Pernikahan Anak di NTB Dinilai Rampas Hak Anak

Pernikahan Anak di NTB Dinilai Rampas Hak Anak

JAKARTA – Praktik pernikahan anak kembali menuai sorotan setelah viralnya video pernikahan antara siswi SMP dan siswa SMK di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB). Video yang memperlihatkan prosesi pernikahan adat tersebut menjadi perhatian publik, termasuk dari pemerintah pusat.

Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Veronica Tan, menyatakan keprihatinannya atas kejadian tersebut. Ia menyoroti praktik “merarik” atau kawin lari yang masih dijadikan pembenaran dalam budaya setempat, meskipun jelas bertentangan dengan hukum yang berlaku.

“Kami sangat prihatin atas masih berlangsungnya praktik perkawinan anak yang dibalut dalam budaya merarik, khususnya di NTB yang termasuk daerah dengan tingkat perkawinan anak tertinggi di Indonesia,” ujar Veronica kepada wartawan, Minggu (25/05/2025).

Menurutnya, budaya dan tekanan sosial menjadi pemicu utama pernikahan dini. Tak sedikit keluarga yang memandang perkawinan sebagai jalan keluar dari persoalan ekonomi atau sebagai upaya menjaga kehormatan keluarga. Namun, dampaknya terhadap anak-anak justru sangat merugikan.

“Realitanya, perkawinan anak justru menjadi pintu awal penderitaan bagi anak-anak kita. Mereka belum memahami konsekuensi dan tanggung jawab besar dalam kehidupan berumah tangga. Hak anak atas pendidikan, tumbuh kembang, dan menikmati masa kanak-kanaknya dirampas oleh praktik ini,” tambah Veronica.

Secara hukum, praktik ini juga melanggar Undang-Undang Perkawinan yang telah menetapkan batas usia minimal pernikahan adalah 19 tahun, sesuai putusan Mahkamah Konstitusi. Selain itu, ketentuan ini juga sejalan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Kementerian PPPA meminta seluruh pihak untuk tidak menormalisasi praktik perkawinan anak, apa pun bentuk atau bungkus budayanya. Diperlukan keterlibatan semua pihak untuk menghentikan praktik ini demi perlindungan dan masa depan anak-anak Indonesia, tegas Veronica.

Pasangan yang menikah dalam kasus ini diketahui adalah SMY (15), siswi SMP dari Desa Sukaraja, Kecamatan Praya Timur, dan SR (17), siswa SMK dari Desa Braim, Kecamatan Praya Tengah. Proses pernikahan mereka sempat direkam dan diunggah ke media sosial, memperlihatkan SMY yang berjoget saat prosesi adat berlangsung. Hal ini memunculkan kekhawatiran mengenai kondisi psikologisnya.

Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram, Joko Jumadi, mengatakan bahwa pihaknya belum dapat menyimpulkan kondisi mental mempelai perempuan. Pemeriksaan medis akan dilakukan untuk memastikan hal tersebut.

“Kami belum bisa memastikan itu. Nanti pada proses pemeriksaan kepolisian. Kita tidak bisa menjustifikasi kenapa-kenapa, semua harus melalui pemeriksaan tenaga medis, dan itu akan kita lakukan,” kata Joko.

Kasus ini kini tengah ditangani oleh pihak berwenang, sementara masyarakat dan pemerhati anak menunggu langkah konkret untuk mencegah agar kejadian serupa tidak terulang. []

Diyan Febriana Citra.

Berita Daerah Hotnews