JAKARTA – Ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan China semakin meningkat, dengan perang dagang yang kini memasuki babak baru. Pemerintah China, yang dipimpin Presiden Xi Jinping, baru saja mengumumkan kenaikan tarif impor terhadap barang-barang AS menjadi 125%. Keputusan ini mulai berlaku pada Sabtu, 12 April 2025, sebagai respons terhadap kebijakan tarif yang ditempuh oleh Presiden Donald Trump.
Kenaikan tarif ini merupakan balasan langsung atas tindakan AS yang sebelumnya menaikkan tarif impor terhadap produk-produk China hingga mencapai 145%. Langkah China ini menjadi bagian dari eskalasi dalam konflik tarif yang telah berlangsung sejak awal tahun 2025.
Sejak dimulainya perang tarif, kedua negara telah saling mengenakan tarif impor yang berdampak besar pada perekonomian global. Pada 20 Januari 2025, Trump menandatangani Kebijakan Perdagangan America First yang mengarah pada investigasi defisit perdagangan AS dan rekomendasi untuk mengenakan tarif tambahan global. Kemudian, pada 1 Februari 2025, Trump mengumumkan tarif 10% untuk impor barang dari China, yang sebagian besar bertujuan untuk mengatasi permasalahan perdagangan ilegal, termasuk penyelundupan fentanil. Pada 3 Maret 2025, AS menaikkan tarif impor dari China menjadi 20%, yang diikuti dengan respons dari China berupa tarif baru atas produk pertanian AS.
China juga meningkatkan tekanan pada AS dengan mengenakan tarif terhadap produk energi dan logam, termasuk batu bara dan gas alam, serta logam langka yang penting untuk industri teknologi. Pada 9 April 2025, tarif tambahan sebesar 84% dikenakan oleh China terhadap barang-barang AS. Tarif tersebut berdampak pada sektor-sektor penting seperti otomotif, elektronik, dan pertanian.
Pada hari yang sama, Trump menaikkan tarif timbal balik AS terhadap China menjadi 125%. Dengan tarif yang terus meningkat dari kedua belah pihak, para pengamat mengkhawatirkan dampak besar terhadap perekonomian global, mengingat kedua negara merupakan ekonomi terbesar dunia. Pasar saham dunia juga mengalami volatilitas tinggi akibat ketidakpastian ini.
Sejumlah perusahaan multinasional dan eksportir global menghadapi tantangan besar untuk menyesuaikan rantai pasokan mereka, mengingat ketegangan ini juga mempengaruhi sektor perdagangan internasional. Banyak perusahaan manufaktur yang bergantung pada bahan baku dari China dan AS kini mulai mencari alternatif pemasok di luar kedua negara tersebut.
China menegaskan bahwa mereka tidak akan lagi merespons kenaikan tarif yang lebih lanjut oleh AS. Meskipun demikian, eskalasi ini menimbulkan ketegangan lebih lanjut dalam hubungan ekonomi antara kedua negara, yang juga mempengaruhi rantai pasokan global dan menyebabkan fluktuasi harga barang-barang konsumsi di pasar internasional.
Perang tarif yang berlarut-larut ini juga berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi global, dengan banyak negara di luar AS dan China yang terpengaruh oleh ketegangan ini, baik melalui penurunan permintaan ekspor maupun gangguan pada aliran investasi global.[]
Putri Aulia Maharani