KUTAI KARTANEGARA – Pencaplokan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Transmigrasi Sebulu, Kutai Kartanegara (Kukar), Kalimantan Timur (Kaltim) yang dilakukan PT Sumber Bara Abadi (SBA) ternyata bukan tiba-tiba terjadi begitu saja.
Budi Untoro, awak redaksi Berita Borneo mencoba menelusuri asal muasal permasalahan pencaplokan HPL sampai persoalan tanam tumbuh lahan milik Kelompok Tani Rumpun Bambu di Sebulu Modern dibabat habis tanpa ada penggantian.
***
Investigasi bermula saat saya mendampingi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Projo Kukar dalam mengadvokasi permasalahan yang menimpa anggota Kelompok Tani Rumpun Bambu yang tanam tumbuhnya berupa kelapa sawit, durian, petai, dan pohon buahan lainnya di atas lahan 149 hektare diacak-acak oleh SBA untuk keperluan tambang batu bara tanpa ada ganti rugi sedikitpun pada tahun 2015 silam.
Lahan yang belakangan saya ketahui masuk dalam kawasan HPL Transmigrasi Sebulu tersebut saat itu dikuasai pihak SBA dengan alasan sudah dibebaskan dari orang lain yang juga memiliki surat-surat tanah yang diterbitkan pemerintah desa dan kecamatan. Sementara pihak Kelompok Tani Rumpun Bambu juga punya surat menyurat yang diterbitkan Pemerintah Desa Sebulu Modern tahun 2012.
Sungguh aneh memang. Bagaimana mungkin surat tanah bisa terbit di atas HPL. Tetapi penelusuran saya akhirnya membawa saya bertemu seorang broker tanah bernama Sucipto, warga yang tinggal di Satuan Permukiman (SP) 2, Kecamatan Sebulu. Beberapa waktu lalu saya berhasil mewawancarainya dan darinya saya mendapatkan informasi bahwa awal mula penguasaan lahan oleh SBA bermula di tahun 2008.
Adalah Nonny Oentoro, penguasa asal Balikpapan. Dulunya merupakan ‘orang penting’ di SBA. Sucipto menyebutkan jabatannya adalah Manajer. Saat itu Nonny mencari areal lahan untuk perkebunan kelapa sawit seluas seribu hektare hingga akhirnya berjodoh bertemu Sucipto.
Sucipto yang punya koneksi, berusaha berkomunikasi dengan sejumlah kepala desa, mulai dari SP 1 hingga SP 4 di Kecamatan Sebulu hingga Muara Kaman. Dari komunikasi tersebut, para kepala desa lantas membuat kapling-kapling tanah dan dibuatkan surat atas nama orang-orang sekitar. Totalnya ada sekitar 700 kapling di atas lahan seluas 750 hektare.
Selain dibuatkan surat, warga desa yang namanya disebutkan di surat, juga diminta memberikan Kartu Identitas Penduduk (KTP). Akhirnya lahan yang dikapling di atas HPL Tranmigrasi dan Area Pengelolaan Lain (APL) tersebut ditawarkan kepada Nonny Oentoro dengan harga Rp 18 juta per 2 hektare.
Transaksi jual beli pun dilakukan di Jakarta pada tahun 2012. Nonny Oentoro saat itu ditemani Humas SBA bernama Vektor. Total transaksi yang dibayarkan pihak SBA saat itu sebesar Rp 18 miliar. Sementara bagi pemilik surat keterangan, kebagian jatah Rp 14 juta per 2 hektare. Sisanya diberikan ke oknum kecamatan 500 ribu, oknum kepala desa 500 ribu, oknum ketua lembaga adat 500 ribu, serta oknum Ketua Rukun Tetangga Rp 500 ribu. Bagaimana dengan Sucipto? Dia mengaku mendapat jatah 2,5 jt per kapling dari Nonny Oentoro.
Setelah pembebasan lahan tersebut, Nonny Oentoro tak terdengar lagi kabarnya oleh Sucipto. Hingga akhirnya ia mendapat kabar kalau ada yang mengambil alih SBA dan membeli lahan yang tadi dibeli masyarakat. Nonny Oentoro disebut menjual minimal Rp 38 juta per 2 hektare hingga Rp 200 juta per hektare. Totalnya disebut mencapai Rp 18 miliar Nonny Oentoro mendapat penggantian.
Sementara tentang Nonny Oentoro, diketahui tidak lagi berada di SBA. Dalam penelusuran media ini, Nonny Oentoro adalah warga Jalan Jenderal Aachmad Yani Nomor 402 RT 018, Kelurahan Gunung Sari Ulu, Kecamatan Balikpapan Tengah, Kota Balikpapan, Kalimantan Timur.
Pada 28 April 2013, Nonny Oentoro disebut menjadi Komisaris PT Beriwijaya Asri Grup BSA Land Jakarta. Pada dokumen yang diperoleh pada Maret 2017, Nonny juga merupakan direktur PT Majau Inti Jaya Balikpapan. Pada situs bloomberg.com, Nonny disebut menjadi Presiden Direktur PT Indo Bara Pratama.
Nama Nonny paling mencuat ke permukaan saat dia menjadi Direktur Utama PT Pasir Prima Coal Indonesia (PPCI) dan kasusnya ditangani pihak kepolisian, dimananya sempat ditetapkan tersangka pada tahun 2009. Terkait kasusnya di PPCI, pada 9 Desember 2013, Nonny Oentoro mendaftarkan permohonan penetapan di PN Balikpapan dengan surat Nomor 720/Pdt.P/2013/PN.BPP. Permohonan itu terkait 950 lembar saham di PPCI. Dari permohonan tersebut diketahui pada 21 November 1990, Nonny menikah dengan Tjio Tjin Goen.
Pria tersebut kemudian ganti nama menjadi Handi Jaya Awie pada 6 Februari 1993. Nonny-Handi dikaruniai dua anak. Yakni, Albert Jaya Tjo yang lahir 25 Agustus 1995 dan Andrew Jaya Tjo lahir 10 April 1997. Pada 5 Agustus 2010, Handi meninggal dunia di Balikpapan karena sakit.
Semasa hidup, Handi pernah membeli 950 lembar saham pada PPCI, perusahaan tambang batu bara yang beralamat di Jalan Sudirman Nomor 25 Balikpapan. Saham tersebut dituangkan dalam berita acara rapat umum pemegang saham (RUPS) PPCI Nomor 71/2005 tertanggal 15 Februari 2005.
Saham tersebut terdiri dari, milik Nonny selaku dirut PPCI 500 lembar, Handi selaku direktur PPCI 400 lembar, dan Vicky Oentoro (adik Nonny) selaku komisaris 50 lembar saham. Pada 30 September 2010, keterangan hak waris Nonny dan kedua anaknya dibuat di hadapan notaris dengan Nomor 26/IX/2010.
Kala itu, saham Nonny dan Handi hendak dijual untuk biaya pendidikan sang anak, namun terkendala karena sang anak dinilai belum dewasa (belum 21 tahun). Karena itu, Nonny mewakili anaknya memohon kepada PN Balikpapan untuk diberi izin menjual saham itu.
Ternyata saham itu telah dijual di bawah tangan oleh Handi sewaktu masih hidup. Persoalan tersebut belum ditindaklanjuti manajemen PPCI lewat RUPS karena Handi telah meninggal dunia. Ketika hal itu akan ditindaklanjuti Nonny, juga terkendala anaknya belum dewasa. Tetapi 13 Desember 2013, PN Balikpapan mengabulkan permohonan Nonny. []