PONTIANAK-Pembangunan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara di wilayah pantai Kura-Kura Desa Tanjung Gundul, Kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat yang dilakukan oleh PT.GCL Indo Tenaga menuai masalah.
Pasalnya ganti rugi tanah sebesar Rp. 900 juta yang dijanjikan perusahaan kepada pemilik tanah tak kunjung dibayarkan.
Menurut Daniel E Tangkau, SH kuasa hukum Hj. Hilma pemilik tanah mengatakan, kasus yang menerpa kliennya telah disampaikan kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bengkayang agar dimaklumi mengingat PT. GCL telah melanggar beberapa kepentingan dan hukum yang berlaku di Indonesia.
“Pembebasan lahan untuk pembangunan PLTU Tanjung Gundul yang saat ini sedang dikerjakan tanpa melalui pemerintah daerah, bahkan klien saya hingga detik ini ganti rugi tanah belum dibayarkan,’’tegas Daniel E. Tangkau di Pontianak belum lama ini.
Menurutnya, jika melalui pemerintah daerah tentunya ada tim yang terlibat dan tidak melangggar hukum yang berlaku , setelah kita memaklumi sudah banyak pelanggaran hukum pada saat pembebasan lahan milik warga, hal ini dilakukan langsung oleh pihak PT.GCL sendiri.
Upaya hukum kata Daniel E. Tangkau sudah pernah dilakukan kliennya dengan melakukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Pontianak, untuk pembatalan HGB atas nama PT.GCL karena belum ada ganti rugi atas tanah tersebut. “Klien saya punya SKT sekarang lagi dalam proses gugatan di pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Pontianak karena tidak pernah ada ganti rugi jadi proses pembangunan PLTU tetap berjalan,’’ujarnya kepada wartawan Beritaborneo.com dalam konfrensi persnya.
Proses hukum ini berlangsung di Pengadilan Negeri Bengkayang atas perkara perdata dan pengadilan Tata Usaha Negara , namun pihak PT.GCL menganggap ini sudah clear sehingga proses pembangunan tetap berjalan. “Kalau sudah clear tidak ada tuntutan lagi karena SKT masih ada sama Hj.Hilma yang sekarang kita pegang untuk bukti,’’ujarnya lagi.
Luas lahan milik Hj.Hilma hampir mencapai tiga hektar , jika di potong wilayah sempadan laut masih ada sekitar satu hektar lebih. “Kami mohon kepada Pemerintah Kabupaten Bengkayang untuk tidak membongkar bangunan di atas tanah tersebut sebelum ada keputusan resmi dari pengadilan,’’pinta Daniel E. Tangkau. (Rachmat Effendi/Yuni Hairunita)