SAMARINDA – Jalan Tol Balikpapan–Samarinda (Balsam) kembali menjadi sorotan usai insiden kecelakaan tunggal yang menimpa sebuah bus penumpang di kilometer 70, Kamis (22/5/2025). Diduga akibat pecah ban, kendaraan keluar jalur dan menghantam pembatas sebelum akhirnya berhenti di area rerumputan dekat pintu keluar.
Tol sepanjang 99,35 kilometer yang diresmikan Presiden Joko Widodo pada Agustus 2021 ini awalnya digadang sebagai jalur strategis penghubung Ibu Kota Nusantara (IKN). Namun, seiring waktu, pengguna jalan mengeluhkan minimnya aspek keselamatan dan kualitas jalan yang dianggap tidak sesuai dengan tarif yang dibayarkan.
Salah satu pengguna tol, Agus Susanto, dalam catatan reflektifnya menyebut bahwa setiap kali melintasi jalur ini, pengendara harus menyiapkan lebih dari sekadar saldo e-toll. “Jalan bergelombang, aspal tidak rata, bahkan ada titik yang ambles. Ini bukan jalan tol, ini seperti arena uji nyali,” tulisnya.
Tarif yang dikenakan pun dinilai tidak sebanding dengan kondisi jalan. Untuk kendaraan Golongan I, tarif dari Manggar ke Simpang Mahkota II bisa mencapai Rp146.500. Namun, pengguna tidak mendapat jaminan kenyamanan ataupun keamanan.
Sejak 2021, sejumlah kecelakaan telah tercatat, sebagian besar akibat faktor kelelahan, kecepatan tinggi, dan pecah ban—semuanya diperparah oleh kondisi jalan yang tidak prima. Pada April 2024, dua insiden maut di KM 55 dan KM 77 menewaskan tiga orang. Teranyar, pada Februari 2025, kecelakaan melibatkan truk dan mobil pribadi mengakibatkan satu orang kritis.
Tak hanya ruas utama, akses menuju pintu tol dari Jembatan Mahkota II Samarinda juga disebut rusak dan belum mendapat perbaikan berarti sejak beberapa tahun terakhir.
Fasilitas pendukung pun minim. Hanya dua rest area tersedia: di KM 36 dan KM 37, masing-masing ke arah Samarinda dan Balikpapan.
Pengamat transportasi menilai sudah saatnya pemerintah dan pengelola tol melakukan audit menyeluruh dan perbaikan total. “Ini bukan sekadar soal panjang jalan atau nilai investasi. Ini soal keselamatan warga negara yang membayar untuk layanan publik yang semestinya aman dan layak,” ujar seorang narasumber yang enggan disebut namanya.[]
Putri Aulia Maharani