JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) kembali menetapkan dua tersangka baru dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina (Persero), Sub Holding, dan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) tahun 2018-2023. Direktur Penyidikan (Dirdik) Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, mengungkapkan bahwa kedua tersangka tersebut adalah MK selaku Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga serta EC selaku VP Trading Operation PT Pertamina Patra Niaga.
Kedua tersangka awalnya dipanggil untuk diperiksa pada pukul 10.00 WIB, namun tidak kunjung hadir tanpa alasan yang jelas. Akibatnya, penyidik memutuskan untuk melakukan pencarian dan menjemput paksa mereka.
dilakukan pemeriksaan secara maraton mulai jam 15.00 WIB hingga malam, penyidik menemukan bukti yang cukup bahwa keduanya terlibat dalam tindak pidana bersama tujuh tersangka lainnya yang telah lebih dulu diumumkan. Setelah menjalani pemeriksaan kesehatan, MK dan EC langsung ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung selama 20 hari ke depan.
Kasus korupsi ini melibatkan berbagai modus operandi yang terstruktur dan sistematis. Penyidik menemukan adanya permainan impor, pengaturan broker, serta oplosan bahan bakar minyak (BBM) dari Pertalite (RON 90) menjadi Pertamax (RON 92).
Tujuh tersangka sebelumnya yang telah diamankan dalam kasus ini antara lain RS selaku Dirut PT Pertamina Patra Niaga, SDS selaku Direktur Optimasi Feedstock dan Produk PT Kilang Pertamina Internasional, YF selaku Dirut PT Pertamina Internasional Shipping, AP selaku Vice President Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, MKAN selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim, serta YRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Dirut PT Orbit Terminal Mera.
Menurut Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar, para tersangka melakukan berbagai manipulasi dalam pemenuhan kebutuhan minyak mentah dalam negeri. Mereka sengaja menurunkan produksi kilang dalam negeri untuk membuka celah impor minyak mentah dan produk kilang dari luar negeri dengan harga tinggi. Seharusnya, pemenuhan minyak mentah dalam negeri wajib mengutamakan pasokan minyak dari kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor. Namun, para tersangka mengatur agar minyak dalam negeri ditolak dengan berbagai alasan sehingga harus diimpor.
Selain itu, ditemukan fakta bahwa Pertamina Patra Niaga membeli BBM dengan spesifikasi RON 90, kemudian dilakukan blending atau oplosan di depo untuk diubah menjadi RON 92. Hal ini tidak hanya melanggar regulasi, tetapi juga merugikan negara secara finansial.
Akibat berbagai tindakan melawan hukum ini, negara mengalami kerugian yang sangat besar, mencapai Rp193,7 triliun. Kerugian ini berasal dari berbagai komponen, di antaranya kerugian akibat ekspor minyak mentah dalam negeri sebesar Rp35 triliun, kerugian akibat impor minyak mentah melalui broker sebesar Rp2,7 triliun, kerugian akibat impor BBM melalui broker sebesar Rp9 triliun, kerugian akibat pemberian kompensasi BBM pada 2023 sebesar Rp126 triliun, serta kerugian akibat pemberian subsidi BBM pada 2023 sebesar Rp21 triliun.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Mereka juga dikenakan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Hingga saat ini, penyidik masih terus mendalami keterlibatan pihak lain, termasuk kemungkinan adanya aliran dana ke keluarga dan kolega tersangka.[]
Putri Aulia Maharani