Jepang Berlakukan Undang-Undang untuk Cegah Serangan Siber

Jepang Berlakukan Undang-Undang untuk Cegah Serangan Siber

TOKYO – Pemerintah Jepang resmi memberlakukan undang-undang baru yang memperkuat pertahanan siber nasional. Melalui persetujuan parlemen pada Jumat (16/5), regulasi bertajuk active cyber defense itu memungkinkan otoritas pemerintah memantau lalu lintas data komunikasi lintas negara secara legal dan menetralkan sumber serangan jika terjadi insiden siber, meski dalam situasi damai.

Langkah ini menandai perubahan signifikan dalam pendekatan keamanan siber Jepang. Undang-undang tersebut mewajibkan perusahaan penyedia infrastruktur vital—seperti di sektor kelistrikan dan transportasi kereta api—untuk segera melaporkan insiden pelanggaran siber kepada otoritas terkait.

Upaya ini merupakan respons terhadap serangkaian serangan siber yang menargetkan maskapai penerbangan dan lembaga keuangan di Jepang dalam beberapa tahun terakhir. Pemerintah pun mempercepat penyusunan kerangka hukum guna mengantisipasi potensi ancaman digital yang makin kompleks. Implementasi penuh kebijakan ini direncanakan pada tahun 2027.

Meski memberikan kewenangan luas kepada negara, undang-undang ini menegaskan batasan perlindungan data pribadi warga negara. Informasi yang dapat dipantau terbatas pada alamat IP yang digunakan dalam komunikasi antara Jepang dan negara asing, serta lalu lintas data internasional yang melewati wilayah Jepang. Pemerintah tidak memiliki wewenang untuk mengakses isi komunikasi pribadi, termasuk surat elektronik dan pesan dalam negeri.

Menanggapi kekhawatiran dari partai oposisi terkait potensi pelanggaran hak konstitusional atas privasi komunikasi, pemerintah Jepang telah merevisi ketentuan dalam undang-undang. Revisi tersebut menetapkan bahwa pengawasan komunikasi harus dilakukan tanpa melanggar hak warga untuk merahasiakan isi pembicaraan pribadi.

Sebagai pengawasan tambahan, pemerintah akan membentuk panel independen yang bertugas menyetujui tindakan teknis sebelum akuisisi data dilakukan. Panel ini juga berfungsi memverifikasi legalitas dalam setiap langkah penanggulangan serangan siber, termasuk jika perlu dilakukan penetralan server yang dianggap berbahaya.

Dalam skenario tertentu, kepolisian akan mengambil peran awal untuk menghentikan serangan digital. Namun, jika situasi dinilai sangat canggih, terorganisasi, dan terencana, maka pasukan militer akan dikerahkan untuk menangani ancaman tersebut.

Kebijakan ini mencerminkan ambisi Jepang untuk menyelaraskan tingkat keamanan sibernya dengan negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa Barat. Selain itu, Jepang juga terus mempererat kerja sama di bidang ini, termasuk dengan delapan negara anggota ASEAN guna memperkuat stabilitas keamanan digital kawasan.[]

Putri Aulia Maharani

Internasional