Menguak Skandal Fraud dan Dugaan Mafia Tanah di Kutai Kartanegara

Menguak Skandal Fraud dan Dugaan Mafia Tanah di Kutai Kartanegara

Kutai Kartanegara – Kasus penggelapan dan penadahan dengan penyertaan Sertfikat Hak Milik (SHM) program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dengan nomor perkara: 476/Pid.B/2024 dan 477/Pid.B/2024  yang baru-baru ini disidangkan di Pengadilan Negeri Tenggarong memicu kontroversi. Putusan pengadilan terhadap para terpidana dinilai mencederai rasa keadilan. Muhammad Yusuf, seorang pemerhati hukum yang ditemui di Tenggarong pada Jumat (13/12/2024), menyampaikan bahwa perkara ini melibatkan dugaan kerugian negara yang signifikan serta sejumlah oknum pemerintahan yang terlibat memuluskan tindak pidana tersebut.

Perkara ini bermula dari modus menjaminkan surat berharga sebagai agunan untuk mendapatkan dana. Namun, agunan tersebut gagal bayar, sehingga menyebabkan kerugian bagi negara dan masyarakat. Dua terpidana, Hefnie dan Dina Ariyani, telah dijatuhi hukuman masing-masing 4 bulan penjara dan 1 bulan 5 hari penjara dalam putusan Pengadilan Negeri Tenggarong. Vonis ini jauh lebih ringan dibandingkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum.

“Putusan tersebut sangat mengecewakan. Banyak korban yang merasa belum mendapatkan kembali hak-haknya, seperti sertifikat hak milik yang digunakan secara tidak sah oleh para terpidana,” ujar Yusuf.

Muhammad Yusuf.

Ia juga menjelaskan bahwa dugaan keterlibatan sejumlah oknum pemerintah menjadi perhatian serius dalam kasus ini. Oknum Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kabupaten Kutai Kartanegara disebut-sebut membuat dokumen palsu terkait identitas pemilik tanah. Selain itu, Yusuf menambahkan bahwa ada oknum pegawai bank yang memindahkan dana pinjaman kepada para terdakwa serta perangkat desa yang diduga mengetahui dan turut memuluskan aksi tersebut.

Kasus ini mengingatkan pada peristiwa serupa di Desa Tani Bhakti, Loa Janan. Dalam kasus tersebut, Direktur Utama PT Berkat Salama Jaya dan pimpinan salah satu bank BRI di Tenggarong diduga melakukan fraud pinjaman modal usaha untuk kegiatan penggemukan sapi. Hingga kini, perkara tersebut masih dalam penyelidikan Kejaksaan Negeri Kutai Kartanegara.

Namun, Yusuf mengungkapkan kejanggalan dalam penanganan kasus di Desa Rempanga. “Pada kasus PT Berkat Salama Jaya, pimpinan bank turut terlibat. Tetapi dalam kasus Desa Rempanga, keterlibatan serupa tidak ditemukan. Padahal, banyak bukti yang menunjukkan adanya pola yang sama,” jelasnya.

Yusuf juga menyoroti dugaan keberadaan mafia tanah yang terorganisasi dalam kasus ini. Ia meyakini ada mata rantai besar yang memfasilitasi tindak pidana tersebut, meskipun hingga kini belum ditemukan bukti konkret.

Melalui wawancara ini, Yusuf meminta aparat penegak hukum bekerja lebih maksimal untuk menuntaskan kasus tersebut. “Kehadiran simbolis negara dalam menegakkan hukum harus dirasakan oleh masyarakat, terutama mereka yang menjadi korban. Banyak hak korban yang belum dikembalikan, dan ada pula korban yang belum melaporkan kerugian mereka,” tutupnya.

Penulis: Andi Isnar
Penyunting: Nuralim

Headlines Hotnews Kasus