JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan terkait frasa pelaut awak kapal dan pelaut perikanan dalam salah satu pasal UU tentang pelindungan pekerja migran Indonesia. Sebagaimana dilansir dari Detik News, Gugatan itu ingin menghapus frasa pelaut dari salah satu pasal UU tentang pelindungan pekerja migran Indonesia. Pemohon terdiri dari tiga pihak yang berbeda yaitu Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia (AP2I), seorang pelaut bernama Untung Dihako, dan PT Mirana Nusantara Indonesia.
“Amar putusan, mengadili, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK, Suhartoyo, dalam sidang perkara Nomor 127/PUU-XXI/2023 yang digelar di gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Jumat (29/11/2024). Dalam putusannya, MK menolak gugatan Pemohon untuk melakukan uji materi atau judicial review (JR) terhadap Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 (UU Cipta Kerja).
Inti gugatan dari Pemohon yaitu meminta MK untuk menghapus aturan pada Pasal 4 Ayat (1) huruf c dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017. Aturan itu menyebut frasa ‘pelaut awak kapal dan pelaut perikanan’ sebagai pekerja migran Indonesia.
Pemohon mengajukan penghapusan pasal itu karena dianggap menghalangi jaminan perlindungan dan hak pelaut. Pemohon juga beranggapan bahwa berlakunya pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945
Dalam sidang, MK juga menyoroti gugatan Pemohon soal regulasi yang tidak membedakan kategori pekerja migran berbasis darat dan laut. MK menyebut UU PPMI memang mengelompokkan seluruh pekerja migran dalam satu kategori umum.
Namun, MK mengakui pekerja migran laut menghadapi kondisi kerja yang lebih berat dibanding pekerja migran darat. Contohnya seperti pelaut awak kapal dan pelaut perikanan. “Pelaut sering kali bekerja di wilayah perairan internasional dengan risiko keselamatan yang lebih tinggi serta menghadapi regulasi internasional yang lebih kompleks,” kata Arief.
MK menyebut pengakuan terhadap hak-hak pelaut sudah diatur dalam Konvensi MLC 2006 yang diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2016. Meski begitu, dalam praktiknya tantangan bagi pekerja migran laut masih cukup berat terutama terkait regulasi dan perlindungan hukum.
Pemohon pun mempersoalkan soal adanya sistem pelayanan terpadu. Sebab, sistem itu menimbulkan keruwetan dalam pengurusan izin bekerja. Dalam pertimbangannya, MK menilai dalil para pemohon terkait sistem pelayanan terpadu yang dianggap menyulitkan pengurusan izin kerja tidak berdasar.
Hakim Konstitusi, Arief Hidayat, menjelaskan, sistem pelayanan terpadu diterapkan untuk menghilangkan dualisme pengaturan dan mempermudah pelayanan publik. Termasuk dalam pengurusan izin bekerja sebagai pelaut atau awak kapal. “Sistem pelayanan terpadu ini dilakukan secara terintegrasi, baik secara fisik maupun virtual, sesuai standar pelayanan. Tujuannya justru untuk mempermudah pengurusan dokumen yang diperlukan oleh pekerja migran, termasuk pelaut,” ujar Arief dalam sidang.
MK menegaskan jika diperlukan pemisahan pengaturan antara pekerja migran darat dan laut, hal tersebut bisa dilakukan pembentuk undang-undang. Namun, langkah itu harus bertujuan untuk memberikan perlindungan komprehensif bagi pelaut baik itu dari sisi hukum, keselamatan kerja, maupun kesejahteraan. “UU PPMI tetap bertujuan memberikan kepastian perlindungan bagi seluruh pekerja migran, termasuk pelaut, yang memiliki karakteristik khusus,” tambahnya.
Dengan pertimbangan tersebut, MK menyatakan dalil para pemohon tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Putusan ini menegaskan sistem pelayanan terpadu merupakan bagian dari upaya memberikan perlindungan lebih baik bagi pekerja migran Indonesia. []
Putri Aulia Maharani