JAKARTA — Rusia dilaporkan tengah menyiapkan pelatihan militer khusus bagi Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) China untuk menghadapi sistem persenjataan buatan Amerika Serikat dan NATO. Langkah ini menambah kekhawatiran global di tengah hubungan yang kian renggang antara Moskow, Beijing, dan negara-negara Barat.
Menurut laporan dari Direktorat Intelijen Pertahanan Ukraina yang dikutip Kyiv Post, Rusia akan membuka pusat-pusat pelatihannya bagi sekitar 600 personel militer China. Pelatihan tersebut difokuskan pada spesialis pertahanan udara, operator artileri, tank, serta insinyur militer. Ditegaskan pula bahwa China akan menyerap langsung pengalaman tempur Rusia dari medan perang di Ukraina.
“Kremlin telah memutuskan untuk membagikan pengalaman tempurnya kepada militer China, khususnya yang berkaitan dengan cara menghadapi sistem persenjataan Barat,” ujar seorang sumber intelijen Ukraina.
Meski China mengklaim netral dalam konflik Ukraina, negara-negara anggota NATO menyebut Beijing sebagai “pendukung penting” bagi Moskow. Tuduhan tersebut merujuk pada aliran ekspor China dan dukungan ekonomi yang diyakini menopang kemampuan perang Rusia selama lebih dari tiga tahun terakhir.
Sebagai respons, Uni Eropa telah menjatuhkan sanksi terhadap sejumlah perusahaan asal China yang dituding memasok komponen penting kepada industri pertahanan Rusia. Namun, pemerintah China membantah keterlibatannya dalam penyediaan senjata bagi pihak manapun dan menegaskan bahwa ekspor barang-barang berteknologi ganda diawasi ketat.
Alina Hrytsenko, analis hubungan internasional di Kementerian Pertahanan Ukraina, menyatakan bahwa China masih bergantung pada Rusia untuk teknologi militer strategis, termasuk rudal, kapal selam, dan sistem peperangan elektronik. Ia memperkirakan latihan bersama kedua negara akan terus berlanjut, mencerminkan keinginan Beijing untuk memperkuat kemampuan militernya dengan belajar langsung dari pengalaman tempur Rusia.
Situasi ini terjadi di tengah upaya Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk mengakhiri konflik di Ukraina, yang telah berlangsung selama 40 bulan. Meski Ukraina sebelumnya menyetujui gencatan senjata tanpa syarat, Rusia tetap melancarkan serangan, termasuk serangan udara besar-besaran di ibu kota Kyiv pada awal pekan ini.
Langkah strategis Rusia melatih militer China dianggap sebagai sinyal kuat terhadap blok Barat bahwa kemitraan Moskow-Beijing dalam bidang pertahanan kian solid. Para pengamat menilai bahwa eskalasi kerja sama ini dapat memperkuat poros kekuatan Timur di tengah ketegangan geopolitik global yang belum menunjukkan tanda-tanda mereda.[]
Putri Aulia Maharani