Gonjang-ganjing ‘anggaran siluman’ di DKI merambah ke Kukar. LSM Intrik menengarai, ada sekitar 60 item kegiatan bernilai Rp 400 miliar masuk di APBD 2015 secara ilegal.
KUTAI KARTANEGARA – Persoalan duit adalah persoalan krusial, terlebih jika bersentuhan dengan rakyat alias uang negara. Jika salah kelola, bukan saja bakal jadi bahan bullying publik, tetapi juga bakal bernasip tragis menginap di ‘hotel prodeo’ bertahun-tahun lamanya.
Sejak dua bulan terakhir, kasus dugaan penyimpangan pengelolaan uang negara ini cukup menggoncang Pemerintah Daerah Istimewa Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Dimana Gubernur Basuki Cahaya Purnama alias Ahok berseteru dengan para legislator yang dikomandani Abraham Lunggana alias H. Lulung.
Seteru terkait masuknya beberapa paket kegiatan bernilai ratusan miliar rupiah pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta Tahun Anggaran (TA) 2015. Bukan saja mengakibatkan terhambatnya layanan pemerintah, perkara tersebut juga sempat melibatkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Nah, perkara di DKI Jakarta yang menjadi isu nasional tersebut ditengarai juga terjadi di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim). Bedanya, meski tak jadi isu nasional, ‘anggaran siluman’ yang muncul pada ‘buku putih’ APBD Kukar TA 2015, bahkan lebih parah kasus pelanggarannya.
Adanya anggaran siluman pada APBD Kukar 2015 adalah temuan para peneliti dan investigator dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Investigasi dan Transparansi Perkara Korupsi (Intrik) Kukar.
Menurut Fatahuddin, Direktur Intrik, ada sekitar 60 paket kegiatan pada 4 Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dengan total lebih dari Rp 400 miliar yang masuk ke APBD 2015 tanpa melalui proses pembahasan dan persetujuan bersama dalam rapat paripurna. Itu menyalahi ketentuan perundang-undangan.
Kajian itu didasarkan pada penelitian atas dokumen Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS), dokumen Rencana Kerja Anggaran (RKA) Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang menjadi Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) APBD 2015, dokumen Peraturan Daerah (Perda) Nomor 15 Tahun 2014 tentang APBD TA 2015 (Perda 15/2014)dan dokumen Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 40 Tahun 2014 tentang Penjabaran APBD TA 2015 (Perbup 40/2014).
Menurut Fatahuddin, ada perbedaan mencolok antara Raperda APBD 2015 yang disahkan pada rapat paripurna tanggal 26 November 2014 dengan dokumen Perda 15/ 2014 dan Perbup 40/2015 yang diundangkan pada 24 Desember 2014. Selain ditemukan ada item-item kegiatan baru pasca pengesahan raperda, total nilai belanja dan pendapatan juga tidak sesuai.
“Besaran belanja APBD Kukar saat disepakati dalam paripurna persetujuan bersama itu senilai Rp 7,002 triliun, tapi coba perhatikan ada spanduk yang dipasang di halaman Kantor DPRD Kuka, APBD Kukar itu senilai Rp 6,980 triliun,” kata Fatahuddin ketika berbincang dengan media ini di Tenggarong, Sabtu (20/3).
Menurut Fatahuddin, APBD itu dinyatakan sah dan legal untuk dilaksanakan apabila sesuai mekanisme yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 311, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 45.
“Anggaran tersebut dinyatakan sah dan legal apabila mendapat persetujuan bersama antara DPRD dengan Bupati sebagai kepala daerah dalam rapat paripurna. Kata kuncinya adalah persetujuan bersama antara DPRD dengan kepala daerah,” ungkap Fatahuddin.
Sementara berdasarkan investigasi pihaknya ke DPRD Kukar, tidak pernah dibahas terkait perubahan-perubahan itu dalam paripurna pasca paripurna pengesahan Raperda yang digelar November tahun lalu. Paket kegiatan dan perubahan nilai anggaran tiba-tiba saja muncul seperti siluman, tak diketahui banyak orang.
Ketika disinggung apakah kasus tersebut merupakan pelanggaran korupsi berimplikasi hukum, Fatahuddin menyebut, untuk menelaah itu bukan domainnya, melainkan ranah penegak hukum. “APBD adalah produk hukum resmi sebagai peraturan daerah, karena itu Perda APBD merupakan dokumen negara yang harus dilindungi dan dipertanggungjawabkan keabsahannya oleh semua pihak,” jelasnya.
Sebagai dokumen penting negara, lanjut Fatahuddin, apakah dapat dibenarkan terjadi ‘selip menyelip’ terhadap isi APBD, sehingga mengalami perubahan yang signifikan? “Silahkan ditafsirkan, apakah itu wajib dipermasalahkan atau tidak,” ujar Fatahuddin memberkan pertanyaan retorika.
Terkait hasil kajian LSM Intrik tersebut, pihak DPRD Kukar belum dapat dikonfirmasi. []