Polemik Moratorium Kredit Jasa Konstruksi

Polemik Moratorium Kredit Jasa Konstruksi

Para kontraktor di bumi etam berteriak, tanpa alasan jelas Bankaltim menghentikan kredit jasa konstruksi. DPRD Kaltim bahkan sampai ikut bersuara. Bekalangan ada klarifikasi, penyebabnya dana pihak ketiga terlampau kecil. Benar kah ?

Oleh Hadi Purnomo

Pada tahun 2014 ini tampaknya Bank Pembangunan Daerah (BPD) Kalimantan Timur (Kaltim) memiliki kebijakan baru dalam hal realisasi program kreditnya. Jika sebelumnya ada yang namanya kredit jasa konstruksi, tahun 2014 ini tampak ditiadakan.

Berdasar release terbaru laman website resmi bank ‘pelat merah’ yang merupakan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltim tersebut, tidak ada disebutkan produk dan layanan berupa kredit jasa konstruksi. Untuk skema kredit, yang ada adalah kredit investasi, modal kerja, konsumtif, pegawai daerah dan kredit program.

Kebijakan moratorium penyaluran kredit untuk konstruksi dirasakan kalangan kontraktor di ‘benua etam’ sejak Desember 2013 lalu. Sementara adanya produk baru kredit investasi dan modal kerja di Bankaltim, belum bisa menjawab kebutuhan tuntutan kemudahan bagi para pelaku usaha jasa konstruksi di daerah. Banyak yang berbeda dengan produk kredit jasa konstruksi yang ada sebelumnya.

Seperti dikemukakan Roni Andi Pangajoang, perwakilan kontraktor dari Gabungan Pengusaha Konstruksi Nasional Indonesia (Gapeksindo) dan Kaukus Asosiasi Perusahaan Konstruksi (KAPK) Kaltim, kepada wartawan, beberapa waktu lalu (8/5). Pengusaha banyak yang mengeluh karena BPD Kaltim menghentikan kredit konstruksi.

“Para pengusaha sudah mengeluhkan penghentian kredit konstruksi dari BPD Kaltim ini sejak Desember 2013 lalu. Sebelumnya, BPD Kaltim memang satu-satunya bank yang paling bersahabat dengan kontraktor,” ujar Roni.

Alasan menjadikan BPD sebagai sumber modal utama, kata dia, adalah persentase jaminan yang relatif kecil dibanding bank-bank nasional yang berkantor di Kaltim. Di bank bermerek Bankaltim itu, besar jaminan hanya berkisar 20-30 persen dari nilai proyek.

“Di bank lain bisa mencapai 100 persen. Ini jelas sangat membebani pengusaha. Saat kami mulai mengandalkan Bankaltim sebagai sumber modal, mereka malah menyetop kredit untuk konstruksi. Sekarang kami bingung mau cari ke mana,” tutur Roni.

Pada akhir Mei lalu, para kontraktor di Kaltim kemudian menggelar lokakarya yang melibatkan KAPK dan BPD Kaltim. Acara itu menghadirkan Direktur Pemasaran BPD Kaltim Ismunandar Aziz. Pada kesempatan tersebut, Ismunandar mengakui bahwa pihaknya memang sempat menahan kucuran kredit. Namun, dia menegaskan, tidak ada sentimen negatif terhadap sektor konstruksi.

Dijelaskannya, pasar kredit BPD Kaltim adalah sektor konstruksi. Walaupun ada penilaian bahwa sektor tersebut banyak bermasalah, tetapi bukan menjadi dasar penghentian kredit. “Melainkan belum terkumpulnya dana pihak ketiga sejak triwulan IV lalu,” sambung Ismunandar.

Dia mengungkapkan, Juni 2013, dana pihak ketiga (DPK) BPD Kaltim sempat mencapai Rp 34 triliun. Namun memasuki awal 2014, DPK turun jadi Rp 19 triliun. “Penyebabnya, pertumbuhan kredit kami yang tinggi. Bahkan, LDR (loan to deposit rasio atau tingkat penyaluran kredit, red) kami mencapai 106 persen karena aliran kredit melampaui DPK. Faktor lain adalah belum masuknya dana perimbangan ke pemerintah provinsi yang merupakan salah satu pemilik saham BPD Kaltim,” papar Ismunandar.

Memasuki triwulan kedua, ia menyebut sudah ada perubahan. DPK yang kembali normal dan BPD Kaltim siap kembali memberikan kredit modal bagi para kontraktor. Ia meyakini kredit yang diberikan bagi rekanan pemerintah yang sumber pendanaannya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), kecil kemungkinan bermasalah. “Jadi, kredit bukan kami tutup, hanya ditunda dan sekarang sudah kembali dibuka,” kata Ismunandar.

Namun, dia juga mengimbau para kontraktor tak hanya menjadikan BPD Kaltim sebagai sumber modal. Dia meminta, para pelaku jasa konstruksi juga memilih BPD Kaltim sebagai tempat menghimpun dana. “Jangan mencari modalnya di sini, lalu disimpan di bank lain. Karena, jika semua nasabah begitu, kami kesulitan memutar aliran uang,” tukasnya.

Sementara Ketua KAPK Kaltim Syamsuk Tribuana mengaku lega dengan kembali dikucurkannya kredit di sektor konstruksi oleh BPD Kaltim. Menurutnya, kebijakan tersebut bisa menjadi salah satu wujud kontribusi dalam mempercepat pembangunan di Kaltim.

“Sekitar 95 persen kontraktor di Kaltim ini bekerja di proyek pemerintah. Karena menjadi pelaksana pembangunan, sudah seharusnya kami didukung. Dari perbankan, dukungan tentu lewat kucuran modal,” ujarnya.

Sayangnya kelegaan kalangan pengusaha konstruksi tersebut tidak berlangsung lama, karena ternyata BPD Kaltim membatasi besaran pinjaman hanya sampai Rp 2 miliar. Isu tersebut bahkan sampai menggelinding di gedung wakil rakyat Kaltim di Karang Paci. Dahri Yasin, anggota Fraksi Golkar DPRD Kaltim misalnya, mempertanyakan kebijakan bankaltim tersebut.

” Nilai pinjaman di bank milik pemerintah ini dikeluhkan berbagai pihak, terutama rekanan yang mengerjakan proyek pemerintah, sebesar apa pun proyek yang dikerjakan, sekarang pinjaman dibatasi maksimal cuma Rp 2 miliar. Ini tidak lazim dalam dunia perbankan,” kata Dahri Yasin.

Masalah yang terjadi di bank milik pemerintah ini , menurut Dahri tidak hanya menjadi perhatian oleh Dewan, tetapi pihak eksekutif juga perlu mengambil langkah serius dan strategis agar bank milik daerah ini tidak diposisi yang sangat mengkhawatirkan dalam keuangan.

“Saya kira bukan hanya DPRD Kaltim, tetapi juga pemerintah provinsi. Persoalan ini harus disikapi secara serius dan duduk bersama melihat persoalan lebih dalam. Dengan kondisi Bankaltim saat ini perlu ada penjelasan pemerintah, begitu juga dari pihak Bankaltim selaku Perusda. Jika kita bicara pemerintah provinsi tentu ada batasan sesuai dengan saham yang dimiliki, lantas bagaimana dengan pemerintah kabupaten dan kota yang juga punya saham di Bankaltim. Masalah kredit di Bankaltim sangat serius saat ini,” ujar politisi senior ini.

Secara terpisah Rusman Yakub anggota DPRD Kaltim dari Partai Persatuan Pembangunan mengingatkan pada koleganya di parlemen untuk tidak jauh masuk dalam ranah manajemen Bankaltim, namun dewan harus tetap mengkritisi terhadap keluhan yang muncul saat ini terkait dengan kredit .

“Kita tidak boleh juga terlalu jauh masuk ke dalam bisnis Bankaltim, karena mereka diberi kewenangan sendiri. Tetapi ketika terjadi keluhan soal pelayanan seperti yang terjadi saat ini, maka dewan masuk,” kata Rusman.

Ia juga mendengar ada isu bahwa terdapat banyak kredit macet di sektor kredit jasa konstruksi yang dijalankan Bankaltim, namun pihaknya ingin memastikan hal tersebut. “Kita ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, apakah betul ada kredit macet? Apa penyebab kontraktor tidak bisa membayar pinjamannya? ” ujar Rusman bertanya.

Ketika disinggung soal adanya kemungkinan pada saat proses awal permohonan kredit belum memenuhi standar persyaratan tetapi kemudian dimuluskan karena pertimbangan ‘kemitraan’, Rusman mengutarakan bahwa persoalan itu ada pada tugas badan pengawas.

“Kalau soal itu ada pada kewenangan Badan Pengawas, sekarang kita bisa meminta penjelasan ke Badan Pengawas, ” tandas orang nomor satu partai berlambang pohon ka’bah di Kaltim ini.

Yang lainnya, anggota DPRD Kaltim dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Dody Rondonuwu meminta agar persoalan kredit macet di Bankaltim menjadi perhatian. “Masalah itu perlu kita pelajari secara cermat, kita bedah apakah ini pada akhrinya merugikan keuangan daerah atau menghambat pembangunan yang sudah direncanakan,” ujar Dody.

KEBIJAKAN PARSIAL

Menanggapi kebijakan pembatasan pemberian kredit seperti sekarang, Ketua KAPK Syamsuk Tribuana Tribuana meminta agar pihak bank tidak memberlakukannya secara merata. Pihak bank mestinya bisa berlaku parsial, mana kontraktor yang punya track record baik, pinjaman tidak dibatasi.

“Jangan pukul rata. Saya yakin proyek konstruksi untuk pembangunan yang didanai APBD sangat kecil kemungkinan bermasalah, sekitar 2-3 persen. Itu pun terjadi karena faktor cuaca yang menghambat suplai material,” ucapnya.

Hal senada disampaikan Wakil Ketua Bidang Organisasi Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Kaltim, Saiful Anwar. Ia meminta agar perbankan tak serta-merta menutup keran kredit terhadap semua pengusaha konstruksi. Dia menyebut, harus ada verifikasi lebih rinci mengenai risiko kredit, karena tak semua berpotensi kredit bermasalah.

“Harus dikelompokkan, antara yang high risk dan low risk. Apalagi, hampir semua proyek kontraktor ini kan ‘pelat merah’. Saya rasa, tak sulit bagi mereka untuk melunasi kredit karena sumber dana pasti, yakni APBD,” ungkapnya.

Saat ini, kata dia, banyak pengusaha yang kesulitan mencari sumber dana untuk memulai pengerjaan proyek, bahkan di BPD Kaltim sekalipun. “Saya dengar, di BPD Kaltim, kredit konstruksi dibatasi Rp 2 miliar untuk sekali pengajuan. Ini kan bisa membatasi pergerakan dan kinerja kontraktor,” urainya.

Sebagai bank daerah, kata dia, Bankaltim mestinya mempermudah aliran dana untuk pengusaha, terutama yang terlibat dalam pembangunan. “Nanti yang membayar kredit keseluruhan kan APBD, yang notabene juga sumber modal BPD Kaltim,” tukas Saiful.

DEBITUR NAKAL

Sebelum mencuatnya isu penghentian dan pembatasan kredit bagi kontraktor, Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPw-BI) Kaltim Ameriza M Moesa pernah mengimbau perbankan di Kaltim untuk memperketat kucuran kredit untuk sektor konstruksi. Alasannya, tingginya rasio Non Performing Loan (NPL) atau kredit bermasalah pada sektor ini.

Dengan total kredit sebesar Rp 4,956 triliun (Januari-November), tahun 2013, NPL konstruksi mencapai 11,65 persen. Seperti diketahui, batas kewajaran NPL untuk satu wilayah adalah 5 persen. Jika telah melebih angka tersebut, Ameriza menyebut, perbankan harus selektif dalam mengalirkan kredit, terutama di sektor yang bermasalah.

Meski menjadi pemicu utama, pria berkacamata itu mengatakan bahwa masalah kredit lebih banyak terjadi pada proyek konstruksi swasta. Sedangkan untuk proyek pelat merah, kata dia, pelunasan kredit relatif terjamin, karena dana tersedia lewat APBD dan APBN. Walau telat, pelunasan kredit tak pernah lewat dari satu tahun anggaran.

Sementara aktivis pegiat korupsi dari Lembaga Investigasi dan Pemberantasan Praktik Rasuah (LIBAS) GP Ansor Kutai Kartanegara melihat kebijakan BPD Kaltim selama ini terlalu berani memberikan pinjaman kepada kontraktor rekanan pemerintah tanpa memberikan jaminan 100 persen. “Mestinya BPD Kaltim harus belajar dengan bank konvensional lain, betapa beresikonya proyek konstruksi ini,” kata Dedi Irawan, Sekretaris LIBAS.

Di Kukar misalnya, sudah banyak contok proyek bermasalah, selain berujung kepada kaburnya orang yang bertanggung jawab di perusahaan kontraktor, juga ada yang berujung pengadilan. “Kalau kontraktor kabur tidak bekerja bahkan sampai bermasalah di hukum, apa bisa bank berharap pada debitur nakal seperti ini?” ujar Dedi.

Ia melihat selama ini BPD Kaltim dalam menjalankan kebijakannya masih banyak ditekan faktor politik, kerena saham bank ini sendiri banyak berasal dari daerah yang dikuasi pelaku politik. “Kami mencurigai adanya pinjaman yang mengucur tanpa mempertimbangkan track record kontraktor atau agunan yang diberikan,” tandasnya.

Ia menyayangkan, untuk kredit di sektor usaha kecil mikro, syarat perbankannya sulit minta ampun, agunan disesuaikan dengan besaran pinjaman. “Untuk penyaluran KUR (Kredit Usaha Rakyat, red), bank banyak meminta jaminan 100 persen. Padahal aturannya kan negara menjamin 70 persen, bank 30 persen. Tapi giliran kredit konstruksi, jaminan cukup 20-30 persen. Ini kan janggal,” urai Dedi.

Pada proyek pemerintah, lanjut dia, penuh dengan kepentingan. Jika kontraktor dapat proyek pemerintah, setidaknya harus menyisihkan untuk membagi uang proyeknya ke oknum pemberi proyek. “Ini banyak terjadi dan jika kepentingan oknum ini masuk ke kebijakan bank, kan berbahaya,” terangnya.

Salah satu contoh yang patut dicurigai, kata Dedi saat BPD Kaltim menyalurkan kredit ke PT Citra Gading Asritama, kontraktor sekaligus investor yang mengerjakan sejumlah proyek di Kukar. “Setahu saya perusahaan ini dapat kucuran dana Rp 300 miliar dari BPD Kaltim. Ini aneh, mengapa BPD Kaltim sangat berani meminjamkan uang ke perusahaan yang sudah kena black list bank dunia?”

Diungkapkan Dedi, PT Citra Gading Asritama mengerjakan sejumlah proyek di Kaltim, termasuk di Kukar. Di antaranya adalah proyek Royal World Plaza di Tenggarong. Sementara perusahaan tersebut, selain punya masalah hukum di Lombok Timur, oleh Bank Dunia, PT Citra Gading Asritama masuk dalam daftar hitam karena melakukan pelanggaran.

“Pada saat itu Citra Gading masih dalam black list, BPD Kaltim kok berani mengucurkan uang ke perusahaan ini? Jaminannya apa? Jangan-jangan tidak pakai jaminan. Perusahaan ini sekarang sudah kesulitan uang, proyeknya di mana-mana banyak yang macet dan bermasalah. Kalau sampai kontraktor ini bermasalah di hukum, apa nantinya tidak merugikan bank?” tandasnya Dedi.

Terkait dengan penghentian dan pembatasan kredit jasa konstruksi di BPD Kaltim, Dedi menduga karena kondisi bank daerah ini sekarang sedang tidak sehat karena tingginya kredit macet di bank tersebut. “Saya dengar dana yang masuk dari pihak ketiga dengan besaran penyaluran kredit tidak seimbang, ini kan ada tidak masuk akal. Prinsip kehati-hatian telah dilanggar oleh bank ini,” pungkas Dedi.

PENGAWASAN OJK

Sementara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sendiri saat ini telah melakukan pengawasan ekstra terhadap BPD Kaltim. Ada indikasi laporan keuangan menyatakan kondisi bank pelat merah tersebut sedang tidak sehat.

Indikasi itu tampak berdasarkan data laporan keuangan di laman resmi Otoritas Jasa Keuangan perihal perhitungan rasio keuangan BPD Kaltim pada kuartal I/2014 yang masih belum diaudit OJK.

Disebutkan, rasio return of asset (ROA) bank yang dimiliki oleh pemerintah daerah di Kaltim dan Kaltara itu sebesar 1 persen atau berada di bawah ketentuan yang dipersyaratkan sebagai bank sehat yakni lebih besar atau sama dengan 2 persen.

Demikian halnya dengan return of equity (ROE) yang rasionya hanya sebesar 2,31 persen, jauh di bawah batas normal sebesar 12 persen.

Pengakuan mengejutkan datang dari Wali Kota Balikpapan Rizal Effendi. Ia mengatakan ada sedikit masalah di BPD Kaltim yang mengharuskan adanya pengawasan dari OJK. Seluruh pemilik saham, lanjutnya, juga melakukan pertemuan dengan otoritas pengawas lembaga keuangan, beberapa waktu lalu (22/8).

“Memang ada informasi sedang diawasi tetapi informasi detailnya masih belum disampaikan. Mungkin karena ada lesunya kegiatan ekonomi akibat penurunan tambang di Kaltim,” ujarnya kepada wartawan.

Secara terpisah, Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak juga mengakui adanya pertemuan antara seluruh pemegang saham dan OJK. Pertemuan tersebut bukan disebabkan karena BPD Kaltim dalam pengawasan tetapi karena para pemegang saham ingin mendapatkan masukan dari OJK agar kinerja bank tersebut bisa lebih baik lagi.

Sementara pihak OJK, melalui Kepala Kantor OJK Provinsi Kaltim Asep Lesmana, memastikan bahwa pengawasan yang dilakukan kepada BPD Kaltim masih normal dan sama dengan yang dilakukan otoritas pengawas lembaga keuangan itu pada perbankan lainnya.

Kepada wartawan, Asep mengatakan, belum ada indikasi yang menunjukkan BPD Kaltim termasuk dalam kategori yang perlu mendapatkan pengawasan khusus. “Pengawasan terhadap BPD Kaltim memang kami lakukan tapi masih dalam pengawasan normal sama seperti bank lain,” ujarnya, Rabu (27/8).

Asep menyatakan, pertemuan yang dilakukan OJK dengan empat pemegang saham BPD Kaltim hanya bertujuan untuk menginformasikan kinerja bank pelat merah tersebut. Perlambatan ekonomi yang terjadi di Indonesia, menyebabkan seluruh perbankan harus melakukan konsolidasi internal.

Hanya saja, ada beberapa masukan yang diberikan oleh OJK kepada BPD Kaltim guna meningkatkan kinerja seperti dengan lebih mengoptimalkan dana masyarakat. Selama ini, sebagai bank pemerintah, pendanaan BPD Kaltim memang banyak berasal dari kas daerah.

Adapun mengenai ROA dan ROE yang berada di bawah standar, Asep mengatakan hal tersebut masih normal karena kinerja yang masih berjalan. Fluktuasi tersebut bisa saja nantinya membaik setelah tahun buku berakhir karena manajemen tentu akan melakukan upaya perbaikan agar kinerja perbankan bisa tetap terjaga. []

Headlines