorsium bernama PT Kartanegara Energi Perkasa (KEP) yang berdiri pada 29 Agustus 2008, gabungan antara Perusahaan Daerah (Perusda) Kelistrikan dan Sumber Daya Energi (KSDE) dan PT Toba Sejahtra. Investasinya sebesar Rp 1,6 triliun.
Namun demikian, PLTG Senipah baru mulai dibangun sejak 21 November 2011, ditandai dengan ground breaking dan direncanakan rampung pembangunannya dalam setahun, November 2012 dipastikan sudah beroperasi. Tapi proyek molor dan baru selesai Februari 2014. Meski begitu, hingga Juni ini belum juga beroperasi, bahkan diuji coba saja belum.
Usut punya usut, kendalanya ternyata ada pada bahan bakar gas yang dari kesepakatan awal bersumber dari Total E & P Indonesie dan Inpex Corporation. Harga jual gas berdasar perjanjian yang diteken Juni 2009, sudah tidak sesuai. Pihak penyedia menolak menjual dengan harga yang sama seperti pada perjanjian tersebut.
Dalam kesepakatan yang dibuat pada 26 Juni 2009 lalu itu, harga beli gas senilai USD 3,5 per Million Metric Standar Cubic Feet per Day (MMSCFD) ditambah eskalasi tiga persen per tahun, untuk masa kontrak 2011hingga 2017. Sementara untuk kurun 2018 hingga 2031, harga jual disepakati senilai USD 4,5 per MMSCFD ditambah eskalasi tiga persen per tahun dan 30 persen dari kenaikan harga jual listrik ke PLN.
Untuk pemenuhan kebutuhan yang dimulai 2014 ini, pihak penyedia menaikkan harga jual gas menjadi US$ 3,8 per MMSCFD. Menurut General Manager PLN Kalimantan Timur-Utara (Kaltimra) Machnizon Masri, naiknya harga beli gas tersebut sempat menjadi bahasan alot antara pihak konsorsium dan penyedia gas. “Ada selisih harga USD 0,3 per MMSCFD,” ungkap Machnizon kepada wartawan, beberapa waktu lalu.
Pernyataan Machnizon senada dengan Direktur Utama Toba Sejahtera, Bambang Irawan. Menurut dia, perkara kenaikan harga beli gas ke Total, sebenarnya tidak ada masalah. Namun persoalannya, kontrak antara PLN dengan PT KEP selaku pemegang kontrak Independent Power Producer (IPP), masih memakai harga USD 3,5 per MMSCFD.
Awalnya, kata dia, IPP membeli gas di Total harganya USD 3,5 per MMSCFD. Ini berlaku sejak 2011 dan tiap tahun ada kenaikan 3 persen. Artinya, saat ini harga gas sekitar USD 3,8 per MMSCFD. Sementara jelang beroperasinya PLTG Sanipah, kontrak antara IPP dengan PLN belum berubah. “Kalau tak diubah, ya IPP merugi,” jelasnya. Diketahui, IPP merupakan pihak swasta yang membeli gas di Total.
Gas itu nantinya didistribusikan ke PLTG Sanipah sebagai bahan bakar. “Kontrak antara IPP dengan PLN harus disamakan harganya menyesuaikan dengan kontrak antara IPP dengan Total. Ada kenaikan USD 0,3 masih di bawah USD 4. Jauh di bawah harga pasar USD 6 per MMSCFD. Jadi PLN tidak akan rugi, siapa bilang PLN rugi, orang harganya jauh di bawah harga pasar,” tegas Bambang, pertengahan Mei lalu (16/5).
Menurut dia, masalahnya kini tinggal di PLN. IPP jelas tak ingin merugi ketika pembangkit beroperasi. “Kalau itu sudah dilakukan (perubahan kontrak), tidak masalah, tinggal kita buka pipanya, gas in, langsung operasi,” paparnya.
Dikonfirmasi mengenai hal tersebut, Kepala Divisi Distribusi dan Pelayanan Pelanggan PLN Pusat, Nyoman S Astawa membenarkan hal tersebut. Menurutnya, PLN hanya mengikuti aturan.
“Berdasarkan aspek hukumnya bagaimana, karena meskipun itu sangat diperlukan warga, kita harus tinjau dulu aspek hukumnya untuk mengubah harga itu. Jangan sampai jadi temuan di kemudian hari,” ujarnya.
Ia menambahkan, PLN pusat terus berkoordinasi dengan pihak IPP dan Total untuk membahas berbagai solusi. “Memang perlu adanya kesepakatan bersama semua pihak. Tidak bisa cepat,” pungkasnya.
Totok Heru SubrotoSementara Pengawas Perusda KSDE Kukar, Totok Heru Subroto angkat bicara terkait molornya target beroperasi PLTG Senipah. Menurut dia, tidak benar jika disebut belum ada kesepakatan terkait harga jual gas dengan Total. “Hanya terkendala penyesuaian harga, tak benar jika ditafsirkan belum ada kesepakatan,” ucap pria yang juga menjabat Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kukar ini.
Persoalan penyesuaian harga jual gas ini sebenarnya masalah biasa. Yang menjadi kendala berarti molornya PLTG tersebut pada Juni ini karena sambungan klem (penjepit) pipa gas harus sesuai standar dari Total. Sementara klem pipa gas yang ada saat ini tak sesuai spesifikasi sambungan pipa gas Total. “Kami harus pesan langsung ke Prancis untuk membeli klem pipa sesuai standar dari Total. Ini karena instalasi jaringan pemipaan dari PLTG ini langsung menyambung ke pipa gas dari Total,” terangnya.
Dia menyebut, klem pipa sesuai spesifikasi Total ini tak ada dijual di dalam negeri. Sebenarnya Total memiliki cadangan klem pipa tersebut, namun tak bisa dipinjamkan sehingga terpaksa harus mencari sendiri. “Sebenarnya bisa saja kami pinjam, tapi kami tak mau ambil risiko karena bisa jadi temuan nantinya,” tuturnya.
Terkait penyesuaian harga gas ia menyebut, hal itu karena ada keterlambatan pembangunan PLTG. Sebab dalam kontrak, pembelian gas tersebut harusnya sudah berjalan pada Januari lalu, namun karena pembangunan molor perjanjian dengan Total direvisi. “Jadi bukan karena belum ada kesepakatan harga gas tapi penyesuaian harga operasional per tahunnya. Apalagi harga gas kan berubah sesuai tahapan dan waktunya,” bebernya.
Benarkah hanya itu problemnya? Ternyata prosesnya masih panjang. Menurut Kepala Urusan Hubungan Masyarakat (Humas) Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Kalimantan Sulewesi (Kalsul), Yanin Kholison, saat ini suplai gas dari Total ke PLTG Senipah masih menunggu keputusan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terkait harga gas.
“Laporan yang saya terima dari Total, masalah kesepakatan harga sudah proses negosiasi 22 April lalu dan dilakukan pembahasan di Kantor Ditjen (Direktorat Jenderal) Migas. Pertemuan itu juga dihadiri pihak PLN dan SKK Migas,” bebernya.
Ia menambahkan, jika Kementerian ESDM telah memutuskan harga gas, tindak lanjutnya adalah pembayaran dan menyuplai gas ke PLTG Senipah. Tapi itu bergantung persiapan masing-masing pihak, yakni Total, PLN, dan pihak power plant.
Yanin mengaku, tak tahu-menahu persoalan harga yang diperdebatkan. Namun, melihat tujuannya untuk memenuhi listrik di Indonesia, menurutnya pasti ada beberapa kearifan yang diambil terkait penentuan harga gas. “Kalau melihat urgensi, seharusnya bisa segera diputuskan,” aku dia.
Ia menjelaskan, komitmen kesiapan gas yang disepakati tentang kapasitas yang akan disuplai, semua sudah siap. “Tapi dalam kegiatan itu, ‘kan ada mata rantai mekanisme yang harus dilalui, dan melibatkan banyak pihak. Tentu perlu dilakukan klarifikasi dari semua pihak yang terlibat secara utuh,” ungkap dia.
Proses dan mekanisme tersebut, kata Yanin, juga sudah disampaikan kepada pemerintah daerah. Dalam hal ini Asisten II Sekprov Kaltim M Syahbani pada 28 April lalu yang mempertanyakan progres PLTG Senipah. “Senin nanti akan kami keluarkan rilisnya, salah satunya untuk Ombudsman RI Kaltim,” katanya.
TAK PEDULI
Sementara molornya operasional PLTG Senipah, menarik perhatian aktivis Lembaga Investigasi dan Pemberantasan Praktik Rasuah (LIBAS) GP Ansor Kukar. Saiful Bahri, Sekretaris LIBAS, menyebut PLTG Senipah sebagai PHP alias Pemberi Harapan Palsu.
“Kita ini di-PHP-in sama PLTG Senipah. Ini karena pemerintah daerah kita tidak punya kepedulian besar untuk menuntaskan masalah krisis listrik yang dihadapi sebagian masyarakat kita,” kata Saiful Bahri.
Buktinya, kata Saiful, andil Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kukar dalam pembangunan PLTG Senipah hanya berupa saham 10 persen dari total nilai investasi proyek pembangkit itu. “Itu kan sangat kecil. Anggaran kita ini cukup besar, mestinya hal-hal krusial seperti masalah listrik ini, menjadi salah satu prioritas,” kata Saiful.
Perusda KSDE, lanjut dia, mestinya diberikan banyak suntikan dana untuk membangun pembangkit listrik. Penjualan listrik ke PLN, kata Saiful, jelas menguntungkan. “Kalau tidak menguntungkan, buat apa banyak investor berani menanamkan modalnya,” ujarnya.
Dalam pengelolaan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) Loa Raya, lanjut Saiful, Perusda KSDE selama ini selalu menyetor deviden ke Pemkab Kukar. Padahal per kilo watt, listrik PLTD Loa Raya hanya dijual ke PLN seharga Rp 200.
“Di Kembang Janggut, rencana PLN mau beli ke PT Rea Kaltim. Kenapa tidak kita yang menyediakan? Selain menguntungkan, sudah pasti akan banyak membantu masyarakat kecil,”pungkas Saiful Bahri. [] RedEks