PASER – Ada aroma praktik rasuah yang tercium menyengat pada proyek pembangunan Bandar Udara (Bandara) Tana Paser, di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur (Kaltim). Direktorat Kriminal Khusus (Ditkrimsus) Kepolisian Daerah (Polda) Kalimantan Timur (Kaltim) adalah pihak yang pertama kali mengendus adanya pelanggaran serius pada proyek tersebut.
“Krimsus (Kriminal Khusus) menemukan dugaan pekerjaan fiktif pembangunan bandara di Kabupaten Paser. Potensi kerugian akibat korupsi ini sampai Rp42 miliar,” kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Kaltim Kombes Pol Fajar Setiawan di Balikpapan, Kamis (13/8/2015).
Proyek pembangunan bandara tersebut berada di Desa Padang Pangrapat dan Rantau Panjang, Kecamatan Tanah Grogot, Kabupaten Paser. “Ini nilai kerugian yang sangat besar dalam menggunakan APBD tahun anggaran 2011-2014,” kata Fajar.
Proyek pembangunan bandara di Kabupaten Paser rencananya pada tahun 2006. Proyek pembangunan bandara tersebut senilai Rp389 miliar yang pekerjaannya dijadwalkan dari 2011 berakhir pertengahan 2015.
Pada tahun 2007, Bupati Paser, Ridwan Suwidi saat itu mengeluarkan SK Nomor 550/Kep-536/2007 Tentang Penentuan Lokasi Bandara, yakni di Desa Rantau Panjang Tana Grogot. Pemda melakukan pembebasan lahan di 2010.
“Luas pembebasan lahan meningkat melebihi kebutuhan yang semula hanya 120 hektare, namun yang dibebaskan 230 hektare. Pembangunan bandara kemudian dikerjakan PT Lampiri-Remis KSO dan sub kontraktor PT Lekotama Harum,” kata Fajar.
Pada mulanya PT Lampiri-Remis KSO meminta uang muka Rp7,150 miliar, berlanjut sampai termin yang kesembilan. Anggaran yang keluar saat itu mencapai Rp120 miliar hingga pertengahan Agustus 2014, katanya.
Sementara itu, Kepala Sub Direktorat (Kasubdit) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Polda Kaltim, AKBP Achmad Sulaiman mengatakan selama lima tahun PT Lampiri-Remis KSO telah melakukan “land clearing” atau pematangan lahan, penimbunan, hingga pengerasan lahan.
“Pada tahap itu saja Polda mendapatkan selisih antara progress pengerjaan dengan uang yang sudah dikeluarkan. Polisi memperkirakan ada sekitar 23 persen dari anggaran yang cair itu adalah pekerjaan fiktif atau tidak ada progresnya,” kata Sulaiman.
Penyidik mengindikasikan temuan yang pertama, terdapat pembayaran yang melebihi progress atau pekerjaan, sebesar Rp28 miliar. Kedua, pembayaran timbunan tanah yang tidak dipadatkan dan galian tanah yang belum dilaksanakan tetapi sudah dibayar, yakni sebesar Rp12,2 miliar.
Ketiga, kelebihan pembayaran pada manajemen konstruksi sebesar Rp1,9 miliar, katanya. “Total nilainya Rp42 miliar dan temuan itu membuat polisi mengungkap kasus ini. Sejumlah saksi diperiksa. Sejumlah barang bukti, dokumen, dan film dokumenter di lapangan pun dikumpulkan,” kata Sulaiman. [] ANT