JAKARTA – Harga batu bara dunia kembali melonjak, mencapai level tertinggi dalam tiga bulan terakhir. Berdasarkan data Refinitiv, pada penutupan perdagangan Selasa (17/6/2025), harga batu bara menyentuh angka US$111,5 per ton, meningkat 1,83 persen dibanding hari sebelumnya. Kenaikan ini menandai tren positif lima hari berturut-turut, dengan akumulasi kenaikan mencapai 5,4 persen.
Lonjakan harga ini terjadi di tengah dinamika kebijakan energi global, termasuk dari Amerika Serikat (AS), Jerman, dan Tiongkok. Konflik geopolitik antara Israel dan Iran turut memperkuat sentimen pasar terhadap komoditas energi, termasuk batu bara.
Di Eropa, Jerman dilaporkan akan kembali mengandalkan pembangkit listrik tenaga batu bara akibat rendahnya produksi energi dari pembangkit angin selama kuartal pertama tahun ini. Menurut laporan terbaru, pasokan listrik dari energi terbarukan turun 17 persen—penurunan pertama dalam dua tahun terakhir. Sebagai akibatnya, penggunaan energi fosil meningkat signifikan. Meski demikian, energi angin masih mendominasi bauran listrik Jerman dengan porsi 28 persen, sedikit lebih tinggi dibandingkan batu bara yang mencapai 27 persen.
Sementara itu, di Tiongkok, pemerintah memberikan persetujuan untuk pembangunan pembangkit batu bara baru dengan kapasitas 11 gigawatt (GW) hanya dalam tiga bulan pertama 2025. Angka ini melampaui total persetujuan pada paruh pertama tahun 2024. Walaupun tidak seluruh proyek akan direalisasikan, tren ini menunjukkan bahwa batu bara masih menjadi bagian penting dalam kebijakan energi nasional Tiongkok.
Di sisi lain, AS justru mengalami kemunduran dalam upaya pengembangan energi bersih. Pemerintahan Presiden Donald Trump serta otoritas negara bagian Wyoming menghentikan sebagian besar dukungan terhadap proyek-proyek teknologi penangkapan karbon. Departemen Energi AS bahkan membatalkan pendanaan senilai US$3,7 miliar yang seharusnya digunakan untuk mendukung proyek energi bersih, termasuk pembangunan fasilitas percontohan penangkapan karbon di pembangkit Dry Fork Station.
Kebijakan ini juga mengancam keberlangsungan UU negara bagian seperti House Bill 200 di Wyoming, yang awalnya dirancang untuk mendorong pembangkit listrik batu bara beremisi rendah. Para legislator menyatakan bahwa meskipun konsumen telah membayar biaya tambahan untuk studi kelayakan teknologi, hasil konkret dari kebijakan tersebut belum terlihat.
Kombinasi berbagai faktor ini menyebabkan harga batu bara terus merangkak naik. Di tengah ketidakpastian transisi energi global, komoditas ini tampaknya masih akan menjadi bagian dari lanskap energi dunia untuk waktu yang belum dapat dipastikan.[]
Putri Aulia Maharani