Jepang, ‘Surga’ Merger dan Akuisisi dengan Transaksi Rp3.759 T

Jepang, ‘Surga’ Merger dan Akuisisi dengan Transaksi Rp3.759 T

JAKARTA — Jepang mencatatkan lonjakan signifikan dalam aktivitas merger dan akuisisi (M&A) pada paruh pertama tahun 2025, menjadi pendorong utama pemulihan transaksi bisnis di kawasan Asia. Nilai kesepakatan M&A di Negeri Sakura tercatat mencapai rekor US$232 miliar atau sekitar Rp3.759 triliun, menurut data terbaru yang dirilis lembaga keuangan internasional.

Kebangkitan ini ditopang oleh reformasi tata kelola korporasi yang tengah digencarkan pemerintah Jepang. Upaya tersebut bertujuan untuk meningkatkan efisiensi perusahaan sekaligus mengatasi permasalahan valuasi rendah yang telah lama membayangi pasar domestik Jepang. Selain itu, kebijakan suku bunga rendah yang masih dipertahankan Bank of Japan turut menjaga minat investor terhadap transaksi besar.

“Seruan pemerintah untuk meningkatkan tata kelola perusahaan, termasuk melalui privatisasi anak usaha yang sudah melantai di bursa, telah menciptakan gelombang baru dalam dunia M&A,” ujar Kei Nitta, Kepala Global M&A di Nomura Securities.

Beberapa kesepakatan besar turut menjadi sorotan, seperti akuisisi unit usaha oleh grup Toyota Motor dan Nippon Telegraph and Telephone (NTT) yang masing-masing bernilai US$34,6 miliar dan US$16,5 miliar. Kedua transaksi ini menempati posisi teratas dalam daftar kesepakatan global sepanjang tahun ini.

Di sisi lain, perusahaan-perusahaan Jepang juga terus aktif menjajaki ekspansi internasional di tengah stagnasi pertumbuhan pasar domestik. Lembaga keuangan ternama seperti Dai-ichi Life dan Nomura Holdings telah mengumumkan beberapa aksi korporasi lintas batas senilai miliaran dolar.

Meski demikian, tantangan tetap ada. Ketidakpastian ekonomi global, terutama akibat gejolak geopolitik dan fluktuasi suku bunga internasional, menyebabkan terjadinya ketidaksesuaian valuasi antara pembeli dan penjual. Hal ini meningkatkan risiko kegagalan kesepakatan.

“Dalam beberapa kasus, kesepakatan yang tampak menjanjikan akhirnya batal karena perbedaan ekspektasi terhadap nilai aset dan proyeksi pertumbuhan,” ungkap Atsushi Tatsuguchi dari Mitsubishi UFJ Morgan Stanley Securities.

Kendati begitu, para analis optimistis bahwa tren pertumbuhan M&A di Jepang akan terus berlanjut, seiring dengan meningkatnya minat global terhadap efisiensi operasional dan stabilitas ekonomi Jepang di tengah ketidakpastian dunia.[]

Putri Aulia Maharani

Internasional