Fenomena Antrean Lowongan Kerja di RI, Jepang Melihat dengan Iri

Fenomena Antrean Lowongan Kerja di RI, Jepang Melihat dengan Iri

JAKARTA – Tingkat penyerapan lulusan perguruan tinggi di Jepang kembali mencetak rekor. Per 1 April 2025, sebanyak 98% lulusan Maret 2025 telah memperoleh pekerjaan. Angka ini hanya terpaut 0,1 persen dari rekor tertinggi sepanjang masa. Sebaliknya, di Indonesia, ribuan lulusan baru masih berjuang mencari pekerjaan dan menghadapi risiko penipuan berkedok lowongan kerja.

 

Data Japan Times menunjukkan bahwa tingginya serapan tenaga kerja di Jepang bukan hanya didorong oleh pemulihan ekonomi pascapandemi, tetapi juga karena perusahaan-perusahaan secara aktif mencari tenaga muda akibat kekurangan pekerja. Sistem rekrutmen di Jepang telah terstruktur rapi, dengan mekanisme job matching yang dilakukan langsung oleh universitas bekerja sama dengan industri, bahkan sebelum mahasiswa menyelesaikan studi mereka.

 

Menariknya, tingkat serapan lulusan dari bidang humaniora mencapai 98,2%, mengungguli jurusan sains yang berada di angka 97,3%. Hal ini mencerminkan komitmen industri Jepang dalam melatih tenaga kerja tanpa memprioritaskan latar belakang akademik tertentu.

 

Sebaliknya, Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam menyelaraskan dunia pendidikan dengan kebutuhan industri. Per Mei 2025, Badan Pusat Statistik mencatat sebanyak 842 ribu sarjana belum mendapatkan pekerjaan. Ketimpangan antara ekspektasi lulusan dan kebutuhan industri, yang dikenal sebagai aspirational mismatch, masih menjadi hambatan utama.

 

Di Jakarta, antusiasme pencari kerja tampak dalam gelaran job fair yang diselenggarakan Dinas Tenaga Kerja DKI Jakarta. Namun, semangat tersebut kerap berujung kekecewaan. Tak sedikit pelamar yang justru menjadi korban penipuan berkedok rekrutmen. Modus yang dilakukan antara lain meminta “biaya administrasi” dengan nominal bervariasi, dari puluhan hingga ratusan ribu rupiah.

 

Kisah nyata dialami Andi dan Yudha, dua pencari kerja yang nyaris tertipu di salah satu job fair. Mereka ditawari pekerjaan dengan iming-iming proses cepat, asalkan membayar sejumlah uang. Setelah uang disetor, rekrutmen fiktif itu menghilang tanpa jejak.

 

Pengamat ketenagakerjaan menilai bahwa akar persoalan ini bersifat sistemik. Di Jepang, pemerintah, perguruan tinggi, dan dunia industri bergerak dalam satu ekosistem penciptaan kerja yang terintegrasi. Di Indonesia, ketiga pihak masih berjalan sendiri-sendiri. Kurikulum belum responsif terhadap kebutuhan pasar, perusahaan enggan memberikan pelatihan, sementara pemerintah lebih fokus pada seremonial program ketimbang reformasi menyeluruh.

 

Jika Indonesia ingin memanfaatkan bonus demografi secara optimal, pendekatan berbasis sistem perlu segera diimplementasikan. Inspirasi dari Jepang bukan hanya terletak pada etos kerja, tetapi pada sinergi antarlembaga yang menempatkan lulusan sebagai aset, bukan beban statistik.[]

 

Putri Aulia Maharani

 

 

Nasional