Investasi Royal World Plaza Cacat Hukum

Investasi Royal World Plaza Cacat Hukum

Bupati Kukar, Rita Widyasari saat menginspeksi pekerjaan proyek RWP.

Untuk mempercepat pembangunan infrakstruktur, diperlukan banyak biaya. Peran swasta diperlukan dengan solusi KPS. Ada prosedur yang harus dilalui. Tidak seperti kasus proyek RWP, ditengarai banyak menabrak aturan. Kontrak KPS terancam batal demi hukum.

7 November 2012 silam adalah tonggak sejarah dimulakannya pembangunan Royal World Plaza, sebuah kompleks perkantoran berpadu dengan kawasan binis berupa mall di Tenggarong, Kutai Kartanegara (Kukar), Kalimantan Timur (Kaltim).

Di atas lahan milik Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kukar, PT Citra Gading Asritama (CGA) yang diberikan hak untuk melaksanakan pekerjaan mega proyek, yang oleh owner CGA Ichsan Suadi nilai investasinya Rp 1,8 triliun.

CGA terlibat kerja sama dengan Pemkab Kukar. Perusahaan ini bertanggung jawab membangun dengan biaya sendiri untuk kemudian mengoperasikan selama 30 tahun dan dapat diperpanjang, baru akhirnya pengelolaan dapat diserahterimakan ke Pemkab.

Namun sayang, kerja sama antara Pemkab Kukar dengan CGA atas proyek mercusuar tersebut diduga tanpa melalui proses yang tepat. Banyak rambu yang dilanggar. Di antaranya adalah proses penetapan CGA sebagai investor, tidak melalui mekanisme tender.

Dalam buku yang diterbitkan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, berjudul “Panduan Bagi Investor dalam Investasi di Bidang Infrastruktur,” menyebut lima kategori peraturan yang menaungi Kerja Sama Pemerintah dan Swasta (KPS) atau Public Private Patnership (PPP).

Kategori peraturan dasarnya mencakup delapan aturan, yakni Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 (Perpres 67/2005) tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Lalu perubahannya Perpres 13/2010, Perpres 56/2011 dan Perpres 66/2013. Ada juga Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional No. 3/2012 tentang Panduan Umum Pelaksanaan Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.

Lalu, Peraturan Menteri (Permen) Keuangan No. 38/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengendalian dan Pengelolaan Risiko Atas Penyediaan Infrastruktur. Permen Koordinator Bidang Ekonomi No. 4/2006 tentang Metodologi Evaluasi Proyek Infratruktur KPS yang Memerlukan Dukungan Pemerintah dan Peraturan Pemerintah No. 35/2009 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di bidang Penjaminan Infrastruktur.

Sejumlah aturan tersebut mensyaratkan sembilan tahapan KPS, baik untuk proyek infrastruktur ada yang dinisiasi pemerintah (solicited) maupun usulan swasta (unsolicited). Sembilan tahapan itu mulai dari pemilihan proyek, konsultasi publik, studi kelayakan, tinjauan resiko, bentuk kerja sama, dukungan pemerintah, pengadaan, pelaksanaan dan terakhir pemantauan.

Lembaga Investigasi dan Pemberantasan Praktik Rasuah (LIBAS) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Kukar telah mengkaji tahapan-tahapan tersebut secara seksama dengan melibatkan sejumlah akademisi. Dalam kasus proyek RWP, banyak tahapan tak dijalankan. Hal itu diungkapkan Wakil Ketua LIBAS GP Ansor Kukar yang juga ketua tim khusus kajian mega proyek RWP, Dedi Irawan.

Menurutnya, pada tahapan pemilihan proyek, pemerintah yang menentukan infrastruktur mana saja yang dalam program strateginya, dibangun dan dibiayai dengan partisipasi swasta. “Di Kukar ini tidak ada punya daftar proyek yang dipublikasikan yang pembangunannya melalui swasta,” ungkap Dedi.

Mestinya, lanjut dia, jika Kukar punya rencana proyek yang dibiyai swasta, itu masuk dalam data Unit Pusat Kerjasama Pemerintah dan Swasta (UPKPS) Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas).

“Proyek RWP, Bandara di Loa Kulu dan Pembangkit Listrik Tenaga Air di Tabang, tidak ada masuk dalam daftar proyek publick private partnership (PPP) dari tahun 2010 sampai sekarang,” ungkap Dedi Irawan.

Tahapan kedua, konsultasi publik. Pada proses pemilihan proyek, konsultasi sebenarnya sudah harus dilakukan. Konsultasi bukan saja dilakukan melibatkan pihak-pihak berkepentingan di pemerintahan, tetapi juga calon-calon investor, calon user, termasuk masyarakat umum. Yang dibahas tentu soal pembiayaan, dukungan, pangsa pasar, sampai persoalan bagaimana tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) ke depannya. Ini juga demi transparansi untuk mendapatkan respon dan saran publik.

“Kalau proyek RWP, seingat saya hanya ada sosialisasi dengan perusahaan-perusahaan yang diminta berkantor di RWP. Sosialisasinya waktu itu di Jakarta juga dikaitkan dengan peraturan bupati yang mewajibkan perusahaan penanam modal berkantor di Tenggarong. Konsultasi publiknya tidak sempurna dan tidak terbuka,” papar Dedi Irawan.

Untuk konsultasi publik, jika solicited project, maka pemerintah yang berperan banyak untuk memfasilitasi pertemuan-pertemuan dengan berbagai pihak.

Selanjutnya adalah studi kelayakan (feasibility study). Jika solicited project, studi kelayakan dilaksanakan pemerintah dengan menunjuk pihak swasta. Jika unsolicited project, maka badan usaha yang mengusulkan yang melaksanakannya.

“Kami belum pernah mendengar pernah dilakukan studi kelayakan untuk RWP ini. Yang kami tahu, Citra Gading menawarkan menjadi investor dan mempresentasikan DED. Itu pun DED yang telah ditawarkan sebelumnya, dirubah di tengah jalan setelah tanda tangan kontrak,” ungkap Dedi Irawan.

Ketiga tinjauan resiko, biasa dilakukan pada saat studi kelayakan dibuat. Khusus untuk RWP, resiko yang mungkin terjadi adalah kaveling perkantoran yang tidak laku terjual (demand factor). Dan itu menjadi salah satu alasan investor menghentikan dan merubah DED proyek.

Selain itu resiko kelayakan kredit pembeli utama (off taker). Pada kasus RWP, calon user perkantoran harus benar-benar diteliti. Jika yang dimaksud adalah perusahaan invstor tambang di Kukar, perlu ditinjau kontraknya, track record dan proyeksi financialnya, akseptasi mutu produk yang akan digunakan dan sebagainya.

“Saya dengar ada penjaminan Rp 20 miliar untuk RWP. Apa lagi penjaminan itu diberikan dari bank. Ini salah kaprah. Tinjauan resiko dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan aturannya. Yang menjaminkan pun ada lembaga khusus menanganinya. Di lihat dari kasus RWP, jelas tinjuan resiko tidak dilakukan di awal proyek berjalan,” urai Dedi.

Tahap selanjutnya adalah pemilihan bentuk kerja sama. Ada banyak model kerja sama proyek infrastruktur, khusus proyek RWP memilih build, own/operate, transfer (BOT). Untuk pemilihan model kerja sama ini, juga memerlukan kajian mendalam. Jangan sampai kedepannya malah merugikan daerah.

“RWP ini investasinya pakai sistem BOT. Kontrak operasinya 30 tahun dan dapat diperpanjang satu kali. Ini bisa 60 tahun. Itu untuk tenant pusat perbelanjaan. Untuk perkantoran, dijual sampai di atas Rp 1 miliar. Pemakaian kantor itu nanti permanen atau sewa? Sementara lahan RWP milik Pemkab. Semua harus diperjelas,” kata Dedi.

Tahap selanjutnya adalah dukungan pemerintah. Bentuk dukungan ini sudah harus dimatangkan sebelum pihak swasta terpilih jadi investor. “Untuk dukungan ini, harus melalui persetujuan DPRD. Persetujuan tentu tidak hanya dari Ketua DPRD, tetapi secara institusi. Persetujuan akan lebih absah jika melalui peraturan daerah. Misalnya dukungan lahan, biaya, perizinan dan sebagainya. Nah untuk proyek RWP, tidak jelas juga bentuk dukungannya, termasuk masalah penggunaan lahan,” urai Dedi.

Tahap ketujuh adalah pengadaan. Tidak bisa tidak, baik proyek itu diusulkan pemerintah atau diusulkan pihak swasta, wajib melalui tender atau lelang terbuka. Hal itu untuk menghindari persaingan tidak sehat. Jika pemenang tender sudah ditentukan, maka selanjutnya adalah penandatanganan kontrak yang harus mencakup 18 item.

Yakni lingkup pekerjaan, jangka waktu, jaminan pelaksanaan, tarif dan mekanisme penyesuaian, hak dan kewajiban termasuk alokasi resiko, standar kinerja pelayanan, pengalihan saham sebelum proyek kerja sama beroperasi secara komersial, sanksi dalam hal para pihak tidak memenuhi ketentuan perjanjian, pemutusan atau pengakhiran perjanjian, laporan keuangan Badan Usaha dalam rangka pelaksanaan perjanjian yang diperiksa secara tahunan oleh auditor independen dan pengumumannya dalam media cetak yang berskala nasional.

Lalu mekanisme penyelsaian sengketa yang diatur secara berjenjang dengan musyawarah mufakat mediasi dan arbitrase atau pengadilan. Kemudian mekanisme pengawasan kinerja badan usaha dalam melaksanakan perjanjian, penggunaan dan kepemilikan aset infrastruktur, pengembalian aset infrastruktur dan atau pengelolaannya, keadaan memaksa, pernyatan dan jaminan para pihak atas perjanjian sesuai aturan perundang-undangan, penggunaan bahasa dalam perjanjian dan hukum yang berlaku dalam perjanjian.

“Setahu saja tidak ada tender proyek RWP. Yang muncul ya nama cuma Citra Gading Asritama. Tau-tau presentasi DED, tanda tangan kontrak dan kerja. Isi kontrak kerja samanya saja kita tidak pernah tahu. Tidak pernah dibuka ke publik,” ungkap Dedi.

Selanjutnya tahap pelaksanaan, mulai dari perolehan pendanaan atau inancial close, konstruksi, commissioning, operasi dan pemeliharaan. Untuk penjaminan dan pembiayaan, ada dua perusahaan yang telah didirikan pemerintah untuk menfasilitasinya. Pertama, PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PT PII) dalam hal penjaminan. Kemudian PT Indonesia Infrastructure Fund (PT IIF) untuk pinjaman fasilitas kredit.

“Dalam pelaksanaan KPS RWP, ada banyak kejanggalan. Pertama tidak ada IMB dan Amdal. Kedua, DED dirubah di tengah jalan. Terakhir masalah penjaminan, tiba-tiba muncul angka Rp 20 miliar. Aneh proyek ini,” kata Dedi.

Terakhir tahap pemantauan, yakni mengawasi apakah proyek sudah dijalankan sesuai kontrak dan tidak melanggar peraturan perundang-undangan. “Karena banyak tahapan yang tidak dilalui dalam proses kerja sama proyek RWP, maka perjanjian kerja sama yang dibuat dengan sendirinya batal demi hukum. Prosesnya harus diulang. Mana bisa proyek sudah berjalan setengah, perizinan baru dibuat. Amdal juga baru mau dibuat. Ini aneh semua,” pungkas Dedi Irawan. []

FOTO – FOTO PROYEK RWP

Serba-Serbi