JAKARTA – Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), Ristadi, mengungkapkan bahwa sejumlah besar perusahaan di Indonesia tidak melaporkan kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi kepada asosiasi pengusaha maupun serikat pekerja. Kondisi ini menunjukkan bahwa angka sebenarnya terkait PHK di lapangan kemungkinan jauh lebih tinggi dibandingkan data resmi yang tersedia.
Dalam konferensi pers yang digelar pada Jumat (30/5/2025), Ristadi menyampaikan bahwa terdapat perbedaan signifikan dalam data PHK yang tercatat oleh berbagai lembaga. KSPN sendiri mencatat sekitar 61.000 pekerja terdampak PHK dari Januari hingga April 2025. Sementara itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) melaporkan sekitar 73.000 kasus selama periode Januari hingga Maret 2025. Adapun Kementerian Ketenagakerjaan hanya mencatat 26.455 kasus hingga Mei 2025.
“Terlepas dari data yang berbeda itu, bahwa fakta di lapangan banyak pengusaha, banyak manajemen, di mana ketika perusahaan melakukan PHK, efisiensi, bahkan penutupan pabrik, mereka tidak mau, mereka keberatan untuk di-exposed,” ujar Ristadi.
Menurutnya, alasan utama perusahaan enggan mengumumkan tindakan PHK secara terbuka adalah demi menjaga kepercayaan dari pihak perbankan, pembeli (buyer), serta menjaga citra bisnis mereka di mata publik dan mitra usaha.
“Dengan demikian kami meyakini bahwa jumlah PHK yang sebetulnya terjadi itu jauh lebih besar dari data-data yang kami sebutkan itu,” lanjutnya.
Ristadi juga menyoroti kesulitan dalam memetakan kondisi riil PHK karena banyak perusahaan tidak tergabung dalam asosiasi pengusaha maupun tidak memiliki serikat pekerja di dalamnya. Ia menyebut, dari total angkatan kerja Indonesia yang mencapai sekitar 142 juta orang, hanya sekitar 5 persen di antaranya yang menjadi anggota serikat pekerja. Jumlah ini berkisar antara 3 hingga 4 juta orang, yang mencerminkan keterbatasan cakupan data dari serikat buruh itu sendiri.
“Artinya ada wilayah, ada ceruk kurang lebih sekitar 90 persen yang di luar jangkauan kami, serikat pekerja. Saya kira di APINDO juga mengalami hambatan yang tidak jauh berbeda,” tuturnya.
Lebih lanjut, Ristadi mengkritisi respons pemerintah yang dinilai kurang sigap dalam menanggapi gelombang PHK yang terjadi belakangan ini. Ia juga menyoroti lemahnya sistem pendataan yang digunakan pemerintah, mengingat data resmi dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan angka yang jauh lebih rendah dari kondisi di lapangan.
Untuk itu, ia meminta pemerintah pusat agar mengerahkan sumber daya manusia yang dimiliki, khususnya aparatur Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) yang tersebar di seluruh kabupaten dan kota, guna melakukan pendataan langsung ke sentra-sentra industri.
“Pemerintah kan mempunyai infrastruktur pegawai yang merata di kabupaten–kota di seluruh Indonesia. Jika kemudian itu secara serius digerakkan pemerintah pusat, pegawai-pegawai Disnaker itu turun ke lapangan, ke sentra industri untuk melakukan pendataan, sehingga pemerintah akan mendapatkan data yang jauh lebih besar daripada yang kami umumkan,” pungkas Ristadi.[]
Putri Aulia Maharani