Di Balik Peringatan 60 Tahun KAA

Di Balik Peringatan 60 Tahun KAA

JAKARTA – Pangeran Norodom Sihanouk dari Kamboja dan anggota delegasinya berjalan kaki dari Hotel Savoy Homann, tempat mereka menginap, menuju Gedung Merdeka, tempat Konferensi Asia Afrika diselenggarakan 18-20 April 1955. Pangeran Norodom Sihanouk adalah salah satu kepala pemerintahan yang hadir di KAA. Selain Sihanouk, juga hadir Perdana Menteri Tiongkok Chou En Lai, PM Burma (kini, Myanmar) U Nu, PM India Jawaharlal Nehru, PM Pakistan Muhamad Ali Bogra, PM Sri Lanka Sir John Kotelawala, Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser, dan PM Vietnam Utara Pham Van Dong.

Ada 29 negara dan 1 utusan mengirim delegasi ke KAA, yakni 28 peserta, 1 peninjau (Siprus), dan satu utusan (Jerusalem Palestina). Ke-28 negara lain, Afganistan, Arab Saudi, Burma, Etiopia, Filipina, India, Indonesia, Iran, Irak, Jepang, Jordania, Kamboja, Laos, Lebanon, Liberia, Mesir, Nepal, Pakistan, Pantai Emas (kini, Ghana), Tiongkok, Sri Lanka, Sudan, Suriah, Thailand, Turki, Vietnam Selatan, Vietnam Utara, dan Yaman.

Tidak tanggung-tanggung, ada ratusan tamu asing yang tiba di Bandar Udara Kemayoran, Jakarta, dan kemudian menuju ke Bandung melalui jalan darat untuk mengikuti KAA. Total tamu yang hadir di Bandung jumlahnya sekitar 1.500 orang, dan mereka akan ditempatkan di 14 hotel besar dan 31 bungalo di sepanjang Jalan Cipaganti, Jalan Lembang, dan Jalan Ciumbuleuit. Hampir semua kepala pemerintahan menginap di bungalo, kecuali beberapa yang memilih menginap di Hotel Savoy Homann. KAA diliput 377 wartawan, dari dalam dan luar negeri. Mereka diinapkan di Hotel Swarha Islamic di pojok Alun-alun Bandung.

Presiden Soekarno turun sendiri untuk mengecek persiapan penyelenggaraan KAA. Ia bahkan menentukan makanan apa saja yang disajikan kepada para tamu KAA. Ia menginginkan para tamu disuguhi makanan khas Indonesia, seperti soto, sate, dan gado-gado. Dan, juga makanan ringan, seperti klepon, pukis, lemper, kue lapis, dan cendol.

Untuk memberikan layanan telekomunikasi yang maksimal, jaringan telepon, telegram, dan pos ditingkatkan pelayanannya. Kemampuan pengiriman telegram ditingkatkan hingga 100.000-200.000 kata per hari. Pimpinan Pos, Telepon, dan Telegram bekerja ekstra keras.

Bukan itu saja, juga disediakan 145 sedan, termasuk Plymouth Belvedere dan Opel Kapitan keluaran tahun 1954, 30 taksi, 20 bus, dan 230 sopir untuk melayani keperluan para peserta dan wartawan. Bahan bakar minyak (BBM) yang diperlukan setiap hari 30 ton, dan stok untuk 5 hari sebanyak 175 ton. Perusahaan minyak Stanvac berjanji akan menyediakan semua keperluan itu. Bahkan Stanvac juga menyiapkan instalasi minyak di Cirebon yang dapat menyimpan 800.000 liter BBM (setara hampir 800 ton). Itu belum semua, di Bandung dibangun empat stasiun pengisian bahan bakar minyak untuk umum (SPBU) tambahan.

Menyiapkan semua itu pada saat ini mungkin tidak ada artinya, tetapi 60 tahun yang lalu, itu adalah suatu pekerjaan yang sangat besar, yang hampir mustahil dilakukan. Aparat keamanan yang diturunkan untuk mengamankan KAA jumlahnya mencapai 1.700 orang.

Ada hal yang menarik tentang penyelenggaraan KAA, yang dikisahkan Dr Roeslan Abdulgani, dalam bukunya yang berjudul The Bandung Connection: Konperensi Asia Afrika di Bandung Tahun 1955. Pada tahun 1955, Roeslan menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri dan memimpin Sekretariat Bersama Penyelenggaraan KAA.

Ketika sidang pleno diistirahatkan pada pukul 13.00, dan akan dilanjutkan kembali pukul 15.00, hujan turun dengan amat derasnya. Ruang sidang pleno bocor, air membasahi kursi dan meja yang diperuntukkan bagi para menteri dan pejabat-pejabat tinggi serta menggenang di lantai. Ada dua hal yang menguntungkan, yaitu para delegasi sudah meninggalkan ruang sidang dan pada pukul 14.00 hujan berhenti. Pintu ruang sidang pun langsung dikunci dan Roeslan langsung memimpin sendiri petugas-petugas di tempat itu untuk mengeringkan meja, kursi, dan lantai yang tergenang air. Mereka menggunakan lap-lap pel, karung goni, lap yang dapat menyerap air, dan ember-ember.

Pukul 14.45, ruangan sidang dapat dikeringkan dan semua dapat bernapas lega kembali. Bayangkan, betapa malunya kita jika sampai para delegasi, atau para wartawan asing, mengetahui kebocoran itu. Cerita Roeslan dalam bukunya tersebut.

Menurut Roeslan, kita tidak ingin mengulangi pengalaman buruk yang dirasakan para delegasi pada Konferensi Bogor, 30 Desember 1954, tiga bulan sebelum KAA. Para delegasi Konferensi Bogor mengeluhkan akomodasi di Bogor yang sangat buruk. Air tidak mengalir, gantungan pakaian di kamar-kamar tidak ada, listrik byarpet, dan masih banyak lagi.

Itu sebabnya, semua diperbaiki. Gedung-gedung tempat penyelenggaraan KAA, hotel-hotel, bungalo-bungalo diperbaiki dan ditingkatkan (up grade). Masjid di alun-alun kita perbaiki. Demikian juga bandar udara, stasiun kereta api, jalan besar dari Jakarta ke Bandung, dan jalan-jalan tertentu di kota Bandung kita perbagus. Saluran telekomunikasi ditingkatkan kemampuannya, dan menyediakan kendaraan untuk para delegasi.

Penyediaan listrik di sekitar gedung penyelenggaraan KAA, hotel, dan bungalo pun ditingkatkan. Saat lampu-lampu di gedung-gedung tempat penyelenggaraan KAA, hotel, bungalo, dan di sepanjang jalan protokol dinyalakan untuk uji coba, kritik pun dilontarkan. Pers membandingkan antara tempat-tempat di sekitar gedung tempat penyelenggaraan KAA yang terang benderang dan rumah-rumah rakyat yang gelap karena belum tersentuh listrik. Kepanjangan KAA pun diubah menjadi “Konferensi Apa-Apaan ini”..

PERINGATAN DIMULAI

Senin (20/4), merupakan hari pertama dimulainya rangkaian kegiatan 60 tahun peringatan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Jakarta, Minggu 19 April 2015. Kegiatan dimulai dengan menggelar pertemuan tingkat tinggi pejabat setingkat Direktur Jenderal (Senior Official Meeting), yang digelar di Jakarta Convention Centre (JCC).

Acara, kemudian berlanjut pada Senin 20 April 2015, yakni pertemuan tingkat menteri (Ministerial Meeting) di lokasi yang sama. Sementara itu, pada Selasa 21 April 2015, akan digelar pertemuan tingkat tinggi para pengusaha dari Asia Afrika (AABS). Lebih dari 500 pengusaha dijadwalkan akan menghadiri pertemuan tersebut.

Selain itu, pada Rabu dan Kamis, 22-23 April 2015, berlangsung pertemun tingkat kepala negara (Leaders Meeting). Presiden Joko Widodo direncanakan memberikan pidato pembuka pada Rabu mendatang, yang disaksikan oleh 34 kepala negara dan delegasi dari 86 negara.

Sementara itu, acara puncak berlangsung di Bandung, pada Jumat 24 April 2015, di Gedung Merdeka, lokasi penyelenggaraan KAA tahun 1955 digelar.

Konferensi akbar ini ditargetkan akan melahirkan tiga dokumen yang harus disepakati bersama negara selatan-selatan. Dalam pertemuan setingkat Direktoral Jenderal, para pejabat tinggi dari 109 negara membahas mengenai tiga dokumen yang akan dikeluarkan usai pagelaran KAA. Tiga dokumen itu yakni, Pesan Bandung, Upaya Mengintegrasikan Ulang Kemitraan Asia-Afrika, dan Deklarasi Kemerdekaan Palestina.

Menurut Deputi Komunikasi Politik Kantor Staf Kepresidenan, Eko Sulistyo, draf tiga dokumen itu sebelum dibawa ke Jakarta, terlebih dahulu dibahas di New York, dengan fasilitas perwakilan tetap RI di New York. Sementara itu, saat ini, ketiga dokumen dirampungkan 90 persen ketika dibawa ke Jakarta.

Pesan Bandung itu, kata Eko, berisi visioner mengedepankan kerja sama yang baru dan konkret. Pesan ini akan lebih menyinggung masalah yang menyeluruh dan terkait hal-hal yang bisa dilakukan oleh negara-negara Asia Afrika.

Kemudian dokumen kedua, adalah upaya mengintegrasikan ulang kemitraan Asia-Afrika. Integrasi ulang ini akan didasarkan pada tiga pilar. Pilar pertama, yaitu solidaritas politik seperti demokrasi, HAM, reformasi PBB, perdamaian, dan sinergi organisasi regional.

Kemudian, pilar kedua, kerja sama ekonomi yang berbasis maritim, berkelanjutan, konektivitas dan mobilitas bisnis. Lalu, pilar ketiga, yaitu hubungan sosial-budaya seperti hubungan orang per orang, pemberdayaan perempuan, media, mitigasi bencana, migrasi, dan pemuda.

Tak hanya itu, dalam pertemuan ini juga dibahas mengenai pembaruan dokumen Reinvigorating The New Asian-African Strategic Partnership (NAASP). NAASP pertama kali dideklarasikan pada KTT Asia Afrika pada 2005 lalu.

Nantinya, hasil dari deklarasi NAASP adalah penguatan solidaritas, persahabatan, dan kerja sama. Kemudian, review perkembangan kerja sama NAASP 10 tahun terakhir dan mendorong kerja sama konkret utamanya di delapan fokus area NAASP seperti terorisme, organisasi kejahatan transnasional, keamanan pangan, keamanan energi, kerja sama universitas di Asia-Afrika, dan lainnya.

Konferensi akbar ini juga difokuskan untuk bersama-sama mendeklarasikan dukungan kepada Palestina. Negara-negara Asia-Afrika akan mendukung secara konsisten terhadap pendirian Negara Palestina dan hak-hak dasar warga Palestina.

Namun, rupanya ketika pembahasan dokumen deklarasi terhadap perjuangan rakyat Palestina di markas PBB, New York ini tak berjalan mulus. Tak semua nergara Asia-Afrika yang mengikuti pembahasan dokumen Palestina KAA setuju terhadap penggunaan diksi di dalamnya.

“Dalam diskusi mengenai deklarasi, ada perwakilan negara yang berbisik-bisik, jangan terlalu keras dong, karena negara kami belum mengakui Palestina,” ujar Diplomat Fungsi Ekonomi Wakil Tetap RI untuk PBB, New York, Purnomo Chandra beberapa waktu lalu.

Dia menyebut ada beberapa kata di dalam dokumen tersebut, yang dinilai terlalu keras. “Sebelumnya, ada kalimat di dalam dokumen seperti ‘we committed‘, kemudian diubah ‘we take note’,” kata Chandra. Namun, ketika dibawa ke Jakarta, isu ini telah selesai.

MANFAAT

Pemerintah Indonesia pun akan memanfaatkan momen ini untuk meraih keuntungan. Misalnya, dengan menawarkan beberapa kerja sama dengan negara Asia dan Afrika.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Andrinof Chaniago, mencontohkan kerja sama di bidang ekonomi. Sebab, perbedaan kebutuhan antarnegara menjadi hal yang menarik untuk meningkatkan ekspor Indonesia.

“Indonesia ke Afrika, kan punya produk yang dihasilkan Indonesia yang dibutuhkan di Afrika,” tuturnya.

Dikatakan Adrinof, produksi Tanah Air yang sudah berjalan paling banyak berada di empat kawasan negara ASEAN, seperti Myanmar, Kamboja, Vietnam, dan Laos. Kerja sama dengan empat negara itu banyak bergerak di sektor pertanian dan perikanan.

“Itu di Ambon, di sekolah perikanan, ada peserta siswa di negara pasifik selatan belajar di sana,” katanya.

Volume perdagangan ekspor dan impor Indonesia, dengan negara Asia dan Afrika dalam data statistik 2014, hanya mencapai US$11 miliar per tahun. Sementara itu, perdagangan ekspor Asia ke Afrika, mencapai 26 persen dari total ekspor Asia ke dunia.

Ini lebih besar dari ekspor Afrika ke Asia, yang hanya tiga persen dari total ekspor negara itu.

Kemudian, menurut Andrinof, Indonesia akan fokus pada sektor pertanian dan perikanan dalam ajang kerja sama ekonomi yang di usung dalam perhelatan peringatan konferensi akbar ini. Sebab, dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo ini lebih fokus pada agraria dan kemaritiman.

“Industri strategis kita, kan sudah maju, itu bisa jadi bahan kerja sama, atau membagi pengetahuan kenegaraan lain,” ujar Andrinof.

Dalam acara yang digelar di Jakarta dan Bandung 19-24 April, Andrinof mengatakan, kegiatan tersebut merupakan kerja sama berbagi pengalaman dan pengetahuan antarnegara.

Dia optimistis kerja sama antara negara peserta KAA akan lebih mudah terjalin, karena masing-masing negara peserta KAA memiliki sejarah dan perkembangan yang mirip.

“Kebanyakan sejarah negara ini sama dan perkembangannya sama, tetapi masing-masing telah mengembangkan pengalaman, serta pengetahuannya sendiri. Itu lebih bagus berbagi yang sejarahnya sama. Lebih mudah bekerja sama,” kata Andrinof.

MAKNA SEJARAH

Konferensi Asia Afrika saat ini merupakan refleksi dari konferensi yang diadakan 60 tahun lalu, dengan nama yang sama. Saat itu, negara-negara Asia dan Afrika yang kerap dianggap negara ketiga, berusaha memposisikan diri sebagai kekuatan baru yang mengedepankan perdamaian dan kemerdekaan.

Sebab, kebanyakan negara-negara Asia Afrika saat itu baru saja memperoleh kemerdekaan. KAA saat itu diselenggarakan oleh Indonesia, Myanmar, Sri Lanka, India, dan Pakistan, dan dikoordinasi oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Sunario.

Pertemuan ini berlangsung antara 18 April-24 April 1955, di Gedung Merdeka, Bandung, Indonesia, dengan tujuan mempromosikan kerja sama ekonomi dan kebudayaan Asia-Afrika dan melawan kolonialisme, atau neokolonialisme Amerika Serikat, Uni Soviet, atau negara imperialis lainnya.

Sebanyak 29 negara yang mewakili lebih dari setengah total penduduk dunia, pada saat itu mengirimkan wakilnya. Konferensi menghasilkan kesepakatan Dasasila Bandung, yang membangunkan kesadaran baru bagi bangsa-bangsa Asia, Afrika, dan Amerika Latin untuk mendapatkan hak hidup sebagai bangsa merdeka.

Negara-negara yang baru merdeka tersebut, pada waktu itu dihadapkan pada tantangan baru, berupa rivalitas dua blok besar, yakni Blok Barat dan Blok Timur. Indonesia pun kembali menjadi pelopor Gerakan Non Blok.

Bangsa ini pernah mengukir sejarah gemilang, dan berani menyuarakan suatu tatanan dunia baru. (asp)

INISIASI KADIN

Untuk mendorong kerjasama Selatan-Selatan di bidang perdagangan dan investasi, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia akan menginisiasi pembentukan Dewan Bisnis Asia Afrika.

Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Koordinator Asosiasi, Noke Kiroyan, mengatakan Kadin akan menyelenggarakan Forum Bisnis Asia Afrika (AABS), pada 21-22 April di Jakarta.

Forum bisnis yang terkait dengan peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA), itu akan digelar dengan tema revitalisasi kemitraan Asia Afrika untuk perkembangan dan kesejahteraan.

Pembentukan Dewan Bisnis Asia Afrika, dimaksudkan untuk memantau dan menindaklanjuti pelaksanaan berbagai keputusan AABS. “Kami ingin ada tindak lanjutnya secara konkret,” kata Noke.

Dia mengatakan sudah ada 700 peserta yang mendaftar untuk pertemuan AABS, namun penyelenggara hanya menetapkan 500 orang delegasi dari 45 negara Asia Afrika, terdiri dari pelaku usaha, pemerintah dan duta besar.

Pembahasan akan difokuskan pada sektor maritim, agribisnis, infrastruktur, perdagangan dan investasi. Presiden Afrika Selatan Jacob Zuma dan PM India Narendra Modi, akan menjadi pembicara kunci.

Pembicara lainnya adalah para CEO dari Afrika dan Asia, seperti CEO Alibaba Group Jack Ma. Sementara dari Indonesia adalah Franky O. Widjaja (Sinar Mas Grup), Sri Dato Tahir (Mayapada Grup), Hidayat Nyakman (Petrokimia Gresik) dan Chairul Tanjung (Para Group).

Noke menilai pertemuan itu strategis bagi Indonesia untuk mempromosikan peluang bisnis dan investasi. “Infrastruktur dan industri strategis kita harapkan bisa tersentuh investasi. Semoga ada realisasi setelah pelaksanaan acara ini,” katanya.

PESAN MENLU

Rangkaian peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) dan 10 tahun Kemitraan Strategis Asia Afrika (NAASP) berlangsung di Jakarta dan Bandung. Jika di tahun 1955 silam, sebanyak 29 negara berkumpul untuk menyuarakan perlawanan melawan kolonialisme atau neokolonialisme negara imperialis, maka di tahun ini negara peserta bisa kembali menyuarakan solidaritas kerjasama antar negara di bagian selatan.

Indonesia sebagai penggagas dan tuan rumah bertekad tak hanya membuat acara ini sebagai peringatan dan mengenang apa yang terjadi 60 tahun lalu, tetapi berharap bisa menjadi jembatan negara-negara di dua kawasan.

Sebanyak 34 kepala negara dan delegasi dari 86 negara telah memastikan diri hadir di Jakarta dan Bandung. Mereka hadir untuk kembali mengikat komitmen terhadap apa yang tertulis di dalam prinsip Dasasila Bandung tahun 1955 silam.

Prinsip tersebut masih dianggap sesuai dengan situasi saat ini. Namun, pada faktanya justru banyak negara peserta KAA yang justru melanggar prinsip-prinsip itu dalam membangun hubungan pergaulan internasional. Sebagai contoh, Tiongkok yang kerap menjadi ancaman akan melakukan agresi untuk memperluas wilayah melalui konflik sengketa Laut Tiongkok Selatan dan Timur, perang sipil di Yaman yang justru diselesaikan bukan dengan cara duduk di meja perundingan, melainkan mengangkat senjata.

Terkait hal tersebut, Menteri Luar Negeri RI, Retno L.P Marsudi mengatakan tidak ingin menunjuk atau menyalahkan pihak-pihak tertentu. Mantan Duta Besar RI untuk Kerajaan Belanda itu, mengatakan justru melalui KAA, Indonesia ingin kembali menyebarkan prinsip penyelesaian berbagai konflik dengan cara damai.

“Yang coba kami sebarkan adalah semangatnya, yakni cara yang damai dalam mendekati atau menyelesaikan isu-isu yang ada. Oleh sebab itu, prinsip Dasasila Bandung masih dianggap relevan hingga saat ini,” ujar Retno.

Retno menambahkan, melalui momen KAA ini, Indonesia ingin merangkul semua pihak untuk tumbuh dan berbagi. Indonesia, ujar Retno ingin mengedepankan konsep solidaritas, kebersamaan dan berkembang bersama, agar tidak ada lagi ketimpangan yang jelas di antara dua kawasan. Semua itu mulai direalisasikan dengan mengusulkan pertemuan yang lebih rutin dan tidak hanya digelar sekali dalam satu dekade.

Ketika diwawancarai wartawan secara khusus di ruang tamu di kantornya di kawasan Pejambon, Jakarta Pusat, Retno baru saja menyelesaikan pertemuan dengan beberapa pejabat di Kemlu. Kendati wajahnya terlihat letih, tetapi, dia tetap semangat merampungkan persiapan KAA termasuk tiga dokumen yang menjadi hasil konferensi tersebut pada tanggal 24 April 2015 di Bandung.

Sambil memegang beberapa dokumen hasil rapat, Retno berharap konferensi ini dapat kembali merajut kedekatan dan membangun kontak antar warga negara di dua benua yang terpisah. Lalu apa saja terobosan nyata yang dilakukan oleh Indonesia dalam peringatan KAA kali ini agar tidak terkesan hanya sekedar selebrasi? Dan seberapa besar dukungan negara di kawasan Asia Afrika agar bisa mendorong percepatan kemerdekaan bagi Palestina, mengingat hingga saat ini hanya mereka yang belum memperoleh kemerdekaan penuh dan masih diokupasi negara lain.

Berikut wawancara dengan Menlu Retno yang ditemui di sela jeda rapat persiapan KAA pada Rabu, 15 April 2015:

Apa saja terobosan baru yang dibuat oleh Indonesia dan negara peserta dalam peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) dan 10 tahun Kemitraan Strategis Asia Afrika (NAASP)?

Ini menyangkut kepemimpinan Indonesia. Kita kalau tahun 1955 bisa memerankan sebagai pemimpin, maka pada usia yang ke-60 setelah KAA, Indonesia tetap memainkan peran itu sebagai pemimpin di kawasan Asia Afrika.

Kalau kita berbicara mengenai terobosannya, saya kira pertama, mungkin ini bisa dilihat sebagai terobosan, itu tergantung dari bagaimana kita memandangnya.

Saya selalu terfokus atau melihat prinsip-prinsip Dasasila Bandung. Pertanyaannya sangat sederhana: “Apakah Dasasila Bandung masih relevan atau tidak?” Jawabannya masih. Karena saya telah melihat satu demi satu dari 10 prinsip dan nilai tersebut, semua yang ada di situ masih sesuai dengan situasi terkini.

Menarik juga untuk dicermati bahwa butir pertama di dalam Dasasila Bandung itu mengenai hak asasi manusia (HAM), kemudian di situ ada semangat prinsip regionalisme, multilateralisme, rujukan terhadap piagam PBB ada beberapa kali disebut, kemudian penghormatan terhadap integritas teritorial, tindakan tidak ikut campur, dan sebagainya, kesetaraan dan yang juga menarik adalah masalah kerja sama.

[note isi Dasasila Bandung: 1. Menghormati hak-hak asasi manusia beserta tujuannya serta asas-asas yang termuat dalam Piagam PBB (Atlantic Charter). 2. Menghormati kedaulatan wilayah semua negara. 3. Mengakui persamaan semua ras dan persamaan semua bangsa besar atau kecil.

  1. Tidak melakukan campur tangan dalam urusan-urusan dalam negeri negara lain. 5. Menghormati hak setiap negara untuk mempertahankan diri. 6. a. Tidak mempergunakan peraturan-peraturan pertahanan kolektif untuk kepentingan khusus salah satu negara besar.
  2. b. Tidak melakukan tekanan terhadap negara lain. 7. Tidak melakukan tindakan atau ancaman agresi atau penggunaan kekerasan terhadap keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik negara manapun. 8. Menyelesaikan segala perselisihan internasional secara damai, seperti dengan perundingan, persetujuan, arbitrase atau penyelesaian hukum, atau dengan cara damai lainnya menurut pihak-pihak yang bersangkuran, sesuai dengan Piagam PBB. 9. Mengajukan kepentingan bersama dan kerjasama secara timbal balik. 10. Menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasional.]

Nah, sekarang kita melihat atau bertanya kepada kita sendiri, apakah kerjasama ini sudah optimal atau belum, jawaban saya adalah belum. Jadi bagaimana caranya meningkatkan kerjasama? Ya salah satunya adalah dengan menyelenggarakan perhelatan ini.

Jadi sekali lagi, berangkat dari sejarah iya, tetapi ini bukan hanya pesta komemorasi, we go beyond that, kita coba dekatkan Asia Afrika, kita kirimkan kembali pesan-pesan yang masih sangat relevan. Pada saat yang sama, kami tunjukkan kepemimpinan di kawasan Asia Afrika, karena apa?

Pertanyaan saya begini: “kita mau tidak kepemimpinan Asia Afrika itu diambil orang lain?” Jika kita membicarakan Asia Afrika, maka yang ada di benak orang yaitu Bandung dan Indonesia.

Kalau kita tidak berusaha untuk melakukan sesuatu dan mengemasnya sesuai dengan konteks kekinian, kepemimpinan itu akan lepas. Jadi, if we do nothing, then we get nothing. Kan pertanyaannya selalu, mana nih konkritnya? Ada hal yang bisa dibuat menjadi sesuatu yang nyata dan ada juga yang tidak.

Kepemimpinan termasuk salah satu hal yang tidak sama seperti angka sesuatu yang nyata. Tapi, kepemimpinan itu merupakan satu investasi jangka panjang yang tinggi dan kadang-kadang di satu titik, kita harus berinvestasi dan titik lainnya, kita dapat sesuatu yang nyata.

Tidak ada cash and carry. Sekarang ini, Indonesia masih terus berinvestasi dan kepemimpinan sekali lagi bisa dinominalkan, tetapi tidak ada satu pun yang bisa meragukan betapa pentingnya kepemimpinan Indonesia di kawasan dan di dunia.

Jadi, kalau kita berbicara kalau Indonesia adalah negara yang besar, maka kita harus bertindak seperti negara yang besar.

Apakah dalam KAA kali ini bisa dijadikan momentum untuk menyelesaikan konflik di antara negara peserta KAA, seperti misalnya konflik Yaman dan Laut Tiongkok Selatan?

itu kan ada di dalam prinsip Dasasila Bandung. Saya ingat mengenai penggunaan cara yang damai untuk menyelesaikan masalah-masalah dunia. [Note: ada di poin ke delapan Dasasila Bandung]

Jadi, kami juga mendorong semua negara [menggunakan cara damai.red]. Kita tidak mau menyalahkan orang lain. Tetapi, yang coba kita sebarkan adalah semangatnya, yakni cara yang damai dalam mendekati atau menyelesaikan isu-isu yang ada.

Saya ingin kembali ke situasi Indonesia dulu. Saya juga baru saja bertemu dengan Profesor Amitav Acharya dari Universitas Amerika di Washington D.C. Saya berbagi pendapat Beliau karena menarik sekali. Saya baca bukunya dan saya amini. Di dalam buku itu tertulis: “Yang menjadikan Indonesia besar dan diakui sebagai emerging country, bukan karena Indonesia memiliki kekuatan militer yang sangat besar, bukan karena ekonomi yang luar biasa, karena negara lain mereka menjadi besar, karena entah dia memiliki kekuatan militer yang besar atau mereka memiliki kekuatan ekonomi yang sangat besar sehingga dia bisa melakukan banyak hal.

Indonesia menjadi besar sejajar dengan negara besar lainnya, karena kita mampu mengkombinasikan antara demokrasi, stabilitas, dan pembangunan. Kebesaran Indonesia, tanpa menjadi ancaman bagi negara lainnya.

Jadi, semua negara akan merasa nyaman dengan Indonesia. Kami tidak mengancam negara lain. Kalau Indonesia yang bergerak, maka semua orang akan merasa nyaman. Justru, di situ kelebihan Indonesia. Kita ingin memaksimalkan kelebihan kekhasan Indonesia untuk sekali lagi menyebarkan suara perdamaian, kerjasama, berkembang bersama, dan sebagainya. Jika dilihat dari penduduk di kawasan Asia dan Afrika, saya kira itu mencakup 70 persen penduduk dunia.

Kalau dilihat dari aspek pendapatan per kapita (GDP), kontribusinya kurang lebih sekitar 50 persen. Tetapi kita kan di situ masih terlihat ketidaksetaraannya dan ketidakseimbangan. Semua fakta yang masih ada ini berusaha untuk dirangkum oleh Indonesia, ini adalah platform, bagi negara di kawasan Asia Afrika untuk bertemu, membahas kerjasama yang bisa dilakukan dan Indonesia berusaha sekaligus untuk mengusulkan bagaimana mekanisme selanjutnya, karena pertemuan 10 tahun sekali kan sangat tidak cukup. Oleh karena itu, Indonesia mengusulkan pertemuan dua tahunan antara para Menteri Asia dan Afrika di New York pada saat para Menteri tersebut tengah menghadiri Sidang Majelis Umum PBB.

Di sisi bisnis, kami mengusulkan agar dibentuk Dewan Bisnis Asia Afrika yang akan melakukan pertemun setahun sekali. Ini, strategi untuk mendekatkan komunitas bisnis. Jadi, Indonesia hanya menyedikan platformnya untuk kawasan Asia dan Afrika, termasuk platform untuk pebisnis.

Secara khusus di sela KAA akan ada Pertemuan Tingkat Tinggi Bisnis Asia dan Afrika (AABS) dan di saat yang sama akan dilangsungkan Forum Ekonomi Dunia (WEF) Asia Timur yang digelar di Hotel Shangri La. Untuk pertemuan AABS yang telah memastikan diri sudah lebih dari 500 orang pengusaha, sementara WEF tercatat lebih dari 200 orang. Untuk WEF biasanya CEO yang hadir tingkatnya sudah besar dan skala dunia.

Dari kehadiran mereka saja sudah memberikan gambaran, mengapa mereka bersedia datang ke Jakarta, mengapa banyak yang mau datang kemari? Hal itu karena mereka memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap Indonesia. Di situ sebenarnya Indonesia juga sudah bisa memanfaatkan potensi, sudah ada rasa kepercayaan dari pasar, kita optimalkan semuanya.

Apakah di dalam KAA nantinya juga akan dimanfaatkan untuk menyuarakan target ambisius Indonesia sebagai poros maritim dunia?

Kerjasama maritim, kerjasama konektivitas, merupakan salah satu kerjasama yang akan disuarakan di dalam konteks kerjasama Asia Afrika juga, sebab kalau bicara Asia Afrika ada samudera di tengah-tengahnya. Oleh sebab itu, kami juga akan menyuarakan kerjasama dalam konteks maritim ini.

Apakah nantinya akan ada kesepakatan kerjasama di bidang ekonomi yang akan diteken di sela KAA ini, mengingat di sela acara ada Pertemuan Tingkat Tinggi Pengusaha Asia Afrika?

itu teman-teman dari para pengusaha ya. Mereka yang akan mengurus itu sekaligus sekali lagi saya menyampaikan bahwa tugas dari pemerintah adalah membukakan jalan, untuk menyediakan platform bagi mereka untuk menjadi lebih dekat dan sebagainya. Jadi, saya kira pasti akan ada hasil dari engagement dari para pengusaha ini baik yang berada di AABS baik di Forum Ekonomi Dunia (WEF), karena saya yakin mereka datang kemari tanpa ingin pulang dengan tangan hampa.

Apakah ada target khusus mengenai kerjasama ekonomi saat penyelenggaraan KAA?

Terkait dengan kerjasama ekonomi, saya akan sampaikan tren. Ini juga yang menyebabkan Indonesia optimistis membangun kerjasama dengan Afrika. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, trend kenaikan perdagangan dengan Afrika, rata-rata kenaikannya adalah 25,31 persen, sementara dengan negara-negara Timur Tengah, kenaikan adalah 17,34 persen. Itu dari aspek perdagangannya.

Kemudian dari aspek investasinya, rata-rata kenaikan per tahun sampai 164,47 persen itu untuk Afrika, sedangkan untuk kawasan Timur Tengah 213,18 persen. Belum lagi dari aspek pariwisatanya yang rata-rata naik 12-16 persen.

Dari trend itu kita bisa mengambil satu pola yang bisa dipake untuk meningkatkan baik perdagangan, investasi maupun pariwisata. Namun, sekali lagi, ada beberapa negara yang kita tidak bisa sekedar mempertukarkan dengan angka.

Misalnya ada beberapa negara kecil di Afrika yang tidak berbicara mengenai angka. Justru sebagai negara besar, ada saatnya semua negara memikirkan mengenai kepentingan nasionalnya. Itu wajib, demikian juga semua gerakan politik luar negeri Indonesia, bercermin kepada kepentingan nasional. Tetapi di waktu yang bersamaan ada peran yang dilakukan Indonesia sebagai anggota bangsa dunia.

Sekali lagi jika kita adalah negara besar, maka kita akan berkontribusi lebih besar dibandingkan yang lain, dalam konteks misalnya ada negara yang lebih kecil yang memerlukan, kita lakukan kerjasama bantuan pembangunan kapasitas, dalam konteks itulah kerjasama selatan-selatan menjadi sangat mengemuka. Plus saya sampaikan kerjasama triangular dengan beberapa pihak seperti Swedia, Brunei Darussalam, UNDP, dan Norwegia. Jadi, mesinnya kita gerakkan, kita lihat kemampuan kita seberapa besar, jika kemampuan kita tidak terlalu banyak kita gandeng yang lain. Sekali lagi angka penting, tetapi tidak semuanya bisa diangkakan. Tetapi, pasti tidak akan sia-sia.

Apakah dengan adanya kenaikan trend dalam kerjasama ekonomi berarti menandakan telah ada perbaikan opini publik terhadap Benua Afrika? Karena selama ini masih ada ketimpangan yang sangat jauh di antara dua kawasan.

maka kita mencanangkan, salah satu tagnya itu growing together. Jadi, memang kalau dilihat Asia itu mesin pertumbuhan. Kemajuan ekonomi yang paling pesat itu terjadi di Benua Asia.

Tetapi, jangan lupa, Afrika itu merupakan benua harapan. Jika dikombinasikan bersama, maka hal itu akan baik. Saya coba lihat, ada tujuh negara yang merupakan negara anggota G20 di kawasan Asia. Kalau dikombinasikan dengan negara berkembang lainnya, maka jumlahnya akan lebih banyak lagi.

Balik lagi ke Asia, kalau dilihat secara keseluruhan, ada beberapa titik negara-negara di Asia termasuk Indonesia yang mengalami kemajuan pembangunan ekonomi yang sangat bagus dalam tujuh atau delapan tahun, karena rata-rata tumbuh di atas lima persen. Oleh sebab itu, Indonesia ingin mengajak bagaimana stabilitas, demokrasi dan pembangunan dikombinasikan sehingga bisa menjadi pendorong untuk memperoleh pengakuan dari dunia.

Jadi, kenapa Asia Afrika tidak mengkombinasikan ketiga nilai tadi? Jika diterapkan, maka hal Asia Afrika bisa dianggap penting.

Salah satu dari tiga dokumen yang akan dihasilkan dari KAA adalah deklarasi terhadap perjuangan Rakyat Palestina. Seberapa signifikan deklarasi ini, sehingga dapat mendorong percepatan Palestina meraih kemerdekaan?

KAA itu kan muncul karena adanya keberanian dari negara-negara untuk berdiri sejajar dengan negara lain untuk bisa meraih kemerdekaan. Pada saat kita memperingati 60 tahun KAA, kita masih melihat satu negara belum merdeka.

Dari pihak Indonesia, secara bilateral sudah banyak sekali hal yang kita lakukan, tetapi kita juga ingin melakukannya sekolektif dan sebanyak mungkin. Berjamaah. Saya kira forum KAA ini merupakan salah satu forum yang tepat untuk kembali menyuarakan mengenai pentingnya dukungan kemerdekaan Palestina.

Memang tidak secara langsung usai deklarasi perjuangan tersebut lalu Palestina merdeka. Tapi misalnya seperti Swedia, mereka termasuk salah satu negara Eropa yang mengakui kemerdekaan Palestina.

Indonesia langsung mendekati Swedia. Kebetulan Swedia merupakan salah satu dari 17 negara yang diundang sebagai peninjau dan sekaligus diajak untuk melakukan kerjasama Triangular, tripartite dengan Indonesia untuk membantu Palestina. Itu langsung kita realisasikan.

Upaya-upaya yang konkrit ini yang disebut kepemimpinan. Kalau kita ditanya untuk triangular, Indonesia akan memperoleh keuntungan apa? Ya, tentu saja hasilnya tidak akan langsung dirasakan.

Tapi, paling tidak keahlian kita terpakai melalui kerjasama ini. Kita gunakan untuk membantu Palestina dan juga keuntungan politik. Jadi, ada investasi yang jangkanya pendek dan panjang. Tetapi, saya jamin tidak ada yang sia-sia.

Bagaimana momentum KAA ini bisa dimanfaatkan oleh para pengusaha lokal untuk mempromosikan produk lokal, salah satunya mengenalkan batu akik?

Setiap tindakan Indonesia terhadap negara peserta itu ada unsur promosi produk lokal. Selain batu akik, ada hal-hal kecil yang merupakan satu kebiasaan internasional, ada barang-barang kecil yang disampaikan kepada negara peserta itu menunjukkan kualitas produk dari Indonesia. Yang tidak kalah penting yaitu kontak antar warga. Kedua kawasan sudah terikat sejak tahun 1955 silam.

Tetapi jika ingin jujur, apakah kita sudah dalam posisi yang dekat sekali, oleh karena itu harus ada keinginan politik dari semua negara Asia Afrika mengenai masalah kedekatan ini. Saya mengatakan bahwa keinginan politik itu harus diterjemahkan bahwa Afrika harus ada di radar politik luar negeri Asia, demikian juga Asia harus ada di radar politik luar negeri Afrika.

Jadi harus dimulai dari keinginan politik untuk menempatkan masing-masing kawasan di dalam radar politik luar negeri pihak lainnya.[] KMP/VN

Nasional