JAKARTA – Mayoritas mata uang utama di kawasan Asia menunjukkan penguatan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (16/5/2025). Rupiah Indonesia menjadi mata uang dengan kinerja terbaik, di tengah pelemahan indeks dolar AS yang dipicu ekspektasi pelonggaran kebijakan moneter oleh bank sentral AS.
Berdasarkan data Refinitiv, hingga pukul 14.11 WIB, rupiah terapresiasi sebesar 0,51% terhadap dolar AS. Diikuti oleh yen Jepang yang naik 0,47%, serta peso Filipina yang menguat 0,42%. Sementara itu, rupee India menjadi satu-satunya mata uang di kawasan yang mengalami pelemahan, dengan koreksi sebesar 0,08%.
Sejalan dengan tren tersebut, indeks dolar AS (DXY) tercatat melemah 0,29% ke level 100,58. Penurunan ini terjadi setelah rilis data ekonomi AS terbaru yang menunjukkan tekanan inflasi mulai mereda, sehingga meningkatkan kemungkinan dilakukannya pemangkasan suku bunga oleh The Federal Reserve (The Fed).
Laporan pada Kamis sebelumnya mengungkapkan bahwa indeks harga produsen AS mengalami penurunan tak terduga pada April. Data ini memperkuat temuan sebelumnya yang menunjukkan bahwa inflasi konsumen juga tumbuh lebih lambat dari perkiraan pasar.
“Karena investor merasa kurang khawatir tentang inflasi, mereka kemudian menaikkan ekspektasi mereka untuk pemangkasan suku bunga Fed sebagai tanggapan,” tulis analis Deutsche Bank dalam catatan mereka.
Tekanan terhadap harga minyak yang turut melemah belakangan ini turut memperkuat pandangan bahwa inflasi global tengah melandai. Berdasarkan hasil survei CME FedWatch Tool, pasar kini memproyeksikan kemungkinan pemangkasan suku bunga acuan The Fed sebesar 50 basis poin (bps), yang akan membawa kisaran suku bunga ke level 3,75–4,00%.
Jika proyeksi tersebut terealisasi, nilai indeks dolar AS diperkirakan akan terus melanjutkan tren penurunannya hingga di bawah angka psikologis 100. Kondisi ini membuka peluang bagi penguatan lebih lanjut pada mata uang negara berkembang, termasuk rupiah.
Namun demikian, pengaruh kebijakan moneter AS terhadap nilai tukar rupiah tidak serta-merta bersifat tunggal. Meskipun secara teori pelemahan dolar AS dapat mendorong arus modal masuk ke Indonesia dan memperkuat rupiah, realisasinya sangat bergantung pada sejumlah faktor domestik dan global.
Pemangkasan suku bunga The Fed dapat diartikan sebagai sinyal melemahnya ekonomi AS, yang bisa menimbulkan kekhawatiran baru di pasar keuangan. Dalam situasi tersebut, investor cenderung lebih berhati-hati dan memilih menunggu kondisi global yang lebih stabil sebelum mengalihkan dananya ke pasar negara berkembang.
Di sisi lain, respons Bank Indonesia (BI) terhadap dinamika global juga memainkan peran penting. Jika BI tidak menyesuaikan kebijakan moneternya secara selaras dengan arah suku bunga global, tekanan terhadap nilai tukar rupiah masih mungkin terjadi.[]
Putri Aulia Maharani