MANILA – Ketegangan di wilayah Laut China Selatan kembali meningkat setelah dua kapal penelitian milik Filipina mendapat serangan meriam air dari kapal Penjaga Pantai China pada Rabu (22/5). Insiden tersebut terjadi di sekitar pulau Thitu atau Pagasa, sebuah wilayah yang diklaim oleh Filipina dan berada di dekat Sandy Cay, gugusan pasir yang kerap menjadi titik gesekan antara kedua negara.
Dalam pernyataan resminya, Biro Perikanan Filipina menjelaskan bahwa kapal-kapal tersebut tengah melakukan riset ilmiah kelautan ketika gangguan dari pihak China terjadi. “Gangguan agresif penjaga pantai China terjadi saat dua kapal Filipina sedang melakukan penelitian ilmiah kelautan rutin di gundukan pasir putih tandus yang terletak di antara pulau Thitu dan pangkalan buatan China di Subi Reef,” tulis mereka seperti dikutip dari The Independent, Jumat (23/5/2025).
Tim ilmiah Filipina disebut sedang mengumpulkan sampel pasir dari Sandy Cay ketika kapal Penjaga Pantai China mendekat. Salah satu kapal China, yang berukuran lebih besar, melepaskan tembakan meriam air dan dua kali menyerempet kapal Filipina. Serangan itu menyebabkan kerusakan pada haluan kiri dan cerobong asap kapal, serta membahayakan nyawa awak sipil di dalamnya.
China membela tindakannya dengan menuduh kapal Filipina telah memasuki wilayah mereka secara ilegal dan mendarat di Sandy Cay tanpa izin dari Beijing. Dalam pernyataan resminya, pihak China mengatakan, “Tindakan Filipina secara serius melanggar kedaulatan teritorial China dan merusak perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan.”
Amerika Serikat, sekutu dekat Filipina, turut mengecam aksi agresif China. Duta Besar AS untuk Filipina, MaryKay Carlson, menyatakan keprihatinannya atas insiden tersebut. “Tindakan agresif penjaga pantai China terhadap misi sipil yang sah di dekat Sandy Cay secara sembrono membahayakan nyawa dan mengancam stabilitas regional,” tulis Carlson melalui akun X resminya.
Laut China Selatan merupakan jalur vital perdagangan dunia dan diyakini menyimpan cadangan besar sumber daya alam, termasuk minyak dan gas. Selain Filipina dan China, wilayah ini juga diklaim sebagian oleh negara-negara seperti Vietnam, Malaysia, Brunei, dan Taiwan.
China bersikeras mempertahankan klaimnya atas sekitar 90 persen wilayah laut tersebut melalui konsep “sembilan garis putus-putus” yang mencakup area seluas 3,5 juta kilometer persegi. Beijing bahkan dilaporkan telah membangun kota di Kepulauan Paracel, bernama Shansa, sebagai bagian dari penguatan klaim tersebut.
Ketegangan yang terus meningkat ini dikhawatirkan dapat memicu konflik terbuka, apalagi dengan keterlibatan negara-negara besar seperti Amerika Serikat yang secara aktif mengirim armadanya ke kawasan tersebut untuk menjaga prinsip kebebasan navigasi dan hukum laut internasional.[]
Putri Aulia Maharani