JAKARTA – Indonesia Darurat TBC, Peran Komunitas dan Harapan Vaksin Baru Jadi Kunci Penanggulangan
Indonesia saat ini tengah menghadapi tantangan besar dalam upaya penanggulangan penyakit tuberkulosis (TBC). Berdasarkan data yang dirangkum dari berbagai sumber termasuk Global TB Report 2023, jumlah kasus TBC di Tanah Air diperkirakan mencapai 1.090.000 kasus per tahun. Capaian ini menempatkan Indonesia di peringkat kedua dunia dalam jumlah kasus TBC terbanyak, tepat di bawah India.
Tingginya angka tersebut menjadi peringatan keras bagi sistem kesehatan nasional. Pemerintah pun terus mengintensifkan berbagai strategi penanggulangan, mulai dari deteksi dini, edukasi masyarakat, hingga pengobatan yang tepat sasaran dan tuntas.
Salah satu pendekatan yang kini dijalankan adalah pelibatan komunitas dalam pengendalian TBC. Program ini menggerakkan peran kader masyarakat yang dikenal sebagai ‘Pasukan Putih’—gabungan tenaga sukarela dari berbagai unsur, termasuk kelompok ibu-ibu PKK. Mereka diberdayakan untuk menyosialisasikan pentingnya pemeriksaan bagi orang-orang yang pernah melakukan kontak erat dengan penderita TBC, sekaligus mendampingi pasien dalam menjalani pengobatan.
Pasien TBC harus menjalani pengobatan selama sedikitnya enam bulan, dengan konsumsi kombinasi empat hingga lima jenis obat. Ketidakteraturan dalam pengobatan bukan hanya memperparah kondisi pasien, melainkan juga berisiko menimbulkan resistensi obat.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menegaskan pentingnya kedisiplinan pasien dalam mengikuti seluruh rangkaian terapi. Ia menilai, pengawasan oleh kader komunitas sangat penting untuk menjamin keberhasilan pengobatan serta menekan laju penularan penyakit di masyarakat.
Di Jakarta, Pemerintah Provinsi telah menetapkan 274 Rukun Warga (RW) sebagai zona siaga TBC. Langkah ini merupakan bagian dari strategi lokal untuk mempercepat penanganan kasus dan mengurangi tingkat kematian akibat TBC di wilayah padat penduduk.
Tantangan pengendalian TBC tidak hanya soal pengobatan, tetapi juga menyangkut deteksi dini. Masih banyak kasus yang luput dari pendataan akibat minimnya kesadaran atau akses layanan kesehatan. Hal ini membuat proses penanggulangan lebih kompleks, sebab pasien yang tidak terdiagnosis berpotensi menjadi sumber penularan bagi lingkungan sekitarnya.
Secara nasional, sejumlah provinsi seperti Jawa, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan tercatat sebagai wilayah dengan prevalensi kasus tertinggi. Dengan jumlah penduduk yang melebihi 270 juta jiwa, Indonesia menghadapi beban yang besar dalam mencegah penyebaran penyakit ini. Bahkan, TBC kini menjadi salah satu dari sepuluh penyebab kematian tertinggi akibat penyakit menular di Indonesia.
Meski demikian, secercah harapan mulai terlihat dari dunia riset dan pengembangan medis. Upaya pengembangan vaksin baru terus dilakukan dan diharapkan mampu memberikan perlindungan yang lebih efektif dibanding vaksin konvensional. Vaksin ini nantinya diharapkan menjadi pelengkap penting dalam menekan angka kasus serta mengurangi risiko kematian akibat TBC.
Namun, sebelum vaksin tersedia dan dapat diakses secara luas oleh masyarakat, penguatan sistem pencegahan dan pengobatan tetap menjadi pilar utama dalam menghadapi krisis TBC. Sinergi antara pemerintah, tenaga kesehatan, dan masyarakat menjadi kunci dalam menurunkan beban penyakit ini di Indonesia.[]
Putri Aulia Maharani