KUBU RAYA (Berita Borneo)-Di era tahun 2010, PT. Bumi Raya Utama (BRU) yang bermarkas di bilangan Jalan Adisucipto Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya saat ini termasuk empat perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) terbesar di Indonesia. Saat itu banyak perusahaan perkayuan di Indonesia yang mulai kembang kempis. Namun PT BRU berada di bawah induk usaha (holding) Grup Rain milik Adijanto Priosoetanto alias Tan Lim Hian tetap eksis hingga ini.
Pada dekade itu, Rain Grup bersama tiga konglomerasi lainnya, Grup Ridlatama, Grup Hasnur, dan Grup Modern, masuk kategori empat perusahaan HPH terbesar di Indonesia.
Kelompok Grup Keluarga Besar Adijanto Priosoetanto (KBAP) memulai usahanya di sektor perkayuan di Pontianak pada 1960. Bisnis ini berkembang kian pesat ketika kedua adiknya, Soenaryo Priosoetanto (Tan Lim Hian) dan Agustinus Adiono ikut bergabung.
Pada 1970-an, jaringan usaha Grup Rain merambah ke berbagai wilayah Indonesia. Praktis, Grup Rain menjadi pionir konglomerasi di tanah air apalagi ketika berekspansi ke Asia Tenggara. Ini dimulai lewat pembukaan kantornya di Singapura lalu Malaysia kemudian Hong Kong.
Menjelang 1980-an, generasi kedua Adijanto yang selesai belajar di berbagai perguruan tinggi di luar negeri, mulai masuk gelanggang. Mereka berkarya di perusahaan. Generasi kedua ini antara lain Swandono Adijanto (Tan Hong Swan) dan Pandjijono Adijanto (Tan Hong Phang).
Kemudian saudara-saudara kandungnya menyusul masuk, yakni Suparno Adijanto (Tan Hong Kiat), Pintarso Adijanto (Tan Hong Pheng), Winoto Adijanto (Tan Hung Hwie), Muriati Adijanto (Tan Phe Phe), dan Mariana Adijanto (Tan Phwe Leng). Sejalan dengan masuknya generasi baru itu, mainannya pun bukan lagi kayu dan hasil bumi, melainkan meluas ke bahan bangunan, bahan kimia, pupuk, logistik, pelayaran, agen perjalanan, keuangan, produk manufaktur sampai anggur, menyusul, sawit, dan batubara.
Selain menjadi pionir ekspansi ke luar Indonesia, bisnis keluarga Adijanto juga merintis kehadiran perusahaan saham, jauh hari sebelum Aburizal Bakrie memasukkan hampir semua unit bisnisnya ke bursa sekitar tahun 2000. Satu dasawarsa sebelumnya, awal 90-an atau menjelang momentum booming bursa pada 1993-1994, keluarga Adijanto sudah masuk bursa.
Bahkan, mereka dalam waktu hampir bersamaan memasukkan dua unit usahanya ke pasar modal, melalui penawaran saham publik (initial public offering/ IPO). Kedua perusahaan itu yakni PT Kurnia Kapuas Utama Glue Industries Tbk yang masuk lantai Bursa Efek Jakarta (kini Bursa Efek Indonesia) berkode KKGI disusul Harrisons Holdings (Malaysia) Bhd yang masuk Bursa Efek Kuala Lumpur (kini Bursa Malaysia).
Kerajaan bisnis keluarga Adijanto, sebagaimana halnya bisnis konglomerasi lain yang menggurita pada era Orde Baru, akhirnya berantakan pada 1997-1998. Hantaman krisis moneter, yang diiringi kejatuhan rezim Soeharto, sangat mempengaruhi eksistensi kejayaan bisnis keluarga tersebut. Guna menutupi utang akibat krisis itu, sejumlah aset dijual.
Salah satu unit bisnisnya, Bank Bumi Raya Utama, termasuk salah satu bank yang dilikuidasi sehingga harus ditalangi pemerintah. Utang yang ditanggung bank atas nama Suparno Adijanto ini, baru dinyatakan lunas pada 2003. Belakangan, konflik mulai pecah di antara generasi kedua keluarga Adijanto dan pamannya sendiri, Soenaryo. Hingga kini, sebagian konfilik itu masih dalam proses pengadilan.
Grup Rain pun diterpa berbagai isu negatif, mulai dari tudingan merusak hutan dan lingkungan, sampai tudingan keterlibatan pragmatisnya dalam perang laten etnis Dayak-Madura di Kalimantan Barat yang tentu saja semuanya tegas dibantah. Namun, bukannya menyerah lalu meleleh dikoreksi sejarah, generasi kedua keluarga Adijanto, terutama sejak momentum pelunasan utang pada 2003, mulai melakukan konsolidasi.
Berbagai unit bisnisnya yang tersebar, kembali direorganisasi. Fokus mulai disusun. Pada 2004, lagi-lagi sebelum momentum meroketnya harga minyak sawit mentah dan batu bara akibat krisis keuangan global 007, keluarga ini mulai membangun kebun sawitnya.
Mereka juga mendiversifikasi bisnis inti Kurnia Kapuas, dari semula hanya lem kayu, ke batubara. Perlu segera ditambahkan, banyak pemilik konsesi hutan di Indonesia yang bisa dengan cepat mengubah bisnis intinya dari kayu ke sawit atau ke batu bara. Penjelasannya sederhana saja, bahwa di dalam hutan yang dikuasai itu, setelah kayunya habis ditebang, tersimpan cadangan batu bara.
Diversifikasi Kurnia Kapuas sendiri diringi dengan perubahan namanya menjadi PT Resource Alam Indonesia Tbk. Pada 2004 itu, perseroan ini baru mengeksplorasi tiga dari delapan blok tambang batu bara seluas 24.478 hektare yang dikuasainya melalui PT Insani Baraperkasa. Berdasarkan riset kelayakannya, tambang yang berlokasi di Samarinda dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur itu, memiliki cadangan batu bara terukur 126 juta ton dan cadangan 73 juta ton. Kandungan kalori sendiri antara 4.850 sampai 6.500 kcal.
Setelah dua tahun masa eksplorasi, tiga blok dalam tambang tersebut, yakni Simpang Pasir, Gunung Pinang, dan Bayur, berhasil dieksploitasi pada 2006. Produksi perdana dari tiga bloknya saat itu baru menghasilkan 105.569 ton batu bara.
Namun, itu saja sudah cukup. Peluang mulai terbuka lebar. Pada 2010, sekitar setahun setelah perubahan nama dan penggabungan Grup Bumi Raya Utama dan Resource Alam menjadi Grup Rain, empat dari delapan blok tambangnya sudah bisa dieksploitasi, dengan produksi 2,2 juta ton.
Keempat blok itu yakni Simpang Pasir, Gunung Pinang, Bayur, dan Loa Janan dengan subblok Purwajaya, Tanjung Barokah, dan Tegal Anyar. Adapun empat blok lain yang belum berproduksi yakni Maukiri, Perangat, Separi, dan Tani Bakti.Tahun itu pula, Grup Rain meraih kontrak pengadaan 500 ribu ton batu bara dari konsumen batu bara terbesar nasional yakni PT Perusahaan Listrik Negara.
Kontrak yang diraih Rain Grup dari BUMN listrik itu hanya 12 ton. Secara hampir bersamaan, keluarga Adijanto juga mengggelar IPO lini bisnis sawitnya, yakni Global Palm Resources Holdings Ltd di Bursa Efek Singapura. Lagi-lagi, IPO itu dilakukan sebelum momentum jatuhnya harga sawit. Keterlibatan Rain Grup di bisnis sawit ini sangat mempengaruhi kondisi harga sawit dewasa ini.
Inilah buah dari merah hitamnya perjalanan bisnis Grup Rain. Di lini batu bara, seluruh blok tambangnya kini sudah berproduksi. Sampai kuartal III, produksinya sudah mendapai 3,2 juta ton, dua kali lipat dari posisi 30 September 2010, yakni 1,56 juta ton.
Sejalan dengan itu, pendapatannya pun terangkat 144 persen menjadi Rp1,56 triliun dengan kenaikan laba bersih 196 persen menjadi Rp345 miliar. Dengan target produksi pada 2016 sebanyak 3,5 juta ton dan laba bersih Rp413 miliar, sangat terbuka peluang dua target tersebut bakal terlampaui akhir tahun ini.
Pada 2017, produksi batu bara Resource Alam dipatok tumbuh 71 persen dari target tahun ini menjadi enam juta ton, dengan kenaikan kapasitas terpasang 42 persen dari posisi 2016 sebanyak 7,7 juta ton, menjadi 10,9 juta ton.
Capaian itu bisa membaik jika rencana akuisisi tambang barunya terealisasi.Tak hanya itu, keluarga yang mulai menyiapkan generasi ketiganya itu tahun ini juga merambah ceruk baru yang menjanjikan, meski masih dalam tahap pengembangan, yakni sektor pembangkit listrik dan tambang coalbed methane, melalui PT Resources Alam Energi, dan PT Power Alam Lestari.
Sepanjang tahun 2011, pertumbuhan harga saham tersebut merupakan yang tertinggi di antara seluruh saham emiten batu bara yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Sejalan dengan itu, kapitalisasi pasarnya pun membubung hingga menjadi Rp6 triliun. Dari data kekayaan spektakuler ini, masihkan Grup Rain ini mengklaim bangkrut di Indonesia?
Pertumbuhan semakin pesat hingga saat ini mulai merambah bisnis property, yakni pembangunan mall, hotel dan town house yang segera dibangun dibilangan Jalan A. Yani 2 Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya dibawah bendera Bumi Raya Land.(Reffendi/SP)