KATA jubir—singkatan abreviasi dari kata juru bicara—di lingkungan sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kutai Kartanegara (Kukar) mulai sering terdengar dan makin ramai mengusik gendang telinga sejak Mei 2013 lalu, saat Ketua DPRD Kukar dijabat H. Salehudin dari Fraksi Golkar.
Keinginan untuk melewatkan semua persoalan yang berkaitan dengan keberadaan DPRD Kukar melalui satu pintu yang terkordinasi, menjadi titik awal, ditunjuk saya sebagai jubir, namun penunjukkan itu kemudian saya tolak melalui suatu mekanisme rapat paripurna dengan memberikan alasan penolakan yang didasari ketentuan yang diatur dalam Tata Tertib dan Peraturan Pemerintah yang mempedomani penyusunan peraturan Tata Tertib DPRD.
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD, pasal 41 ayat 1 huruf d, disebutkan bahwa pimpinan DPRD mempunyai tugas menjadi juru bicara DPRD.
Saya kemudian mengusulkan agar penunjukan juru bicara dibicarakan dalam rapat pimpinan dan menunjuk salah seorang pimpinan sebagai jubir.
Namun karena berbagai kesibukan maka rapat tersebut belum terlaksana dan Ketua DPRD atas persetujuan lisan pimpinan lainnya menunjuk Suratman Mustakin sebagai jubir.
Penunjukkan ini kemudian menjadi polemik dan perdebatan yang berkepanjangan di lingkup DPRD Kukar dan kalangan pemerhati politik. Namun sesuai dengan style leadership yang menjadi karakternya, ibarat pepatah anjing menggonggong kafilah berlalu, untuk kemudian mengambil manfaat dari kontradiksi ini dalam memastikan suatu keputusan yang tepat kelak, penunjukkan itu tetap dilaksanakan oleh Salehudin.
Polemik soal jubir itu juga menjadi topok hangat bagi banyak kalangan, khususnya dalam diskusi-diskusi non formal, termasuk di sebuah warung kopi yang mendapan julukan warung mbeko—makan, bahasa Jawa—yang cukup terkenal di Tenggarong.
Suatu hari, saya dan teman teman yang berjumlah tujuh orang, ditambah dengan politisi muda yang duduk di parlemen Kaltim, datang didampingi dua orang staf kantornya. Kami duduk menyebar di dua meja yang disatukan, disuguhi makanan dan minuman sesuai selera kami.
Diselingi santainya menyantap makan dan minum di warung mbeko itu kami mendiskusikal soal jubir.
Sebagai lembaga politik yang diberi kewenangan sebagai penyelenggara pemerintahan daerah sekaligus memiliki fungsi yang sangat penting, menurut hemat kami sejogyanya memang harus ada dan lewat satu pintu terkait keluar masuknya informasi ke dan dari institusi ini. Tujuannya, supaya tidak terjadi kekeliruan kekeliruan pengambilan keputusan maupun kebijakan yang dibuat karena miss informasi.
Petunjuk perundangan seperti tertuang dalam pasal 41 huruf d yang dianggap belum menegaskan keharusan adanya seorang jubir dan lebih mengisyaratkan kalau dibutuhkan sesuai pendapat beberapa teman, menurut hemat saya bukan esensi pokok lagi, karena itu keberadaan jubir menjadi kemutlakan dalam lembaga perwakilan rakyat, mengingat besarnya tanggung jawab lembaga ini yang tidak boleh melakukan kesalahan sekecil apapun dalam pengambilan keputusan, mengingat keputusan keputusan itu menyangkut hajat hidup orang banyak.
Akan tetapi penunjukkan jubir itu haruslah melalui mekanisme rapat pimpinan dan menjadi bagian tugas dari seorang pimpinan, dan dituangkan dalam suatu surat keputusan pembagian tugas kerja pimpinan sebagaimana tata kerja pimpinan yang kolektif kolegial.
Tapi kesimpulan diskusi ini juga bukan berarti menyalahkan kebijakan yang ada di DPRD Kukar, karena tidak ada pertalian sanksi sedikitpun terkait ditunjuknya seorang anggota bukan pimpinan sebagai jubir oleh ketua DPRD, karena hal itu dilakukan semata-mata untuk meningkatkan kinerja lembaga yang dipimpinnya, walaupun hal itu berlangsung sampai akhir periode 2009 -2014.
Dibandingkan dengan DPRD kabupaten kota lain dan mungkin juga propinsi yang tidak menetapkan seorang pimpinan untuk menjadi jubir bagi institusi tersebut, pada akhirnya cukup kesulitan mengerem komentar para anggota DPRD di berbagai media karena ketidakberadaan jubir dimaksud. Tafsir bahwa jubir itu bisa ya dan bisa tidak, menyebabkan tidak adanya pembatasan komentar terhadap para anggota dewan dan ini memberi peluang munculnya informasi yang berbeda terkait eksistensi lembaga ini yang tidak bisa dicegah.
Sementara itu, job describtion yang harus dilakukan dan diatur dalam sebuah surat keputusan, mengingat tugas pimpinan dewan dan pimpinan alat kelengkapan, justru menjadi sumir. Akibatnya semua keputusan dan informasi menjadi tidak bulat dan utuh sebagai keputusan lembaga ketika disampaikan oleh beberapa anggota yang berbeda peran serta kepentingan politiknya.
Karena itu penunjukkan jubir di DPRD Kukar tidak perlu diperdebatkan lagi, tapi anggaplah itu cubitan kecil bagi semua lembaga perwakilan rakyat daerah yang belum menetapkan siapa pimpinan yang bertanggung jawab memberikan informasi tentang DPRD kepada media untuk diteruskan ke masyarakat luas dengan benar dan transparan mengingat hal itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Bagi yang belum ada supaya dapat menetapkannya, demi kepatuhan terhadap perundang undangan. Bagi pendapat yang menyatakan tidak harus ada jubir, kecuali diperlukan, kan tidak ada salah juga bila sudah ditetapkan dan sewaktu waktu bila diperlukan bisa berperan dalam tugasnya. Kalau ada yang mudah kenapa dibuat sulit.
Sekarang dalam masa bhakti DPRD Kukar 2014-2019, telah juga ditunjuk dan ditetapkan seorang anggota DPRD sebagai jubir, namun hal ini dimaklumi mengingat alat kelengkapan belum terbentuk dan semua kegiatan masih di bawah komando pimpinan sementara.
Akan tetapi bila semua alat kelengkapan DPRD sudah terbentuk maka saya pun berharap kebijakan yang baik itu dan harusnya menjadi contoh bagi daerah lain dalam hal kepatuhan terhadap perundang undangan, sepatutnya dilaksanakan dengan baik, tepat dan benar agar menjadi contoh yang benar bagi orang lain.
Apalagi salah seorang sahabat saya yang hadir dalam diskusi itu justru menjadi salah satu pimpinan DPRD periode baru ini. Untuk itu harapan ini seyogyanya bisa terlaksana dengan baik dan menjadi contoh yang benar. ***