Rusia-Ukraina Mulai Negosiasi Damai, Nasib Dunia Dipertaruhkan

Rusia-Ukraina Mulai Negosiasi Damai, Nasib Dunia Dipertaruhkan

JAKARTA – Upaya diplomatik untuk mengakhiri konflik bersenjata antara Rusia dan Ukraina kembali digelar. Untuk pertama kalinya dalam lebih dari tiga tahun, perwakilan dari kedua negara akan bertemu secara langsung di Istana Dolmabahçe, Istanbul, Turki, pada Jumat (16/5/2025). Pertemuan ini berlangsung di tengah meningkatnya tekanan internasional, terutama dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang mendesak dihentikannya perang terburuk di Eropa sejak Perang Dunia II.

Pertemuan tersebut menjadi sinyal adanya kemajuan dalam upaya perdamaian, mengingat terakhir kali kedua pihak melakukan negosiasi langsung adalah pada Maret 2022, saat invasi Rusia ke Ukraina baru memasuki tahap awal. Namun, harapan akan tercapainya kesepakatan penting kembali diragukan. Presiden Trump menyatakan bahwa terobosan signifikan hanya akan mungkin terjadi jika ia dapat berbicara langsung dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin.

Menurut informasi dari Kementerian Luar Negeri Turki yang dikutip oleh Reuters, rangkaian pertemuan akan dimulai dengan dialog antara pejabat Turki, Amerika Serikat, dan Ukraina pada pukul 07.45 GMT (14.45 WIB), disusul pertemuan antara delegasi Rusia, Ukraina, dan Turki pada pukul 09.30 GMT (16.30 WIB).

Sebelumnya, Presiden Putin mengusulkan agar pembicaraan damai digelar di Turki, namun ia menolak hadir secara langsung. Sebagai gantinya, Moskow mengutus tim perunding yang dipimpin oleh penasihat Kremlin, Vladimir Medinsky. Delegasi Rusia juga mencakup wakil menteri pertahanan, wakil menteri luar negeri, serta kepala dinas intelijen militer (GRU).

Sementara itu, delegasi Ukraina dipimpin oleh Menteri Pertahanan Rustem Umerov. Ia didampingi oleh wakil kepala dinas intelijen Ukraina, wakil kepala staf umum militer, serta wakil menteri luar negeri.

Ketidakhadiran Putin menuai kritik dari Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky. Ia menyebut bahwa langkah tersebut mencerminkan ketidakseriusan Rusia dalam menyudahi perang.

“Keputusan Putin untuk tidak hadir dan hanya mengirim tim dekoratif menunjukkan bahwa dia tidak berniat sungguh-sungguh mengakhiri perang ini,” kata Zelensky dalam pernyataannya.

Pernyataan ini dibalas oleh pihak Rusia yang menuduh Ukraina mempolitisasi perundingan dan menyebut pertemuan tersebut sebagai kelanjutan dari dialog Istanbul yang berlangsung pada awal konflik.

Namun, situasi di lapangan saat ini jauh berbeda dibandingkan tiga tahun lalu. Ukraina kini berada dalam posisi yang lebih kuat dan menolak keras syarat-syarat dari Moskow yang dinilai tidak masuk akal. Beberapa tuntutan Rusia yang ditolak antara lain pemangkasan besar kekuatan militer Ukraina, penyerahan wilayah, serta pembatalan niat untuk bergabung dengan NATO.

Rusia, yang kini telah menguasai hampir 20 persen wilayah Ukraina, tetap bersikukuh pada tuntutan lamanya. Mereka meminta pengakuan atas aneksasi wilayah, penolakan Ukraina terhadap keanggotaan NATO, dan jaminan bahwa Kyiv akan bersikap netral secara permanen.

Pemerintah Ukraina menyatakan bahwa menerima syarat-syarat tersebut sama dengan menyerah tanpa perlawanan. Sebagai gantinya, Kyiv menuntut adanya jaminan keamanan jangka panjang dari negara-negara besar, khususnya Amerika Serikat.

Dengan perbedaan pandangan yang tajam dan belum adanya konsensus atas isu-isu utama, masa depan perundingan ini masih penuh ketidakpastian. Namun, kehadiran para delegasi di Istanbul tetap dianggap sebagai langkah awal yang penting menuju penyelesaian konflik secara damai.[]

Putri Aulia Maharani

Internasional