JAKARTA — Momentum peringatan Hari Buruh Internasional 2025 diwarnai harapan baru bagi penyandang disabilitas. Di tengah gelombang isu ketenagakerjaan yang kompleks, sepasang suami istri asal Cikarang, Bekasi, menunjukkan bahwa inklusi bukan hanya slogan, melainkan realitas yang bisa diwujudkan.
Munandar Safri (38) dan istrinya, Lifiana (30), adalah dua dari lebih dari 20 penyandang disabilitas yang saat ini bekerja di PT Omron Manufacturing Indonesia, sebuah perusahaan manufaktur elektronik yang berlokasi di kawasan industri Cikarang, Kabupaten Bekasi. Pasangan ini telah bekerja di perusahaan tersebut lebih dari sepuluh tahun—Munandar di bagian teknik, dan Lifiana sebagai operator produksi.
“Di perusahaan kami, tidak ada perbedaan perlakuan antara disabilitas dan non-disabilitas. Statusnya tetap sama, yaitu karyawan,” ujar Lifiana saat ditemui di kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Kamis (01/05/2025), dalam aksi damai memperingati Hari Buruh.
PT Omron menjadi salah satu dari sedikit perusahaan yang secara aktif merekrut tenaga kerja dari kalangan disabilitas. Perusahaan ini tidak hanya menyediakan lapangan kerja, tetapi juga menciptakan lingkungan yang ramah disabilitas. Fasilitas sederhana seperti pijakan kaki bagi pengguna kursi roda dan penyesuaian alat kerja untuk tuna rungu telah tersedia.
“Ketika misalkan duduk, kaki kita menggantung, perusahaan itu simpel aja, sediakan pijakan,” tutur Lifiana, menggambarkan kepedulian perusahaan terhadap kebutuhan pekerja disabilitas.
Rekrutmen mereka dilakukan melalui Balai Latihan Kerja (BLK) milik pemerintah di Cibinong, Bogor, dengan dukungan dari Kementerian Ketenagakerjaan dan Dinas Sosial provinsi. Menurut Lifiana, perusahaan tidak menunggu para pelamar, melainkan aktif menjalin kerja sama dengan lembaga pelatihan resmi untuk menemukan tenaga kerja yang sesuai.
“Kami dikirim ke pusat pelatihan melalui Dinas Sosial provinsi masing-masing. Dari situ, perusahaan-perusahaan mencari,” ujarnya.
Meski demikian, Munandar dan Lifiana mengungkapkan bahwa belum banyak perusahaan lain yang bersedia membuka pintu bagi pekerja disabilitas. Alasannya pun beragam, mulai dari keterbatasan infrastruktur hingga minimnya informasi. Padahal, kata Lifiana, yang dibutuhkan hanyalah niat baik dan kemauan untuk beradaptasi.
“Kalau memang niat, mereka bisa cari ke Dinas Sosial. Kami bukan tidak mampu, tapi belum diberi kesempatan,” tegasnya.
Di tengah diskursus publik yang masih sering terfokus pada upah dan beban kerja, kisah Munandar dan Lifiana menjadi pengingat bahwa perjuangan buruh juga mencakup hak atas akses kerja yang setara. Pemerintah diharapkan dapat mengambil peran yang lebih aktif dalam mendorong sektor swasta agar menciptakan dunia kerja yang lebih inklusif bagi seluruh warga negara, tanpa kecuali. []
Diyan Febriana Citra