JAKARTA — Amerika Serikat (AS), sebagai salah satu negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia, kini menghadapi tekanan ekonomi yang kian nyata. Dampak kebijakan tarif impor yang diterapkan Presiden Donald Trump mulai terasa secara luas, tidak hanya di sektor industri, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Salah satu imbasnya adalah meningkatnya inflasi serta penurunan daya beli warga.
Mengutip laporan Associated Press (AP), inflasi di AS pada Mei 2025 tercatat mencapai 2,3 persen secara tahunan (year-on-year), meningkat dari bulan sebelumnya yang berada di angka 2,1 persen. Adapun inflasi inti yang tidak memasukkan harga makanan dan energi yang cenderung fluktuatif naik menjadi 2,7 persen dibandingkan Mei tahun lalu. Capaian ini berada di atas target Federal Reserve (The Fed) yang menetapkan ambang inflasi sebesar 2 persen.
Departemen Perdagangan AS melaporkan bahwa pengeluaran konsumen mengalami kontraksi sebesar 0,1 persen, menjadi penurunan pertama sejak Januari. Sementara itu, pendapatan masyarakat menurun 0,4 persen. Penurunan pendapatan ini sebagian disebabkan oleh berakhirnya penyesuaian tunjangan Jaminan Sosial yang sebelumnya mengalami kenaikan pada Maret dan April.
Dalam laporan yang sama disebutkan bahwa perlambatan ekonomi ini sebagian besar dipengaruhi oleh kebijakan tarif Presiden Trump, yang meningkatkan harga sejumlah barang seperti peralatan rumah tangga dan perangkat elektronik. Kenaikan harga ini membuat warga mengurangi pengeluaran, termasuk untuk kebutuhan rekreasi, perjalanan, dan layanan hotel.
“Karena konsumen tidak dalam kondisi yang cukup kuat untuk mengatasi (kenaikan harga) tersebut, mereka mengurangi pengeluaran untuk rekreasi, perjalanan, hotel, hal-hal semacam itu,” ujar Luke Tilley, Kepala Ekonom Wilmington Trust.
Data juga menunjukkan bahwa belanja konsumen hanya naik 0,5 persen pada kuartal pertama 2025 dan tetap lesu pada awal kuartal kedua. Sementara itu, pengeluaran untuk jasa hanya meningkat 0,1 persen pada Mei, kenaikan bulanan paling kecil dalam lebih dari empat tahun terakhir. Harga tiket pesawat, makanan di restoran, dan akomodasi hotel semuanya tercatat turun pada periode yang sama.
Kendati demikian, beberapa ekonom menilai dampak tarif Trump terhadap inflasi secara keseluruhan masih tergolong terbatas. Hal ini antara lain disebabkan oleh strategi perusahaan yang mengimpor barang dalam jumlah besar sebelum bea masuk diberlakukan penuh. Sejumlah produk yang saat ini dijual di pasar domestik juga masih berasal dari stok lama yang belum dikenai tarif tinggi.
Namun demikian, tanda-tanda perubahan mulai terlihat. Salah satunya datang dari perusahaan ritel besar seperti Nike, yang memperkirakan tarif impor akan membebani keuangan perusahaan hingga US$1 miliar tahun ini. Hal senada disampaikan Walmart yang memperingatkan bahwa pelanggan akan segera merasakan kenaikan harga, terutama menjelang musim belanja sekolah.
Sebagian besar barang impor AS merupakan bahan baku dan suku cadang industri, yang artinya beban tarif baru akan terasa bertahap melalui biaya produksi dan harga jual ke konsumen. Menurut analisis JPMorgan, banyak perusahaan sejauh ini menahan diri untuk tidak menaikkan harga agar tetap kompetitif, namun strategi ini bisa menekan margin keuntungan dan mengganggu proses perekrutan tenaga kerja baru.
Di tengah situasi ini, Presiden Trump kembali melontarkan kritik terhadap kebijakan Federal Reserve. Ia menuding lembaga tersebut lamban dalam menurunkan suku bunga dan menyebut Ketua The Fed Jerome Powell sebagai “dungu dan bodoh.” Namun, Powell dalam kesaksiannya di hadapan Kongres menyatakan bahwa The Fed masih menunggu perkembangan data ekonomi sebelum mengambil keputusan terkait suku bunga acuan.[]
Putri Aulia Maharani