DENPASAR — Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali menduga bahwa menurunnya tingkat hunian hotel di Bali, meskipun jumlah wisatawan yang datang meningkat, disebabkan oleh banyaknya wisatawan asing yang memilih menginap di akomodasi ilegal.
Sekretaris Jenderal PHRI Bali, Perry Marcus, mengungkapkan dalam rapat koordinasi di Denpasar, Senin (28/04/2025), bahwa turunnya okupansi hotel sudah mulai terlihat sejak awal tahun. Penurunannya berkisar antara 10 hingga 20 persen dari rata-rata okupansi normal yang biasanya mencapai 60-70 persen dari total 150 ribu kamar hotel di Pulau Dewata.
“Data yang ada tingkat hunian memang turun dibandingkan dengan kedatangan, khususnya wisatawan asing, akhirnya kita ketemu, ternyata wisatawan ini menginap di akomodasi-akomodasi ilegal, terserap ke sana,” ujar Perry.
Temuan ini, menurut PHRI Bali, bukan sekadar dugaan. Hasil penelusuran mereka menunjukkan bahwa banyak kawasan perumahan dialihfungsikan menjadi tempat menginap seperti vila atau hotel kecil, namun tanpa izin resmi. Hal ini menyebabkan ketimpangan persaingan karena pelaku usaha ilegal tidak membayar pajak dan tidak terdaftar secara resmi.
“Ini sangat memukul karena dengan turunnya okupansi, seperti data dari Bali Hotel Association, mereka akhirnya mode bertahan hidup dengan menjual kamar dengan harga turun,” kata Perry.
PHRI juga mencatat adanya modus penyalahgunaan izin oleh Warga Negara Asing (WNA). Sebagian dari mereka menyewa rumah-rumah warga lokal dengan harga murah, lalu menyewakannya kembali kepada turis lain dengan harga lebih tinggi. Bahkan ada WNA yang memanfaatkan nama warga negara Indonesia untuk mendapatkan izin kepemilikan akomodasi.
Perry menambahkan, akomodasi ilegal sering kali menawarkan tingkat privasi lebih tinggi dibanding akomodasi legal. Namun dari sisi fasilitas dan harga, perbedaannya tidak signifikan.
Ia juga menegaskan, dugaan ini diperkuat oleh data dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Bali. Pada 2023, pembangunan hotel cukup tinggi, namun pada 2024, tren beralih menjadi pembangunan perumahan, yang diduga dijadikan akomodasi terselubung.
Menanggapi persoalan ini, Deputi Bidang Industri dan Investasi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Rizki Handayani Mustafa, menyatakan bahwa pihaknya akan melakukan kajian mendalam terhadap fenomena ini.
“Tujuannya kita bertemu untuk ini sekarang karena harus kesepakatan bersama antara pemerintah dan semua pentahelix untuk kemudian melakukan ini (penelusuran), kita harus berdasarkan data jadi penguatan data base ini akan kita kembangkan,” kata Rizki.
Ia juga menyoroti peran platform pemesanan digital yang turut memfasilitasi beredarnya akomodasi-akomodasi ilegal tersebut. Saat ini, belum ada angka resmi yang menunjukkan jumlah pasti akomodasi tidak berizin di Bali. []
Diyan Febriana Citra.