Pernah Menjadi Penguasa Kain, Kini Terpuruk dan Terlilit Utang

Pernah Menjadi Penguasa Kain, Kini Terpuruk dan Terlilit Utang

JAKARTA – Salah satu perusahaan tekstil terintegrasi terbesar di Asia Tenggara saat ini sedang menghadapi masa sulit. Siapa sangka perusahaan yang begitu besar saat ini terancam tenggelam karena tertimbun utang. Sebagaimana dilansir dari CNBC Indonesia, benang kusut masalah PT Sri Rezeki Isman Tbk. (SRIL) atau Sritex belum juga terurai. Dalam keterbukaan informasi terbaru, perusahaan tekstil ini menyampaikan utang yang semakin membengkak dan juga status karyawan yang dirumahkan.

Hingga akhir Desember 2023, aset perusahaan tercatat turun 15% menjadi US$ 648,99 juta atau setara Rp 10,38 triliun (asumsi kurs Rp 16.000/US$). Sementara itu, utang perusahaan tercatat malah mengalami kenaikan 3,75% menjadi US$ 1,60 miliar atau setara Rp 25,66 triliun.

Alhasil, perusahaan masih mengalami defisiensi modal (ekuitas negatif) yang pada akhir tahun lalu nilainya semakin bengkak menjadi US$ 954,82 juta (Rp 15,28 triliun) dari semula US$ 781,02 juta.

Sejarah Panjang Sritex

Sritex sebetulnya bukan perusahaan kemarin sore dan sudah berdiri lebih dari 50 tahun. Sejarah perusahaan Sritex tidak bisa terlepas dari sosok pendirinya, yaitu Haji Muhammad Lukminto (H.M Lukminto). Lukminto alias Le Djie Shin adalah peranakan Tionghoa yang lahir pada 1 Juni 1946. Dia memulai karir sebagai pedagang dengan berjualan tekstil di Solo sejak usia 20-an.

Dalam uraian buku Local Champion, Solo sebagai pusat tekstil di Jawa sejak masa kolonial membuat bisnis Lukminto tumbuh subur. Hingga akhirnya pada 1966 atau di usia 26 tahun dia berani menyewa kios di Pasar Klewer. Kios itu diberi nama UD Sri Redjeki.

Tak disangka bisnisnya moncer. Dua tahun berselang dia mulai membuka pabrik cetak pertamanya yang menghasilkan kain putih dan berwarna untuk pasar Solo. Pendirian pabrik inilah yang kemudian menjelma menjadi PT Sri Rejeki Isman atau Sritex yang kini bertahan hingga kini pada 1980.

Tak banyak cerita ‘tangan dingin’ Lukminto dalam menjadikan Sritex sebagai ‘raja’ industri kain di Indonesia. Satu hal yang menarik dari dirinya adalah kedekatannya dengan Presiden Indonesia Ke-2, Soeharto. Rupanya ada tangan dingin penguasa itu dalam perkembangan Sritex.

Mengutip Prahara Orde Baru (2013) terbitan Tempo, Sritex adalah ikon penguasa karena disinyalir berada di bawah perlindungan Keluarga Cendana, sebutan bagi keluarga Soeharto. Fakta ini tidak terlepas dari kedekatan Lukminto dengan tangan kanan Cendana, yakni Harmoko yang selama Orde Baru dikenal sebagai Menteri Penerangan dan Ketua Umum Golkar. Harmoko adalah sahabat kecil Lukminto.

Karena dekat dengan pemerintah dan pemegang pasar, Sritex dan Lukminto mendapat durian runtuh. Di masa Orde Baru, Lukminto beberapa kali menjadi pemegang tender proyek pengadaan seragam yang disponsori pemerintah.

“Di dalam negeri, ketika itu Sritex (tahun 1990-an) menerima orderan seragam batik Korpri, Golkar, dan ABRI,” tulis Tempo. Dan karena ini pula Sritex mendapat jutaan rupiah dan dollar, ditambah dengan penguasaanya terhadap pasar garmen di dalam dan luar negeri.

Gelembung Utang Hingga Pangkas Karyawan

Hingga akhir tahun lalu, secara rinci kewajiban jangka pendek Sritex tercatat US$ 113,02 juta (Rp 1,81 triliun), dengan US$ 11 juta (Rp 176 miliar) di antaranya merupakan utang bank jangka pendek ke Bank Central Asia (BBCA). Sementara itu, dari US$ 1,49 miliar (Rp 23,84 triliun) kewajiban jangka panjang, sebesar US$ 858,05 juta (Rp 13,73 triliun) merupakan utang bank.

Mayoritas utang bank jangka panjang merupakan utang eks sindikasi (Citigroup, DBS, HSBC dan Shanghai Bank) senilai US$ 330 juta. Selain itu BCA, Bank QNB Indonesia, Citibank Indonesia, Bank BJB dan Mizuho Indonesia tercatat menjadi kreditur terbesar dengan besaran kewajiban SRIL masing-masing lebih dari US$ 30 juta. Selain 5 yang telah disebutkan, perusahaan juga memiliki utang pada 19 pihak bank lain yang mayoritas merupakan bank asing atau bank swasta milik asing.

Manajemen dalam laporan keuangan terbaru mengungkapkan bahwa saat ini Sritex masih berupaya melakukan sejumlah restrukturisasi atas beban utang yang membengkak pada banyak bank. Selain itu perusahaan juga masih gencar menyelesaikan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan permintaan damai dengan para kreditur.

SRIL dalam laporan keuangan tahunannya mengungkapkan utang jumbo yang membuat defisiensi modal “mengindikasikan adanya suatu ketidakpastian material yang dapat menyebabkan keraguan signifikan atas kemampuan Grup untuk mempertahankan kelangsungan usahanya.” Meski dengan kondisi berdarah-darah, Sritex mengungkapkan bahwa perusahaan masih memperoleh dukungan dari pemegang saham.

“Grup juga telah memperoleh surat dukungan dari pemegang sahamnya, yang memberikan konfirmasi bahwa akan terus memberikan dukungan finansial bagi Grup agar mampu mempertahankan kelangsungan usahanya dan untuk dapat memenuhi kewajiban Grup,” jelas manajemen Sritex.

Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, manajemen Sritex menyebut perusahaan akan meningkatkan penjualan dan efisiensi biaya produksi salah satunya lewat pengurangan jumlah karyawan. Sepanjang tahun lalu perusahaan telah memangkas 2.232 karyawan dari semula 16.370 karyawan di akhir 2022 hingga tersisa 14.138 karyawan akhir tahun lalu.

Laporan keuangan perusahaan yang diaudit Kanana Puradiredja, Suhartono memperoleh Opini Wajar dengan Pengecualian. Opini audit tersebut diberikan apabila ditemukannya bukti atas simpulan kesalahan penyajian dan laporan keuangan tidak pervasif. []

Putri Aulia Maharani

Breaking News Nasional