JAKARTA – Fenomena premanisme di Indonesia bukanlah hal baru. Sejak masa kolonial, aksi kekerasan jalanan yang dilakukan oleh kelompok bersenjata telah meresahkan masyarakat. Salah satu catatan sejarah paling mencolok terjadi pada tahun 1901 di wilayah Karesidenan Madiun, yang meliputi Madiun, Magetan, Ngawi, Pacitan, dan Ponorogo.
Pada pertengahan tahun itu, situasi keamanan di wilayah tersebut memburuk drastis. Kelompok-kelompok jagoan, yang kini lazim disebut preman, turun ke jalan dan melancarkan serangkaian aksi kriminal seperti perampokan, pemalakan, hingga penjarahan terhadap rumah-rumah warga, khususnya milik orang kaya.
Menurut laporan harian kolonial Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië tertanggal 14 Oktober 1901, terdapat puluhan aksi perampokan dan kekerasan yang berlangsung dalam beberapa bulan. Salah satu peristiwa paling tragis terjadi di Purwodadi, ketika sekelompok preman menyerbu rumah pemilik pabrik gula, menyekap para penghuni, dan menggiring mereka ke tengah sawah agar tidak terlihat oleh warga sekitar.
“Dalam kelompok berjumlah 20 orang atau lebih, perampok menyerbu, tidak hanya menjarah sepuasnya tetapi juga melakukan penyiksaan,” tulis surat kabar tersebut.
Kepanikan merajalela, dan aparat kepolisian dinilai tidak mampu mengendalikan keadaan. Surat kabar De Locomotief bahkan mencatat bahwa pemerintah kolonial mempertimbangkan untuk mempersenjatai warga sipil, terutama warga keturunan Eropa, agar dapat mempertahankan diri dari gelombang kekerasan.
Situasi ini semakin rumit ketika muncul dugaan bahwa kekacauan tersebut terkait dengan konflik kekuasaan antara Residen J.J. Donner dan Bupati Madiun, Raden Brotodiningrat. Perseteruan keduanya bermula dari sebuah insiden pencurian tirai di kediaman Donner pada 1899. Meski terlihat sepele, Donner menuduh Brotodiningrat berada di balik aksi tersebut.
Investigasi lebih lanjut menunjukkan bahwa tersangka pencurian adalah seorang residivis bernama Soeradi. Namun, Residen Donner menuding bahwa sang bupati telah memelihara jaringan dunia hitam beranggotakan jagoan dan kriminal. Ia menyebut Brotodiningrat sebagai pemimpin tidak resmi kelompok tersebut, bahkan menuduhnya tengah merancang pemberontakan besar seperti Perang Diponegoro.
Sejarawan Ong Hok Ham dalam buku Madiun dalam Kemelut Sejarah menyebut, Brotodiningrat sebenarnya memanfaatkan kelompok preman untuk mengamankan wilayah karena aparat kepolisian saat itu belum efektif. Namun, praktik “pemeliharaan” ini bertentangan dengan norma pemerintahan kolonial, sehingga menimbulkan kecurigaan dan tuduhan serius.
Meski membantah semua tuduhan, kekuasaan Brotodiningrat akhirnya dicabut. Kepergiannya meninggalkan kekosongan kendali atas kelompok preman yang sebelumnya “dinaungi”. Dalam kekacauan tanpa pemimpin tersebut, gelombang kejahatan jalanan pun semakin menjadi-jadi.
Baru setelah Residen Donner juga diberhentikan dari jabatannya, situasi Madiun perlahan kembali kondusif. Peristiwa ini kemudian dikenal dalam sejarah sebagai Peristiwa Brotodiningrat—sebuah kisah kelam tentang bagaimana konflik politik, ketimpangan kekuasaan, dan lemahnya aparat keamanan dapat membuka jalan bagi tumbuh suburnya premanisme.[]
Putri Aulia Maharani