JAKARTA – Aksi preman yang meresahkan masyarakat bukanlah hal baru. Fenomena ini sudah terjadi sejak ratusan tahun silam, meski dengan sebutan yang berbeda. Pada masa kolonial, para pelaku kekerasan jalanan dikenal sebagai jago, dan istilah preman sendiri baru dikenal pada abad ke-17, berasal dari bahasa Belanda vrijman, yang berarti “orang bebas”.
Salah satu catatan kelam terkait premanisme terjadi di Jawa Timur pada tahun 1901. Serangkaian perampokan brutal menargetkan rumah-rumah orang kaya, terutama di wilayah Purwodadi, Magetan, hingga Ngawi.
● Aksi Sadis dan Terencana
Laporan surat kabar Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië tertanggal 15 Oktober 1901 mengungkapkan bagaimana sekelompok preman menyerang kediaman seorang pengusaha pabrik gula di Purwodadi. Lebih dari lima orang masuk secara paksa, menjebol pagar dan pintu rumah.
Para penghuni rumah diikat, mata mereka ditutup, dan mulut disumpal. Mereka kemudian digiring ke tengah sawah untuk menghindari gangguan saat proses penjarahan berlangsung. Sekitar 400 gulden dijarah dari rumah tersebut. Jika dikonversi dengan harga emas saat ini (sekitar Rp1,8 juta per gram), maka kerugian tersebut setara dengan sekitar Rp360 juta.
Di wilayah Magetan, koran De Locomotief pada 1 Oktober 1901 melaporkan kejadian serupa. Gerombolan berjumlah hingga 20 orang melakukan perampokan brutal terhadap pemilik tanah dan pengusaha kaya. Korban disiksa, bahkan ada yang dibungkus dalam tikar dan diikat agar tidak dapat melawan.
Tidak hanya menyerang rumah mewah, para preman juga membegal pedagang yang sedang menuju pasar dan sempat menguasai stasiun Ngawi, yang saat itu menyimpan dana negara dalam jumlah besar.
●Polisi Tak Berdaya, Warga Dicekam Ketakutan
Maraknya aksi kekerasan ini membuat masyarakat setempat hidup dalam ketakutan. Sayangnya, aparat keamanan kolonial saat itu tidak mampu mengatasi situasi.
Menurut sejarawan Ong Hok Ham dalam bukunya Madiun dalam Kemelut Sejarah (2018), kekacauan ini berkaitan erat dengan pemecatan Brotodiningrat dari jabatannya sebagai Bupati Madiun. Selama menjabat, Brotodiningrat memelihara jaringan jago untuk menjaga ketertiban, karena aparat resmi dianggap tak cukup efektif menangani gangguan di tingkat akar rumput.
“Brotodiningrat adalah pemimpin tidak resmi dari jaringan pengamanan yang terdiri atas mantan narapidana dan kriminal. Ia lebih berkuasa dari polisi manapun,” tulis Ong.
Setelah ia diberhentikan dari jabatan bupati, para jago yang sebelumnya berada di bawah kendalinya kehilangan figur pengendali. Tanpa pengawasan, mereka bergerak liar dan memicu gelombang kejahatan yang mengguncang Madiun dan sekitarnya. Peristiwa ini kemudian dikenang sebagai Peristiwa Brotodiningrat, salah satu episode tergelap dalam sejarah keamanan daerah tersebut.[]
Putri Aulia Maharani