JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan hakim nonaktif Heru Hanindyo sebagai tersangka Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) terkait dengan kasus suap dan gratifikasi yang melibatkan vonis bebas Gregorius Ronald Tannur.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, mengungkapkan bahwa setelah penetapan tersangka, pihaknya juga melakukan pemblokiran terhadap beberapa aset yang dimiliki oleh Heru Hanindyo. Namun, Harli belum merinci secara spesifik aset mana saja yang diblokir dalam proses penyidikan tersebut.
“Selain menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka, juga melakukan berbagai kegiatan pemblokiran terhadap beberapa aset yang dilakukan oleh penyidik,” kata Harli di Gedung Kejagung, Jakarta Selatan, pada Selasa (29/4/2025).
Menurut Harli, proses pemeriksaan terhadap saksi-saksi dan pengumpulan berkas perkara masih terus dilakukan oleh penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAMPidsus).
Kasus Suap dan Gratifikasi
Heru Hanindyo sebelumnya terlibat dalam kasus suap dan gratifikasi yang berujung pada vonis bebas bagi terdakwa Gregorius Ronald Tannur. Kejaksaan Agung telah mengembangkan kasus ini, meskipun berkas perkara telah diajukan ke pengadilan. Heru Hanindyo ditetapkan sebagai tersangka TPPU pada 10 April 2025.
Harli menjelaskan bahwa penetapan tersangka TPPU ini berkaitan dengan tindak pidana asal berupa korupsi suap dan gratifikasi yang terjadi antara tahun 2020 hingga 2024. Heru Hanindyo didakwa melanggar Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Penerimaan Suap dan Gratifikasi
Dalam kasus ini, Heru Hanindyo bersama dengan dua hakim lainnya, Erintuah Damanik dan Mangapul, yang merupakan hakim Pengadilan Negeri Surabaya, didakwa menerima suap dan gratifikasi. Heru Hanindyo sendiri diduga menerima gratifikasi dalam bentuk uang tunai dan mata uang asing, yang totalnya mencakup Rp104,5 juta, USD 18.400, SGD 19.100, Yen 100 ribu, Euro 6.000, serta uang tunai Riyal 21.715.
Erintuah Damanik, hakim lainnya yang terlibat, juga didakwa menerima gratifikasi berupa uang senilai Rp97,5 juta, SGD 32 ribu, dan RM 35.992,25, yang ditemukan di rumah dan apartemennya. Sedangkan hakim Mangapul didakwa menerima gratifikasi uang senilai Rp21,4 juta, USD 2.000, dan SGD 6.000.
Kasus ini menggambarkan kejahatan yang melibatkan pejabat peradilan dalam menerima suap dan gratifikasi yang dapat merusak integritas sistem hukum di Indonesia. Proses penyidikan terus berlangsung, dengan harapan agar keadilan dapat ditegakkan dan memberikan efek jera kepada pihak-pihak terkait.[]
Putri Aulia Maharani