MATARAM – Terdakwa kasus dugaan pelecehan seksual, I Wayan Agus Suartama alias Agus Buntung, kembali menjalani sidang di Pengadilan Negeri (PN) Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), pada Senin (05/05/2025). Dalam sidang tersebut, jaksa penuntut umum (JPU) membacakan tuntutan terhadap Agus yang dihadapkan pada pasal terkait tindak pidana kekerasan seksual.
Agus Buntung dituntut dengan hukuman penjara selama 12 tahun dan denda sebesar Rp 100 juta subsider dua bulan kurungan. Tuntutan ini diajukan berdasarkan keterangan saksi-saksi, ahli, dan beberapa alat bukti yang menunjukkan bahwa Agus telah melanggar Pasal 6 huruf C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Menurut Pasal tersebut, seseorang yang menyalahgunakan kedudukan atau kepercayaan untuk memaksa atau menyesatkan orang lain untuk melakukan atau membiarkan perbuatan cabul, dapat dijatuhi pidana penjara paling lama 12 tahun dan denda paling banyak Rp 300 juta.
JPU Ricky Febriandi menjelaskan bahwa dalam kasus ini, Agus telah terbukti menggunakan tipu muslihat dan memanfaatkan ketergantungan korban untuk melakukan tindakan bejat tersebut. Ricky juga mengungkapkan bahwa hal yang memberatkan Agus adalah perbuatan ini mengakibatkan trauma pada korban dan meresahkan masyarakat sekitar. Selain itu, Agus tidak menunjukkan penyesalan atas perbuatannya dan bahkan terus membantah tuduhan tersebut.
“Ini korbannya lebih dari satu, perbuatan ini juga menjadi alasan kami memberatkan tuntutan karena meresahkan masyarakat, juga menimbulkan traumatik terhadap para korban,” ujar Ricky usai persidangan.
Namun, ada pula hal yang meringankan Agus, yakni kenyataan bahwa dia belum pernah dihukum sebelumnya. “Yang meringankan, Agus tidak pernah dihukum,” tambah Ricky.
Sidang ini akan dilanjutkan dengan agenda pembelaan dari terdakwa yang rencananya akan digelar pada Rabu, 14 Mei 2025. Agus diberikan kesempatan untuk menyampaikan pleidoi atau nota pembelaannya di depan majelis hakim.
Kasus yang menjerat Agus Buntung ini menjadi perhatian masyarakat karena melibatkan beberapa korban, dan diharapkan dapat menjadi pelajaran dalam penegakan hukum terkait kekerasan seksual di Indonesia. []
Diyan Febriana Citra.