Sejarah Itu Bernama Rita Widyasari

Sejarah Itu Bernama Rita Widyasari

Kritik bukan berarti benci

Beda pendapat bukan berarti memusuhi

Apresiasi tidak harus menyanjung

Karena kami tidak mengumbar pujian

Tapi memberi penilaian objektif

Oleh Max Donald Tindage
Oleh Max Donald Tindage

“Jika kamu mau mengukur kemampuan seorang pemimpin, maka tempatkanlah dirimu pada posisinya, agar kamu bisa merasakan beban tanggung jawab yang dipikulnya.”

Hari itu 17 Juli 2015, kumandang takbir pagi sebanyak tujuh kali diselingi bacaan Subhanallahu wal hamdulillah wa la Ilaha illallahuallahuakbar disusul pembacaan Quran Surah al-Fatihah dan surah pendek lainnya pada raka’at pertama dilanjutkan dengan kumandang takbir sebanyak lima kali dan diakhiri dengan penyampaian kutbah pagi itu, mengingatkanku pada kenangan masa kecil yang selalu hadir manakala mesjid di samping rumahku dipenuhi ratusan tetangga kaum muslim, karena pada hari hari seperti itulah, umat Islam merayakan hari kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa menjalankan ibadah di bulan suci Ramadhan.

Hari yang ditandai sebelumnya dengan penampakan bulan sabit muda (hilal) sebagai pertanda memasuki bulan Syawal, adalah hari di mana umat Islam dengan penuh sukacita dan kemenangan karena telah melewati sebulan lamanya berpuasa, menyucikan diri dan membersihkannya untuk kembali kepada fitrah sebagai manusia ciptaan Tuhan .

Seperti biasanya pada saat Idul Fitri, saya selalu berkunjung ke rumah seorang sahabat yang merupakan politisi piawai dan disegani bahkan sampai pada level Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) dan kancah perpolitikan Nasional .

Dan, diawali dengan diskusi bersama beberapa mahasiswa pasca sarjana dengan topik terkait hak Kaltim dalam Dana Bagi Hasil (DBH) Minyak dan Gas Bumi (migas), akhirnya saat ada kesempatan berdua saja, kami lalu membahas tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kutai Kartanegara (Kukar) yang merupakan kelanjutan dari bincang bincang kami berdua saat melakukan pemetaan politik dan strategi pemenangan dalam Pilkada 9 Desember nanti, serta kekhawatiran akan adanya skenario “Pilkada gagal” dan kemungkinan lainnya yang bisa menghambat proses berlangsungnya Pilkada Kukar nanti.

Setelah membahas berbagai kemungkinan dan peluang, memperkirakan bermacam trik dan intrik serta merancang beberapa strategi untuk mengantisipasi terhambatnya suksesi kepemimpinan Kukar, saya lalu berpamitan karena tamu yang berdatangan semakin banyak.

Hari itu 6 September 2015, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kukar telah menetapkan dua pasangan calon resmi yang akan mengikuti Pilkada pada 9 Desember 2015 mendatang, setelah melalui proses berliku.

Pernak-pernik politik begitu banyak menghiasi perjalanan menuju kepada hari perhelatan demokrasi langsung untuk mencari dan memilih seorang pemimpin di Kukar pasca berakhirnya kepemimpinan Rita Widyasari – Ghufron Yusuf yang terpilih sebagi bupati dan wakil bupati Kukar periode 2010-2015.

Berbagai hambatan dan tantangan, bahkan berujung pada gugurnya kandidat lain karena proses verifikasi menyatakan tidak terpenuhinya syarat administrasi semakin memacu adrenalin dan menegangkan syaraf motorik, manakala bayang-bayang penundaan Pilkada bakal terjadi. Padahal negeri ini membutuhkan seorang kepala daerah definitif untuk melanjutkan proses pembangunan yang sedang giatnya dikerjakan .

Namun akhirnya, sirnalah segala kekhawatiran tentang penundaan Pilkada itu, walaupun banyak pengamat politik menilai bahwa ada trik maupun intrik politik yang dilakonkan oleh pihak tertentu dalam upaya ‘mengganjal keberlangsungan’ Pilkada Kukar. Manuver-manuver politik kelompok ini tidak akan dapat diantisipasi oleh para politisi di Kukar.

Penetapan dua pasangan calon bupati dan wakil bupati yang memenuhi syarat mengikuti Pilkada ini, pada akhirnya mementahkan semua prediksi dan paradigma kekinian dalam perpolitikan lokal Kukar.

Saat ini, semua pelakon sejarah politik di Kukar telah kembali berkumpul di kilometer nol, meninggalkan hiruk pikuk yang menghiasi episode awal pencalonan kandidat bupati Kukar dan mempersiapkan diri untuk memilih dan memilah calon pemimpin daerah ini kelak.

Melalui Pilkada 9 Desember 2015 mendatang dan diikuti oleh empat pasangan calon setelah pada akhirnya, melalui proses pada panitia pengawas pemilu Kukar, ditetapkan juga keabsahan dua pasangan calon yang telah digugurkan, karena kedua pasangan calon tersebut bisa menunjukkan bukti yang sah terkait persyaratan yang harus dipenuhi saat mendaftarkan diri.

Dan dari kilometer nol, tulisan ini disajikan bukan untuk menceritakan proses perjalanan Pilkada Kukar dengan segala hiruk pikuknya, tapi untuk mematri fakta sejarah agar tidak terlupakan bahwa kenyataan sejarah ini ada dan pernah terjadi dalam peristiwa demokrasi di negeri nusantara ini.

Ketika media cetak maupun elektronik berskala nasional lebih berpihak kepada berita kesuksesan Jokowi dalam capaian angka fantastis 90,09 % saat memenangkan Pilkada Kota Solo 2010, atau catatan Museum Rekor Dunia-Indonesia (MURI) 94,05 % yang dicapai pasangan Herman Sutrisno dan Akhmad Dimyati dalam Pemilihan Wali Kota Banjar, Jawa Barat pada 2008, bahkan pusat berita lebih diarahkan kepada keberhasilan Wali kota Risma kala memimpin Surabaya, sehingga sulit mendapatkan lawan pada Pilkada 2015, bahkan kehebohan media lebih terarah pada gaya kepemimpinan Ahok sebagai Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Maka sejarah demokrasi bangsa ini seharusnya tidak boleh melupakan sesosok figur fenomenal di bumi Kukar.

Setelah mencatatkan diri sebagai wanita pertama dan satu satunya yang menjadi Bupati di Provinsi Kaltim, kini sebelum perhelatan demokrasi itu berlangsung, wanita ini telah mengukir sejarah sebagai satu satunya calon Bupati di Indonesia yang maju dari jalur independen, kendati partai yang dipimpinnya menguasai 19 kursi DPRD atau 42 % .

Fenomena ini semakin sulit tersaingi manakala semua partai politik di Kukar yang memiliki kursi legislatif dan berhak mengusung pasangan calon justru secara gemilang menyatakan dukungannya kepada wanita ini dengan pasangannya pada Pilkada 2015.

Kegemilangan ini tidak terlepas dari prestasi yang diraih manakala dipercaya sebagai bupati pada periode sebelumnya, karena itulah ketika mencalonkan diri kembali dengan pasangan lain yang bukan wakilnya di periode pertama, sang wanita ini masih tetap mendapatkan kepercayaan sangat kuat dari semua parpol pemilik kursi di DPRD Kukar .

Walaupun, pada akhirnya demi strategi menjaga keberlangsungan pelaksanaan Pilkada, partai Golkar sendiri yang dipimpinnya bersama dua parpol pendukungnya lalu melakukan manuver untuk mendukung calon lain agar pesta demokrasi seyogyanya tetap berlangsung pada hari yang ditetapkan.

Superioritas Jokowi di Solo, rekor Herman Sutrisno di Banjar, kegemilangan Risma saat kota Surabaya, bahkan kedigdayaan Ahok dalam merombak birokrasi Jakarta dan membalikkan sejarah kepemimpinan di Indonesia, ternyata belum mampu menghantarkan mereka untuk meraup dukungan semua parpol. Karena itulah, prestasi yang dibuat oleh wanita ini patut menjadi catatan sejarah dalam perpolitikan bangsa ini, dan sejarah itu bernama Rita Widyasari.

Maju dan mendaftarkan diri melalui jalur perseorangan merupakan legitimasi langsung dari masyarakat Kukar , ditambah dukungan dari seluruh parpol yang memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kukar pada awal pendaftaran pertama sesungguhnya telah menempatkan wanita ini sebagai pemenang, bahkan sebelum perhelatan Pilkada ini digelar.

Kalaupun pada akhirnya demi keberlangsungan Pilkada itu sendiri maka pada tahapan berikutnya, Partai Golkar sendiri dan dua partai lainnya melakukan manuver dengan mencalonkan pasangan calon lain, tapi catatan sejarah tidak akan merubah legitimasi dukungan sesungguhnya dari wanita tangguh ini, kala semua pihak menyatakan dukungannya pada pendaftaran pertama.

Sejarah telah mencatat bahwa pernah terjadi dan satu satunya yang pernah ada di Indonesia, pasangan calon dari jalur perseorangan itu mendapatkan dukungan dari seluruh partai politik pemilik kursi di DPRD, dan fakta sejarah itu terjadi di sebuah kabupaten yang jauh dari hingar bingar pemberitaan media nasional, yakni kabupaten Kutai Kartanegara .

Kini, dalam perjalanan menuju hari perhelatan 9 Desember 2015, kita sekalian menanti, akankah tercipta rekor baru dalam hal suara pemilih nanti?

Kendati pun kalau kita mau bicara tentang legitimasi demokrasi yang seharusnya bermakna “One man one vote,” maka akan terlihat mudah untuk melampaui prestasi walikota Banjar 2008 yang mencapai 94,05 hanya dari 124.834 pemilih atau Jokowi di Solo pada angka 90,09 % dari 393.703 pemilih. Dari jumlah pemilih Kukar sebanyak 527.500 pemilih, maka cukuplah dengan angka 76 % sudah melebihi angka 400 ribu suara pemilih dan telah terlegitimasi secara demokrasi mengungguli kedua pemilik rekor di atas.

Meskipun, sembari menanti untuk mengutak atik angka-angka selanjutnya, sesungguhnya telah tercipta sejarah baru dalam kenyataan demokrasi Pilkada di Indonesia, dan sejarah itu bernama Rita Widyasari.[]***

Serba-Serbi