Surat Kabar Haaretz Disanksi Israel setelah Kritik Kebijakan di Gaza

Surat Kabar Haaretz Disanksi Israel setelah Kritik Kebijakan di Gaza

JAKARTA – Pemerintah Israel akan menjatuhkan sanksi kepada surat kabar tertua Negeri Zionis, Haaretz, buntut pemberitaan yang dinilai terlalu kritis terhadap pemerintah. Sebagaimana dilansir dari CNN Indonesia, Kabinet Israel pada Minggu (24/11) sepakat untuk menjatuhkan sanksi kepada Haaretz gara-gara laporan jurnalistik surat kabar itu mengenai agresi di Jalur Gaza dan komentar penerbit outlet yang menyerukan sanksi terhadap pejabat senior pemerintah.

Usulan untuk menjatuhkan sanksi ini diajukan oleh Menteri Komunikasi Israel Shlomo Kar’i. Dengan sanksi ini, pemerintah Israel akan menyetop iklan pemerintah di Haaretz dan membatalkan semua langganan bagi pegawai negeri sipil (PNS) serta pegawai badan usaha milik negara (BUMN).

“Kita tidak boleh membiarkan kenyataan di mana penerbit surat kabar resmi di Israel menyerukan penerapan sanksi terhadap negara ini, mendukung musuh-musuh negara di tengah perang, serta tetap dibiayai oleh negara di saat badan-badan internasional merusak legitimasi Israel, merusak haknya untuk membela diri, dan benar-benar menjatuhkan sanksi terhadapnya dan para pemimpinnya,” demikian proposal yang diajukan Kar’i, seperti dikutip CNN.

Haaretz adalah media tertua Israel yang sangat dihormati secara internasional. Surat kabar ini telah memberikan liputan kritis mengenai perang Israel di Gaza setelah serangan Hamas pada 7 Oktober.

Mereka juga memberikan laporan investigasi terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) saat operasi militer meluas di Gaza dan di Lebanon.
Haaretz telah merespons sanksi ini. Mereka menggambarkan langkah tersebut sebagai upaya untuk “membungkam surat kabar yang kritis dan independen.” Sanksi ini sendiri berangkat dari pidato penerbit Haaretz, Amos Schocken, pada 27 Oktober lalu di London yang menyebut milisi Hamas sebagai “pejuang kemerdekaan”.

Ia kala itu mengatakan pemerintah Israel tidak peduli dengan apartheid yang telah dilakukan dengan kejam terhadap penduduk Palestina.

“Mereka mengabaikan biaya yang dikeluarkan kedua belah pihak untuk mempertahankan permukiman sambil memerangi pejuang kemerdekaan Palestina yang disebut Israel sebagai teroris,” katanya.

Pidatonya itu pun menuai kritik di berbagai kalangan warga Israel. Schocken kemudian mengklarifikasi ucapannya dengan menegaskan bahwa dirinya tidak percaya milisi Hamas adalah pejuang kemerdekaan.

Dalam editorialnya, Haaretz mengatakan Schocken merujuk pada “warga Palestina yang hidup di bawah pendudukan dan penindasan di Tepi Barat.”

Dalam pidatonya, Schocken juga menyerukan sanksi internasional terhadap para pemimpin Israel sebagai satu-satunya cara untuk memaksa pemerintah mengubah arah.

“Dalam arti tertentu, apa yang terjadi sekarang di wilayah pendudukan dan di sebagian Gaza adalah Nakba kedua,” ucapnya.

“Negara Palestina harus didirikan dan satu-satunya cara untuk mencapainya, menurut saya, adalah dengan menerapkan sanksi terhadap Israel, terhadap para pemimpin yang menentangnya, dan terhadap para pemukim,” lanjut dia saat itu.

Sebelum ini, pemerintah Israel juga menutup dan menghentikan operasional kantor berita Al Jazeera di Ramallah. Aksi itu dilakukan dengan alasan yang sama yakni pemberitaan Al Jazeera bertentangan dengan hak-hak Israel membela diri.

Jurnalis perang Al Jazeera seiring dengan itu kerap menjadi korban serangan Israel di Gaza. Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) mencatat sedikitnya 137 jurnalis dan pekerja media telah terbunuh saat meliput perang.

Angka ini menjadikan kondisi saat ini sebagai periode paling mematikan bagi jurnalis sejak CPJ mulai mengumpulkan data pada 1992 silam.[]

Putri Aulia Maharani

Breaking News Nasional