BEKASI – Sebuah rencana kegiatan siswa SMK Karya Pembaharuan, Kabupaten Bekasi, menuai sorotan publik usai seorang wali murid mengadukan hal itu kepada Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Aduan tersebut disampaikan langsung oleh seorang ibu yang merasa keberatan dengan biaya study tour ke Bali, yang disebut mencapai Rp 5 hingga 6 juta.
Aduan itu disampaikan saat Dedi melakukan kunjungan ke wilayah Kabupaten Bekasi pada Kamis (24/04/2025). Percakapan antara Dedi dan ibu tersebut direkam dan diunggah ke akun Instagram pribadi miliknya, @dedimulyadi71. Dalam video tersebut, Dedi tampak membuka dialog dengan menanyakan sekolah anak dari ibu yang mengadu.
“Ini saya lagi di Bekasi, ini salah satu warga yang mengadu, SMK mana?” tanya Dedi.
Ibu yang mengenakan pakaian katun rayon tersebut menjawab bahwa anaknya bersekolah di SMK Karya Pembaharuan. Ia juga mempertanyakan kebijakan Dedi terkait larangan study tour ke luar kota, yang sebelumnya pernah diumumkan.
“Kami tetap melakukan perjalanan ke Bali, Pak. Bagaimana dengan program Bapak yang melarang study tour ke luar kota Pak?” tanya ibu tersebut.
Dedi lantas bertanya tentang besaran biaya yang dibebankan kepada wali murid. Sang ibu menjelaskan bahwa sejak tiga tahun lalu, para orang tua telah diminta membayar iuran sebesar Rp 150.000 per bulan, yang ditujukan untuk kegiatan akhir tahun. Di samping itu, mereka juga harus membayar sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) dengan nominal yang sama, sehingga total pengeluaran bulanan mencapai Rp 300.000.
“Jadi sama SPP-nya Rp 300.000. Terus kami diwajibkan membayar pembayaran akhir tahun dan lain-lainnya,” ungkap sang ibu.
Setelah pernyataan tersebut menjadi viral di media sosial, pihak SMK Karya Pembaharuan memberikan klarifikasi. Mereka menyatakan bahwa kegiatan yang direncanakan bukanlah study tour, melainkan kegiatan perpisahan siswa. Meski demikian, pihak sekolah akhirnya memutuskan untuk membatalkan seluruh rencana kegiatan ke Bali.
Keputusan tersebut disebut diambil atas permintaan langsung dari Gubernur Jawa Barat, serta mempertimbangkan kondisi ekonomi sebagian besar wali murid.
Kontroversi ini kembali mengingatkan pentingnya transparansi dalam perencanaan kegiatan sekolah, terutama yang menyangkut pembiayaan dari orang tua. Selain itu, polemik ini juga menyoroti sensitivitas sosial dalam dunia pendidikan, di mana kebijakan kegiatan non-akademik semestinya mengedepankan prinsip inklusif dan keadilan sosial. []
Diyan Febriana Citra.