SAMARINDA – Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Samarinda mendesak PT Pertamina Persero Unit Pemasaran VI Terminal BBM Samarinda untuk mengusut tuntas dugaan praktik pengoplosan bahan bakar minyak (BBM) yang merugikan masyarakat. Tuntutan itu disuarakan dalam aksi unjuk rasa yang digelar pada Selasa (8/4/2025), sebagai bentuk protes atas kualitas BBM yang dianggap menimbulkan kerusakan kendaraan.
Aksi tersebut juga diwarnai dengan keluhan dari warga yang merasakan langsung dampak buruk BBM yang diduga telah dioplos. Salah satunya disampaikan oleh Yusri, pemilik usaha jasa servis AC di Samarinda, yang mengaku kendaraan operasionalnya rusak setelah mengisi BBM.
“Setelah isi bensin, mobil saya tidak bisa dipakai untuk kerja. Saya harus keluarkan Rp 500 ribu untuk perbaikan, belum lagi biaya kuras tangki,” ujar Yusri sambil menunjukkan bukti pembayaran. Ia juga mengeluhkan kehilangan dua hari kerja dan tetap harus membayar upah anak buahnya.
PMII Samarinda dalam pernyataan sikapnya menuntut tiga hal kepada Pertamina:
-
Evaluasi kinerja pengelola Pertamina Patra Niaga Fuel Terminal Samarinda Group.
-
Pertanggungjawaban Pertamina atas dugaan pengoplosan Pertalite menjadi Pertamax.
-
Penelusuran dan pengadilan terhadap oknum-oknum yang terlibat dalam praktik pengoplosan BBM.
Aksi ini dipicu oleh terungkapnya kasus korupsi pengelolaan minyak mentah dan produk kilang di tubuh Pertamina yang sedang ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung) RI. Kasus tersebut diperkirakan merugikan negara hingga Rp 193,7 triliun, dan berpotensi membengkak menjadi Rp 968,5 triliun jika dihitung sejak 2018 hingga 2023.
Pemerintah dan Pertamina Dinilai Gagal Bangun Kepercayaan Publik
Terkait keresahan masyarakat, pihak Kepolisian Samarinda telah melakukan pemeriksaan terhadap SPBU dan menyatakan bahwa tidak ditemukan kandungan air dalam tangki timbun. Sementara itu, Gubernur Kalimantan Timur, Rudy Mas’ud, turut meninjau SPBU Karang Asam dan memastikan bahwa BBM telah disalurkan sesuai dengan standar Ditjen Migas.
“Semua bahan bakar yang disalurkan sesuai dengan SOP yang berlaku,” tegas Rudy dalam keterangannya kepada media, Senin (7/4/2025).
Namun, penjelasan tersebut dinilai belum cukup menenangkan publik. Pengamat komunikasi dari Universitas Mulawarman, Silviana Purwanti, menilai bahwa pemerintah dan lembaga terkait telah gagal menjalankan komunikasi krisis secara efektif.
“Ketika masyarakat mengeluh lalu dibalas dengan pernyataan ‘semuanya sudah sesuai standar’ tanpa penjelasan teknis atau transparansi investigasi, publik bisa makin tidak percaya,” kata Silviana.
Ia menegaskan pentingnya komunikasi dua arah dan keterbukaan dalam situasi krisis. Menurutnya, pendekatan defensif dan minim empati hanya akan memperbesar kesenjangan antara otoritas dan masyarakat.
“Pernyataan Gubernur seharusnya bisa menjadi penenang, bukan menambah keraguan,” lanjutnya. Ia menyarankan agar pemerintah melibatkan masyarakat dalam proses pencarian solusi dan membuka ruang dialog inklusif.
Silviana mengingatkan bahwa kepercayaan publik bisa runtuh bukan karena niat buruk dari otoritas, tetapi karena kurangnya kejelasan dan ketulusan dalam menyampaikan informasi.
“Ke depan, pendekatan komunikasi krisis harus lebih transparan, empatik, dan responsif. Bukan hanya menyampaikan data, tapi juga menunjukkan niat baik untuk menyelesaikan masalah bersama,” pungkasnya.[]
Putri Aulia Maharani