PROBOLINGGO (beritaborneo.com)- Tindak lanjuti terkait pemasangan baner penolakan terhadap paham kaum minoritas Syiah di Desa Jangur, Kecamatan Sumberasih, Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur Pemerintah kabupaten Probolinggo melalui Forpimka Kecamatan Sumberasih, mendatangkan sejumlah tokoh Ormas Islam yang diprakarsai oleh Nahdlatul Ulama yang ada di Kecamatan Sumberasih. Informasi didapat, gejolak pemasangan banner berawal lantaran diduga ada kesalah-pahaman dalam penafsiran penyampaian yang sempat dilakukan oleh Ketua Ranting Nahdlatul Ulama (NU) Desa Jangur, Kecamatan Sumberasih, Kabupaten Probolinggo, Marsuki.
Pemanggilan sejumlah tokoh dilangsungkan diruang Aula kantor Kecamatan Sumberasih, Sabtu (26/10) dan dihadiri oleh Kapolresta Probolinggo, Bakesbangpolinmas Kabupaten Probolinggo, Polsek Sumbersasih, Koramil Sumberasih beserta ketua MUI Kecamatan Sumberasih, Pemuda Ansor dan Ketua MWC Nahdlatul Ulama Kecamatan Sumberasih yang juga di hadiri oleh kurang 35 tamu undangan dari masyarakat serta warga sekitar.
Ketua Ranting Nahdlatul Ulama (NU) Desa Jangur Marsuki membenarkan bahwa dirinya pernah mengatakan di dalam forum, ” ayo Nahdlatul Ulama (NU) Ahlussunnah Wal Jamaah itu mari kita jaga sendiri, kita besarkan NU tidak perlu menjaga orang lain. Bahwa Aqidah Syiah dan Ahlussunnah Wal Jamaah itu hampir sama, Tuhannya Allah, Nabinya Muhammad bin Abdillah juga sama dengan kita, jadi tidak perlu membahas keyakinan orang lain, karena kita sendiri juga belum tentu siapa yang akan diterima. “Ungkapnya”.
Lengkapnya, Marsuki, terkait dengan adanya dugaan atas pernyataannya yang diduga menyalahi, atas Instruksi ketua MWC Nahdlatul Ulama Sumberasih (H.Hafid) akhirnya dirinya meminta maaf di hadapan majelis dan pada saat itu sudah dimaafkan oleh Anggota Ranting, namun dirinya kaget karena pasca dari permintaan maafnya bukan berujung selesai tapi semakin melebar hingga sampai terjadi pemasangan Banner penolakan.
Ketua MUI Sumberasih (Ismail) saat di temui oleh awak media kabar oposisi, terkait upaya penghapusan paham Syiah dengan akan melarang segala aktivitas ritual keagamaan yang akan dilakukan oleh kelompok Syiah di Salah Satu Gudang milik Pribadi H.Hasan Fadli yang berlokasi di Desa Jangur Kecamatan Sumberasih, begitupun, sampai sejauh ini ketua MUI Sumberasih Ismail mengaku dirinya belum pernah klarifikasi (Tabayyun) secara langsung kepada Haji Hasan Fadli.
Alhasil dari pertemuan tersebut, ketegangan yang sempat memanas akhirnya mendingin setelah adanya kesepakatan mediasi yang dilakukan oleh Forpimka Sumberasih dan Bakesbangpolinmas Kabupaten Probolinggo, dengan menyikapi tuntutan dan keresahan warga, akhirnya disepakati beberapa hal penting. Meliputi penurunan banner penolakan Syiah atas dasar kesadaran warga Desa Jangur, dan penurunan simbol gambar Dua belas bintang di lokasi Gudang LPG milik Haji Hasan Fadli.
Kepala Bakesbangpolinmas, Ugas Irwanto menyebutkan, kesepakatan itu ditempuh agar kondusifitas wilayah Kecamatan Sumberasih tetap terjaga. “Sebelumnya, ketika saya menjabat camat di sini, memang kami perbolehkan ada kegiatan di sana karena saat itu tidak ada polemik dan timbul keresahan warga. Tapi saat ini, karena ada keresahan warga dan ancaman kondusifitas, kami akan hentikan aktivitas keagamaan di sana,” tegas mantan Camat Sumberasih itu.
Untuk penurunan banner penolakan, Ugas menyebut pihaknya meminta dilakukan secepatnya oleh masyarakat. Agar tidak terus berkembang dan menjalar menjadi konflik horizontal lainnya. Sedangkan untuk penurunan simbol Syiah di lokasi milik Haji Hasan Fadli nanti dilakukan setelah yang bersangkutan pulang dari luar negeri, tandasnya.
Sebagaimana mengenai keyakinan atau ajaran Syiah pernah disampaikan oleh Alm. Mantan Presiden Republik Indonesia yang ke-empat pada tahun 1999 hingga 2001. Dr. K. H. Abdurrahman Wahid. Pernah mengatakan, bahwa, Sunni adalah Syiah minus imamah.
Adapun mengenai kebebasan dalam beragama di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) juga sudah di atur melalui Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E ayat (1) yang berbunyi, Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”
Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia. Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.
Akan tetapi, hak asasi tersebut bukannya tanpa pembatasan. Dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 diatur bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain. Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 selanjutnya mengatur bahwa pelaksanaan hak tersebut wajib tunduk pada pembatasan-pembatasan dalam undang-undang. Jadi, hak asasi manusia tersebut dalam pelaksanaannya tetap patuh pada pembatasan-pembatasan yang diatur dalam undang-undang. (Wintono/Rachmat Effendi)