JAKARTA – Polemik seputar keaslian ijazah Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali mencuat ke publik hingga berujung pada laporan kepolisian. Ahli digital forensik Rismon Hasiholan Sianipar (RHS), yang turut dilaporkan, menyatakan bahwa persoalan ini seharusnya ditanggapi melalui pendekatan akademik, bukan emosi atau prasangka.
Rismon menyampaikan pandangannya dalam acara Rakyat Bersuara: Tiga Terlapor Ijazah Jokowi Bersaksi yang ditayangkan di iNewsTV pada Selasa (29/4/2025). Ia menegaskan bahwa dalam dunia ilmiah, analisis terhadap dokumen, gambar, suara, dan video memiliki metodologi dan standar akademis yang dapat diuji dan dipertanggungjawabkan.
“Ada ilmunya: fake document analysis, fake audio analysis, fake image analysis, fake video analysis. Ini semua berada dalam ruang akademik. Kalau hasilnya tidak disukai, bukan berarti itu tidak valid. Kajian ilmiah harus dilawan dengan kajian ilmiah,” tegas Rismon.
Pernyataan tersebut muncul sebagai respons atas laporan polisi yang ditujukan kepada dirinya dan beberapa pihak lain, termasuk Roy Suryo, atas dugaan penghasutan terkait tudingan ijazah palsu Presiden Jokowi.
Tim hukum pelapor, yang diwakili oleh Rusdiansyah, sebelumnya mendatangi Polres Metro Jakarta Pusat pada Senin (28/4/2025) untuk menjalani pemeriksaan awal. Mereka membawa sejumlah barang bukti berupa rekaman dugaan ajakan melakukan hasutan serta menghadirkan saksi-saksi guna mempercepat proses hukum.
“Hari ini kami memenuhi panggilan penyidik Polres Jakarta Pusat atas laporan kami. Kami membawa rekaman dan saksi. Harapannya agar kasus ini segera diproses dan masyarakat mendapat kepastian hukum,” ujar Rusdiansyah.
Ia juga menegaskan bahwa tindakan yang mereka laporkan dinilai berpotensi menimbulkan keresahan publik dan menciptakan ketidaktertiban sosial. Karena itu, pihaknya mendesak agar proses hukum berjalan cepat dan adil.
Kasus ini menjadi sorotan karena melibatkan tokoh publik serta menyangkut legitimasi seorang kepala negara. Rismon sendiri menolak jika kajian ilmiahnya dianggap bentuk hasutan. Ia mengimbau agar masyarakat dan aparat hukum tidak menyamakan kegiatan akademik dengan tindakan kriminal, serta menekankan pentingnya menjaga ruang diskusi ilmiah yang sehat dan terbuka.[]
Putri Aulia Maharani