JAKARTA – Pemerintah Namibia dan Zimbabwe memutuskan untuk membantai sejumlah gajah yang ada di negara mereka demi menyelamatkan warganya yang kelaparan. Sebagaimana dilansir dari CNBC Indonesia, Mengutip CNN International, Sabtu (12/10/2024), Namibia pada Agustus lalu telah memulai pembantaian 723 hewan, termasuk 83 gajah, 30 kuda nil, dan 300 zebra. Bulan berikutnya, Zimbabwe mengizinkan pembantaian 200 gajah.
Kedua pemerintah mengatakan pemusnahan ini akan membantu meringankan bencana kelaparan, yang terjadi sebagai dampak kekeringan terburuk di wilayah tersebut dalam 100 tahun terakhir. Mereka juga berdalih langkah ini dilakukan untuk mencegah konflik hewan dan manusia terkait urusan pangan.
Baik Zimbabwe dan Namibia mengatakan pemusnahan itu tidak akan mengancam kelangsungan hidup jangka panjang populasi hewan liar. Mereka mengatakan sebaliknya, bahwa mengurangi jumlah akan membantu melindungi hewan yang tersisa karena kekeringan akan mengurangi sumber makanan dan air.
Hewan yang akan dibantai di Zimbabwe dan sebagian besar Namibia akan dibunuh oleh pemburu profesional.
“Hewan-hewan tersebut akan ditembak. Kebanyakan dilakukan pada malam hari dengan peredam dan titik inframerah sehingga Anda dapat mendekati hewan-hewan tersebut. Ditembak di kepala, hewan-hewan akan jatuh,” kata seorang ilmuwan lingkungan di Kamar Dagang Namibia, Chris Brown.
Meski begitu, sekitar 12 dari 83 gajah Namibia yang akan dimusnahkan akan dibunuh oleh pemburu trofi. Ini merupakan istilah untuk menggambarkan pemburu yang memburu hanya untuk kepuasan ego semata.
“(Pemusnahan) itu sangat manusiawi, berbeda dengan hewan ternak yang dijejalkan ke dalam truk sebelum dibunuh di rumah pemotongan hewan. Dagingnya kemudian akan didistribusikan kepada mereka yang membutuhkan,” tambah Brown.
Gajah mungkin merupakan pemandangan yang berharga di kebun binatang. Namun Brown menjelaskan bahwa mereka dapat menjadi sumber bahaya bagi warga yang tinggal di dekatnya.
Di Namibia, yang memiliki sekitar 21.000 gajah, beberapa daerah memiliki begitu banyak gajah sehingga menjadi hampir tidak dapat ditoleransi oleh manusia. Gajah disebut merusak tanaman, melukai ternak, dan bahkan membunuh orang.
Negara tersebut telah berupaya menjual gajah sebelumnya. Pada tahun 2020, negara tersebut mengumumkan pelelangan 170 gajah, tetapi hanya berhasil menjual sepertiganya.
“Gajah tidak dapat dijual atau diberikan. Kenyataannya adalah tidak ada yang menginginkan gajah,” tutur Brown.
Walau memiliki alasan tersebut, beberapa ahli khawatir jumlahnya telah dibesar-besarkan. Farai Maguwu, direktur pendiri Centre for Natural Resource Governance, menyebut argumentasi itu tidak memperhitungkan fakta bahwa gajah berkeliaran bebas di antara negara-negara di kawasan tersebut.
“Operator safari di Taman Nasional Hwange di Zimbabwe, salah satu area yang ditetapkan untuk pemusnahan, sebenarnya mengeluh tentang jumlah yang menurun,” kata Maguwu.
“Gajah bukanlah masalahnya. Masalah terletak pada pengelolaan lahan yang buruk dan peningkatan pemukiman manusia di sebelah taman nasional dan di zona penyangga yang dirancang untuk memisahkan hewan dan manusia,” tambahnya.
Para pegiat konservasi juga khawatir bahwa pembunuhan hewan liar ini akan membuat ekologi rapuh kedua negara menjadi tidak seimbang, sehingga membuat mereka semakin tidak tahan terhadap kekeringan.
“Hal itu juga dapat secara tidak sengaja meningkatkan konflik antara manusia dan gajah,” kata Elisabeth Valerio, operator safari dan pegiat konservasi di Taman Hwange, Zimbabwe.
“Trauma akibat anggota keluarga yang terbunuh dapat membuat gajah menjadi lebih agresif,” jelasnya.[]
Putri Aulia Maharani