Skandal Gunung Emas 53 Ton, Kroni Soeharto Terlibat dan Investor Terjebak

Skandal Gunung Emas 53 Ton, Kroni Soeharto Terlibat dan Investor Terjebak

JAKARTA – Emas merupakan salah satu komoditas paling berharga di dunia. Meski tidak lagi digunakan sebagai mata uang dan alat tukar, pamornya masih belum sirna sampai saat ini. Sebagaimana dilansir dari CNBC Indonesia, Bahkan tahun ini harga logam mulia tersebut mencetak rekor tertinggi sepanjang masa dan harganya sempat tembus US$ 2.300 per troy ons. Karena nilai ekonomi tinggi banyak pihak berlomba-lomba untuk mengeruk emas yang tersimpan di perut bumi, salah satunya adalah mega skandal yang mengguncang bursa Kanada dan Amerika Serikat soal penemuan ‘gunung emas’ di Indonesia.

Ini merupakan cerita skandal terbesar yang terjadi di industri pertambangan yang menyeret nama Soeharto hingga perusahaan tambang emas yang melantai di bursa saham Kanada (Alberta, Toronto) dan Amerika Serikat (Nasdaq)

Skandal gunung emas berawal dari pendirian perusahaan tambang kecil bernama Bre-X Minerals Ltd di Kanada. Perusahaan yang berdiri pada 1988 dan didirikan David Walsh ini tiba-tiba nasibnya berbalik 180 derajat pada 1993 setelah mendapat kabar penemuan deposit emas terbesar dunia di Indonesia. Walsh ke Jakarta dan berusaha menemui seorang ahli geologi John Felderhof.

Dari Jakarta, mereka berdua lalu melakukan perjalanan 12 hari di Kalimantan Timur. Dimana ada kawasan yang katanya mengandung emas, namanya Busang. Walsh disarankan Felderhof untuk membeli properti tambang Busang, di daerah Kutai Timur. Saran Felderhof itu lalu diikuti Welsh.

“Sepulang Walsh ke Kanada, ia segera mempersiapkan proyek Busang. Pada Mei 1993 untuk pertama kalinya terbit surat kepada investor dari Bre-X yang menjelaskan potensi Busang,” tulis Bondan Winarno dalam Bre-X: Sebongkah Emas di Kaki Pelangi (1997:50). Bulan Oktober 1995, Bre-X mengumumkan Busang mengandung potensi emas lebih dari 30 juta ons.

Harga saham Bre-X yang mulanya sangat kecil, langsung melonjak setelah pengumuman penemuan deposit emas raksasa. Nilai tertinggi saham Bre-X pernah mencapai US$ 200 (sebelum stock split) dengan kapitalisasi pasar lebih dari US$ 4,5 miliar atau lebih dari US$ 9 miliar disesuaikan dengan inflasi (setara Rp 147 triliun nilai saat ini).

Busang sempat jadi rebutan. Perusahaan Barick, yang dapat katebelece (memo) dari Presiden AS George Bush kepada Presiden RI Soeharto, menginginkannya.

“Bre-X mencoba untuk bermain dengan menggunakan aturan yang sama dan menjalin kerjasama dengan perusahaan Indonesia milik Sigit Hardjojudanto,” tulis George Junus Aditjondro dalam Korupsi Kepresidenan (2006:45). Sigit Harjojudanto yang merupakan putra Soeharto, pemilik PT Panutan Daya. Bre-X mengimingi US $ 1 juta per bulan kepada Panutan Daya sebagai konsultan teknis dan administrasi serta nantinya saham di Busang jika penambangan berjalan.

Sekali lagi, Bre-X mengumumkan kandungan emas di Busang, pada tanggal 3 Desember 1996, bahwa kandungannya mencapai 57,33 juta ton. Setelah Sigit, Mohammad Hasan alias Bob Hasan juga tertarik ikut bergabung. Diam-diam pada Januari 1997 Bob Hasan mengakuisisi 50 persen saham PT Askatindo Karya Mineral yang menguasai penambangan Busang II dan PT Amsya Lina yang menguasai penambangan Busang II.

Perusahaan menyebutkan dalam eksplorasi lanjutan kandungan emas di Busang tembus 71 juta ons yang mana dengan harga emas saat ini, nilai ekonominya mencapai US$ 163 miliar (Rp 2.678 triliun).

Semua tampak sempurna bagiBre-X sebelum pihak penguasa ikut dalam proyek Gunung Emas.Bre-X dipaksa membuat perusahaan patungan untuk mengelola ‘gunung emas’ di Kalimantan dengan porsi 45% dimiliki oleh Bre-X, 15% dimiliki oleh Freeport, yang akan mengoperasikan tambang baru, dan 40% oleh pemegang saham domestik Indonesia, termasuk 10% untuk pemerintah dan 30% untuk dua perusahaan yang dikendalikan oleh Bob Hasan dan mitra.

Kala itu, Bre-X mengatakan Freeport akan menyediakan US$400 juta, atau 25% dari biaya konstruksi dan $1,2 miliar dana tambahan.

Perusahaan patungan tersebut nyatanya jadi maut bagi Bre-X, dengan Freeport langsung turun melakukan eksplorasi lanjutan untuk memastikan deposit jumbo yang akan ditambang perusahaan.

tepat saat hasil eksplorasi diumumkan pada 19 Maret 1997. Kala itu, direktur eksplorasi Bre-X Michael de Guzman yang merupakan sosok pertama yang menemukan emas di Busang menghilang. Sosok asal Filipina tersebut disebut jatuh ketika naik helikopter Aloutte III dari Temindung Samarinda ke Busang. Heli itu disewa dari PT Indonesia Air Transport, anak perusahaan PT Bimantara Citra milik Bambang Trihatmodjo bin Soeharto.

“Menurut penerbang Letnan Kolonel Edi Tursono dan juru mesin Andrean yang keduanya duduk di depan, pada menit ke 17 setelah meninggalkan Samarinda (dari Bandara Temindung) pada pukul 10.13, mereka merasakan hempasan angin dari arah belakang. Ketika itu helikopter pada ketinggian 800 kaki dengan kecepatan 90 knot. Pada saat menoleh, kursi belakang dengan satu-satunya penumpang itu sudah kosong, dan pintu kanan helikopter terbuka,” tulis Bondan Winarno (1997:117).

Dari pencarian yang dilakukan tim SAR, sesosok mayat ditemukan dan setelah otopsi, dokter dari Bre-X bersama kepolisian dan Konsul Jenderal Filipina Jerry Alo diyakini mayat itu adalah Michael de Guzman. Mayat itu lalu dibawa ke Filipina untuk dimakamkan. Bondan Winarno meragukan mayat yang ditemukan lalu dimakamkan di Filipina itu sebagai mayat Guzman.

Tepat di hari hilangnya Guzman, Wakil Presiden Eksplorasi PT Freeport Indonesia David Potter, Wakil Presiden Seniornya Stave van Noort, juga enam anggota timnya telah menunggu Guzman di Busang. Freeport akhirnya ikut mengambil sampel di sana dan memeriksa kandungan emas Busang di lab mereka dan hasilnya jauh berbeda dari yang digembar-gemborkan Bre-X.

Saham Bre-X pun segera anjlok setelahnya dan Welsh menjadi orang yang disalahkan terkait emas di Busang itu.Saham Bre-X anjlok 83% pada tanggal 27 Maret, menghapus lebih dari US$2 miliar (puluhan triliun) uang investor. Banyak investor yang mencurigai sampel Busang ditaburi dengan emas agar hasil lab menunjukkan kandungan tinggi dan menaikkan harga saham perusahaan. []

Putri Aulia Maharani

Kasus Nasional