UU TNI Diserbu Gugatan, MK Tegaskan Etika Hukum

UU TNI Diserbu Gugatan, MK Tegaskan Etika Hukum

JAKARTA – Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI memicu rekor gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK). Sebanyak 14 permohonan uji materi dan formil tercatat masuk ke MK, menjadikan UU ini salah satu yang paling banyak digugat sepanjang sejarah lembaga tersebut.

Sidang perdana pengujian UU TNI digelar pada Jumat (09/05/2025) dan dipimpin langsung oleh Wakil Ketua MK, Saldi Isra. Dalam keterangannya, Saldi menyebut bahwa sebagian besar dari gugatan yang masuk berfokus pada uji formil. “Semua permohonan yang terkait UU TNI ini ada sekitar 14 dan sebagian besarnya uji formil,” kata Saldi.

Ia menegaskan bahwa ini merupakan peristiwa langka di MK. “Baru pertama dalam sejarah Mahkamah Konstitusi isu yang sama disidangkan serentak dalam tiga panel berbeda,” ujarnya.

Banyaknya gugatan, menurut Saldi, merupakan indikasi tingginya perhatian publik terhadap UU tersebut.

Saldi juga menyarankan agar para pemohon, khususnya mahasiswa, menggabungkan permohonan agar argumen yang diajukan lebih terstruktur dan komprehensif. Hal ini dinilainya dapat mencerminkan kekompakan serta keseriusan dalam menyikapi satu isu konstitusional secara bersama.

Sementara itu, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menyoroti kualitas substansi dalam permohonan yang diajukan. Ia meminta pemohon menyusun gugatan dengan argumen hukum yang jelas dan bukti yang memadai.

“Harus dijelaskan betul antara kerugian konstitusional dengan norma yang dianggap bermasalah. Jangan hanya menyebut, tetapi uraikan secara sistematis,” ucap Ridwan.

Ia juga memperingatkan agar penyusunan permohonan tidak didorong oleh emosi semata. “Saya senang generasi muda bersemangat, tapi semangat itu harus diiringi dengan ketepatan. Jangan emosi, karena kalau emosi, bukti bisa terlewat atau penyusunan jadi tidak rapi,” tambahnya.

Hakim MK lainnya, Arsul Sani, memberikan catatan soal legal standing atau kedudukan hukum pemohon. Ia mengingatkan bahwa tidak semua pemohon akan otomatis dianggap memiliki hak untuk menggugat.

“Jangan hanya karena ingin populer, lalu mengajukan permohonan. Mahkamah melihat keterlibatan aktif dalam proses pembentukan UU, bukan hanya reaksi setelah pengesahan,” tegasnya.

Menurut Arsul, mahasiswa atau masyarakat yang aktif berdiskusi, menyampaikan pendapat ke DPR, atau terlibat dalam proses legislasi bisa dianggap memiliki kedudukan hukum. Sebaliknya, mereka yang tidak pernah menunjukkan partisipasi sejak awal berisiko gugur di awal pemeriksaan.

Sidang-sidang lanjutan pengujian UU TNI dijadwalkan berlangsung dalam waktu dekat, dengan Mahkamah akan mengevaluasi keabsahan formil dan materiil dari undang-undang tersebut berdasarkan bukti dan argumentasi yang diajukan pemohon. []

Diyan Febriana Citra.

Nasional