SUNGAI KAPIH– Puluhan warga, mayoritas ibu rumah tangga, mengantre panjang di sebuah pangkalan gas yang berlokasi di Jalan Sungai Kapih, RT 3, Kelurahan Sungai Kapih, Kecamatan Sambutan, pada Kamis (6/2/2025) sore. Mereka berusaha mendapatkan tabung gas elpiji 3 kilogram (kg) atau yang lebih dikenal sebagai “gas melon,” yang belakangan semakin sulit ditemukan di pasaran.
Antrean yang mengular mencerminkan betapa sulitnya memperoleh gas bersubsidi tersebut. Beberapa warga tampak lelah, ada yang mengipas-ngipas wajahnya dengan tangan, sementara lainnya berusaha tetap berdiri meskipun kaki mulai pegal.
Di tengah antrean, keluhan serupa terus terdengar. Harga gas melon di tingkat pengecer melonjak drastis, sementara pasokan di pangkalan resmi sering kali terbatas. Seniwati (41), seorang ibu rumah tangga, mengaku sudah dua pekan terakhir berusaha mencari gas dengan harga terjangkau.
“Saya sudah keliling ke banyak tempat, tetapi kalaupun ada, harganya sangat mahal. Saya pernah membeli di warung seharga Rp45 ribu per tabung,” ungkapnya. Namun, hari itu ia merasa sedikit beruntung karena mendapatkan gas dengan harga resmi, yakni Rp18 ribu per tabung.
Lain halnya dengan Marhan (47), seorang buruh harian yang mengaku sudah tiga hari berburu gas tanpa hasil.
“Terpaksa beli di warung seharga Rp50 ribu karena stok di rumah benar-benar sudah habis,” ujarnya dengan nada pasrah. Begitu mendengar ada pangkalan yang baru saja mendapat pasokan, ia langsung datang dan mengantre, berharap mendapatkan harga yang lebih terjangkau.
Namun, tidak semua warga beruntung mendapatkan gas melon. Beberapa yang berada di bagian belakang antrean hanya bisa menatap pasrah saat stok mulai menipis. Hingga akhirnya, seorang petugas pangkalan mengumumkan bahwa persediaan telah habis.
“Bingung kalau sudah begini. Mau cari ke mana lagi? Padahal saya sangat butuh,” ujar Rinda (32) dengan wajah penuh kekecewaan.
Sejumlah warga juga menyoroti harga gas yang melambung tinggi di tingkat pengecer. Joni (50), seorang pedagang nasi uduk, mengaku usahanya hampir lumpuh akibat sulitnya mendapatkan gas.
“Saya butuh gas setiap hari untuk berjualan. Kalau harganya sampai Rp50 ribu, saya harus jual nasi dengan harga berapa? Pelanggan pasti kabur,” katanya.
Di tempat lain, Yanti (39) menyayangkan kurangnya pengawasan terhadap distribusi gas bersubsidi.
“Gas melon ini kan subsidi untuk masyarakat kecil, tapi kenapa harganya bisa naik sampai segitu? Masa kami harus terus kesulitan hanya untuk membeli gas?” keluhnya.
Sementara itu, pemilik pangkalan, Hj. Rita, menjelaskan bahwa pangkalannya menerima 120 tabung gas elpiji 3 kg dalam satu kali pengiriman. Dalam seminggu, pangkalannya mendapatkan pasokan sebanyak dua kali.
“Yang datang bukan hanya warga dari Kelurahan Sungai Kapih, tetapi juga dari daerah lain. Itu sebabnya stok sering kali kurang dan cepat habis,” jelasnya.
DPRD Samarinda Soroti Masalah Distribusi Gas Melon
Persoalan kelangkaan gas elpiji 3 kg di Samarinda kembali menjadi sorotan. Meskipun kuota yang disediakan oleh pemerintah dianggap cukup, masyarakat tetap mengalami kesulitan mendapatkan gas bersubsidi.
Ketua Komisi II DPRD Samarinda, Iswandi, menyebut bahwa berdasarkan data dari PT Pertamina Patra Niaga, kuota elpiji bersubsidi di Samarinda tahun lalu mencapai 29.405 metrik ton atau sekitar 9.801.000 tabung. Dengan jumlah tersebut, seharusnya kebutuhan warga dapat terpenuhi.
“Pertamina memastikan bahwa distribusi tidak mengalami kendala selain pangkalan yang tutup saat hari libur. Namun, kepanikan masyarakat yang menyebabkan pembelian berlebihan (panic buying) menjadi salah satu faktor utama kelangkaan ini,” ungkapnya, Kamis (6/2).
Kondisi ini semakin diperparah dengan kebijakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang sempat melarang pengecer menjual gas bersubsidi mulai 1 Februari 2025. Meskipun aturan tersebut telah dicabut oleh Presiden Prabowo Subianto pada 3 Februari, kepanikan masyarakat tetap berlanjut, menyebabkan lonjakan permintaan yang tidak terkendali.
DPRD juga menyoroti masih banyaknya penggunaan gas melon oleh pihak yang tidak berhak.
“Seharusnya gas bersubsidi hanya digunakan oleh masyarakat berpenghasilan rendah dan usaha kecil dengan omzet maksimal Rp800 ribu per hari. Namun, masih ditemukan usaha dengan omzet Rp3-4 juta per hari yang tetap menggunakan gas subsidi,” tegas Iswandi.
Selain itu, praktik penjualan gas dengan harga di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) menjadi perhatian. Banyak pangkalan dan pengecer yang menjual gas melon dengan harga mencapai Rp30 ribu hingga Rp35 ribu per tabung.
“Keuntungan pengecer memang kecil, tetapi ada pihak tertentu yang mengambil keuntungan lebih besar dalam distribusi ini. Ini akan kami telusuri lebih lanjut,” lanjutnya.
Ketua Info Taruna Samarinda (ITS), Joko Iswanto, menegaskan bahwa pihaknya terus berupaya menanggapi keluhan masyarakat terkait kelangkaan gas melon. Ia pun meminta DPRD Samarinda untuk menggelar rapat dengar pendapat (RDP) guna mencari solusi konkret atas permasalahan ini.
“Kami ingin mencari akar masalah yang membuat masyarakat, terutama ibu-ibu, kesulitan mendapatkan hak mereka,” tuturnya.
Pihaknya juga ingin meninjau kembali efektivitas program Kartu Tepat Sasaran yang diterapkan oleh Pemerintah Kota Samarinda. Pasalnya, kebijakan tersebut dinilai masih belum cukup dalam memastikan distribusi gas subsidi yang merata.
“Saat ini, baru sekitar 404 pangkalan yang bekerja sama dalam program ini, sementara masih banyak pangkalan lain yang belum terlibat. Ke depan, kami akan mendorong lebih banyak pangkalan untuk ikut serta agar hak masyarakat benar-benar terpenuhi,” pungkasnya.[]
Putri Aulia Maharani