JAKARTA – Sejumlah kebijakan yang diambil Presiden Prabowo Subianto di awal masa jabatannya menuai kontroversi. Program Makan Bergizi Gratis (MBG), pemangkasan anggaran, hingga pembentukan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) menjadi sorotan dan menuai kritik tajam dari berbagai pihak.
Prabowo menegaskan bahwa kebijakan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, sejumlah pakar menilai kebijakan tersebut justru mengarah pada komodifikasi kemiskinan, di mana kondisi masyarakat miskin dijadikan komoditas dalam proyek-proyek pembangunan.
BPI Danantara: Instrumen Pembangunan atau Kepentingan Politik?
BPI Danantara merupakan kebijakan terbaru yang resmi diluncurkan pada 24 Februari 2025. Badan ini bertugas mengelola dan mengembangkan investasi negara, dengan rencana untuk menaungi seluruh Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Pada tahap awal, tujuh BUMN yang telah bergabung dalam Danantara adalah MIND ID, Bank Mandiri, BRI, PLN, Pertamina, BNI, dan Telkom Indonesia. Dalam peluncurannya, Prabowo menyatakan bahwa Danantara tidak hanya berperan sebagai badan investasi, tetapi juga menjadi instrumen pembangunan nasional untuk mengoptimalkan pengelolaan kekayaan negara.
“Peluncuran Danantara Indonesia hari ini memiliki arti yang sangat penting. Danantara bukan sekadar badan pengelola investasi, melainkan instrumen pembangunan nasional untuk mengoptimalkan kekayaan Indonesia,” ujar Prabowo dalam pidatonya.
Danantara mendapat suntikan dana awal sebesar Rp300 triliun yang bersumber dari pemangkasan anggaran kementerian dan lembaga. Kebijakan ini sejalan dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 mengenai efisiensi belanja APBN dan APBD.
Namun, kritik muncul terkait pengelolaan badan ini. Dosen Departemen Sosiologi Universitas Gadjah Mada, Andreas Budi Widyanta, menilai bahwa kebijakan tersebut adalah bentuk komodifikasi kemiskinan, di mana kelompok masyarakat miskin dijadikan dalih untuk proyek-proyek besar.
“Ini bagian dari komodifikasi kemiskinan. Kemiskinan dijadikan alasan untuk menciptakan proyek-proyek baru, namun keuntungan dari proyek ini tidak dirasakan langsung oleh masyarakat miskin,” ujarnya kepada Suara.com pada Kamis (27/2/2025).
Widyanta juga mengkritisi struktur kepemimpinan Danantara yang diisi oleh tokoh-tokoh dari Koalisi Indonesia Maju (KIM), termasuk Rosan Roeslani sebagai Group CEO, Dony Oskaria sebagai Chief Operating Officer (COO), dan Pandu Sjahrir sebagai Chief Investment Officer (CIO).
“Jadi ini hanya atas nama orang miskin. Tapi siapa yang benar-benar menikmati manfaatnya? Ini proyek bisnis. Keuntungannya jatuh ke tangan mereka yang mengelolanya,” tegasnya.
Program Makan Bergizi Gratis: Solusi atau Sekadar Gimik?
Selain Danantara, kebijakan lain yang dikritik adalah program Makan Bergizi Gratis (MBG). Program ini diklaim dapat meningkatkan asupan gizi bagi anak-anak dan ibu hamil serta mencegah stunting.
Namun, Widyanta menilai bahwa program ini tidak serta-merta menyelesaikan persoalan gizi di Indonesia. Menurutnya, kondisi pangan setiap daerah berbeda-beda dan tidak bisa disamaratakan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Survei Konsumsi Makanan Individu (SKMI) 2022, sekitar 21 juta masyarakat Indonesia mengalami kekurangan gizi. Widyanta menyebut bahwa salah satu penyebabnya adalah hilangnya sumber pangan akibat perampasan lahan untuk pertambangan, proyek strategis nasional (PSN), dan food estate.
“Sumber pangan masyarakat dieksploitasi, lahan mereka diambil untuk food estate atau pertambangan, yang akhirnya merusak ekosistem dan memperparah kondisi ketahanan pangan,” ujarnya.
Ia mencontohkan proyek food estate di Merauke, Papua Selatan, yang menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat setempat. Proyek ini berpotensi merampas lahan hutan yang menjadi sumber penghidupan bagi warga lokal, sehingga justru memperburuk kondisi mereka.
Siapa yang Sebenarnya Diuntungkan?
Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Didik J. Rachbini, juga mempertanyakan dampak nyata dari kebijakan Prabowo, terutama terkait Danantara. Pemerintah mengklaim bahwa badan ini dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dari 5 persen menjadi 6,5 persen melalui ekspor bernilai tambah dan industrialisasi.
Namun, Didik menilai bahwa klaim tersebut perlu dibuktikan dengan transparansi dan tata kelola yang baik.
“Sejauh mana Danantara benar-benar berkontribusi terhadap perekonomian Indonesia? Bagaimana mekanisme kerjanya dalam mengelola aset yang begitu besar? Dan yang paling penting, siapa yang akan menikmati manfaat dari kebijakan ini?” ujarnya dalam pernyataan tertulis.
Jika tidak dikelola dengan transparansi yang baik, Didik khawatir Danantara hanya akan menjadi alat kepentingan politik semata, tanpa dampak signifikan bagi rakyat.
“Jika program ini tidak memperhatikan kesejahteraan manusia dan keberlanjutan lingkungan, maka ini bukan kedaulatan bangsa, melainkan kedaulatan para elite,” pungkas Widyanta.[]
Putri Aulia Maharani