MANGUPURA – Insiden baku hantam yang terjadi di hotel The Apurva Kempinski Nusa Dua, Bali, antara sesama tamu asing berbuntut panjang. Lelaki asal Australia, Ali Shahrouk, diduga ditetapkan sebagai tersangka secara paksa, sementara wanita asal Jerman, Christin Steinrode Tille, diduga mendapatkan perlakuan yang lebih menguntungkan.
Merasa tidak mendapat keadilan, tim kuasa hukum Ali melaporkan beberapa penyidik Polsek Kuta Selatan ke Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Bali atas dugaan pelanggaran kode etik dan prosedur pada Senin, 3 Februari 2025.
Ketua tim kuasa hukum Isaka Wangi Racana (Iswara) Law Firm, I Ketut Parikesit, S.T., S.H., menegaskan bahwa kliennya keberatan dengan cara polisi menangani kasus ini.
“Dalam perkara ini, klien kami yang juga korban merasa tidak puas dengan pelayanan di Polsek Kuta Selatan. Dia diduga ditersangkakan secara paksa,” ujar Parikesit dalam konferensi pers di Denpasar, Sabtu (8/2/2025).
Kronologi Kejadian
Peristiwa ini terjadi pada Rabu, 29 Januari 2025, sekitar pukul 13.30 WITA, ketika Ali sedang bermain di kolam renang bersama dua anaknya yang masih balita di Hotel The Apurva Kempinski Nusa Dua. Saat itu, iparnya, Samer Bekdache, merekam aktivitas mereka menggunakan dua ponsel.
Tiba-tiba, Christin Steinrode Tille, yang diduga dalam kondisi mabuk, mendekati mereka dan mendorong Samer Bekdache hingga terjatuh ke dalam kolam renang. Namun, karena kehilangan keseimbangan, Christin juga ikut tercebur.
Ketika berhasil naik dari kolam, Christin diduga semakin agresif dan menyerang Ali dengan mencakar dada kirinya. Ali yang berusaha melindungi anak-anaknya, secara refleks menangkis cakaran tersebut, namun tangannya mengenai wajah Christin.
Ali kemudian menggendong kedua anaknya dan berjalan menjauh, tetapi Christin tetap mengejarnya dan mengancam akan membunuhnya.
“Kamu tahu siapa saya? Ayah saya orang berpengaruh, saya akan bunuh kamu!” ujar Christin dalam bahasa Inggris, sebagaimana dikutip oleh kuasa hukum Ali.
Merasa dirugikan, Ali dan iparnya pergi ke Polsek Kuta Selatan untuk melaporkan kejadian ini. Polisi awalnya menyarankan mediasi, tetapi keduanya akhirnya mengurungkan niat membuat laporan.Keesokan harinya, Christin Steinrode Tille langsung meninggalkan Indonesia, sementara Ali juga berencana kembali ke negaranya pada 30 Januari 2025.
Saat dalam perjalanan ke Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, mobil Ali diduga dibuntuti oleh polisi. Ketika ia berhenti di tempat penukaran uang, polisi langsung menangkapnya dan menggiringnya ke Polsek Kuta Selatan.
Menurut kuasa hukum Ali, ia ditahan selama lebih dari 24 jam tanpa penjelasan jelas. Lebih lanjut, suami Christin, Timm Miller, tiba-tiba datang ke Polsek Kuta Selatan dan melaporkan Ali atas dugaan penganiayaan terhadap istrinya, dengan nomor laporan LP/B/20/I/2025/SPKT/Polsek Kuta Selatan/Polresta Denpasar/Polda Bali.
Ali kemudian ingin membuat laporan balik atas penyerangan yang dialaminya, tetapi tidak diizinkan oleh penyidik Polsek Kuta Selatan dengan alasan bahwa dirinya sudah menjadi terlapor. Polisi justru menyarankan agar Ali membuat laporan di Polresta Denpasar atau Polda Bali, tetapi melarangnya meninggalkan Polsek.
“Ini sangat aneh! Bagaimana mungkin dia diminta membuat laporan di tempat lain, tapi juga dilarang meninggalkan Polsek?” tegas kuasa hukum Ali.Lebih janggal lagi, Ali baru diperiksa sebagai saksi pada 31 Januari 2025 pukul 23.00 WITA, tetapi saat itu juga langsung diperiksa sebagai tersangka tanpa adanya gelar perkara dan surat penetapan tersangka.
Ketika kuasa hukum meminta surat penetapan tersangka, penyidik tidak mampu menunjukkannya, sehingga mereka menolak mendampingi pemeriksaan.Anehnya, Surat Perintah Penangkapan terhadap Ali bertanggal 31 Januari 2025, padahal ia telah ditangkap dan ditahan sejak 30 Januari 2025.
Kuasa hukum Ali menyatakan bahwa penetapan tersangka ini tidak didukung bukti yang cukup. Christin tidak pernah diperiksa sebagai saksi korban, dan tidak ada visum yang membuktikan luka-luka yang dialaminya.
Bahkan, Christin bisa bepergian kembali ke negaranya tanpa harus didampingi petugas medis, yang berarti tidak ada luka serius.
“Jika benar ada penganiayaan berat, seharusnya dia tidak bisa bepergian begitu saja. Ini semakin menunjukkan bahwa pengenaan Pasal 351 KUHP terhadap klien kami tidak memiliki dasar,” ujar Parikesit.
Oleh karena itu, pihak kuasa hukum meminta Bidang Propam Polda Bali segera turun tangan untuk menyelidiki dugaan pelanggaran etik oleh penyidik Polsek Kuta Selatan.
Ketika dikonfirmasi, Kabid Humas Polda Bali, Kombes Pol Ariasandy, S.I.K., menolak memberikan komentar lebih lanjut dan mengatakan bahwa pihaknya masih akan mengecek laporan yang masuk ke Propam serta meminta klarifikasi dari Polsek Kuta Selatan.
“Saya akan cek dulu ke Bidpropam dan tanyakan ke Polsek,” ujar Kombes Ariasandy.
Hingga kini, kasus ini masih dalam proses investigasi lebih lanjut.[]
Putri Aulia Maharani