Peringatan Hari Anti Tambang 2025: “Ekstraktivisme Merusak”

Peringatan Hari Anti Tambang 2025: “Ekstraktivisme Merusak”

SAMARINDA – Peringatan Hari Anti Tambang 2025 menjadi ajang perlawanan masyarakat sipil terhadap praktik ekstraktivisme yang dinilai merusak ruang hidup dan masa depan rakyat, khususnya di Kalimantan Timur. Dalam aksi yang digelar di Samarinda, Rabu (28/5/2025), para aktivis mengecam keras agresivitas industri pertambangan batu bara yang dinilai semakin tidak terkendali.

“Ekstraktivisme bukan hanya soal tambang. Ini adalah sistem ekonomi yang menggantungkan diri pada eksploitasi tanpa batas. Sistem ini sedang menggali kuburnya sendiri,” ujar Mareta Sari, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim.

Dalam aksi tersebut, ekstraktivisme disoroti sebagai bentuk “bunuh diri massal” yang terus dilestarikan demi keuntungan segelintir elite. Para peserta aksi menyatakan bahwa narasi transisi energi justru dijadikan pembenaran untuk memperluas wilayah eksploitasi, termasuk dalam proyek pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) baru, bendungan PLTA di Kalimantan Utara, serta ekspansi tambang nikel dan panas bumi.

Kritik terhadap Pemerintah dan Oligarki Tambang

Kebijakan Presiden Prabowo juga menjadi sorotan. Para aktivis menilai, alih-alih menata ulang kebijakan lingkungan, pemerintah justru memperkuat dominasi oligarki tambang melalui proyek-proyek strategis nasional. Berbagai insentif dan kemudahan perizinan kepada korporasi pertambangan dinilai abai terhadap keadilan ekologis dan sosial.

“Pemerintah seperti memberi karpet merah bagi perusahaan tambang, sementara warga dibiarkan bergulat dengan bencana yang ditimbulkannya,” ujar salah satu orator aksi.

Bencana Ekologis dan Kekerasan Struktural

Aksi ini juga menyoroti deretan dampak serius dari pertambangan. Di antaranya adalah kriminalisasi terhadap warga adat, banjir dan longsor akibat alih fungsi lahan, serta kerusakan lingkungan yang belum dipulihkan. Di Kalimantan Timur, lebih dari 5,3 juta hektare lahan telah dikapling untuk konsesi tambang batu bara.

Di sektor hukum, Jatam mencatat kerugian negara akibat korupsi dana jaminan reklamasi mencapai Rp13,12 miliar, dengan nilai kerusakan lingkungan yang belum tertangani mencapai Rp58,54 miliar. Kasus kematian anak-anak yang tercebur ke lubang tambang pun masih terus terjadi tanpa penanganan yang serius.

Keterlibatan aparat keamanan dalam mengamankan proyek-proyek tambang juga disorot. Alih-alih melindungi warga, aparat justru kerap digunakan untuk membungkam protes masyarakat. Tekanan terhadap jurnalis yang meliput konflik pertambangan juga semakin intens.

Perlawanan dari Tapak dan Inisiatif Rakyat

Meskipun dihadapkan pada tekanan, perlawanan masyarakat tetap tumbuh di berbagai wilayah. Di Sanga-Sanga, warga membangun “tembok pisang” untuk menutup lubang bekas tambang. Di Batu Kajang, Muara Kate, dan Loa Sumber, warga melakukan penjagaan malam, membentangkan spanduk penolakan, dan menutup akses jalan tambang.

Sementara itu, pemuda di Sumber Sari, Kutai Kartanegara, memilih mengembangkan ekonomi alternatif berbasis pertanian dan perikanan. Mereka menolak kehadiran tambang dan mengusung slogan: “Ekonomi sayur sawi dan ikan nila lebih sehat dari batu bara.”

“Kami tidak akan lupa. Kami tidak akan diam. Lubang-lubang tambang telah membunuh anak-anak kami dan kami akan terus menuntut keadilan,” tegas Eta, salah satu peserta aksi.

Empat Tuntutan Masyarakat

Sebagai sikap politik kolektif, aksi Hari Anti Tambang 2025 menyampaikan empat tuntutan utama:

1. Pemulihan lingkungan atas pencemaran dan kerusakan yang terjadi di Kalimantan Timur.

2. Penegakan hukum terhadap berbagai pelanggaran pertambangan, termasuk reklamasi ilegal, korupsi SDA, dan pelabuhan batu bara ilegal.

3. Perlindungan terhadap warga dan aktivis yang memperjuangkan hak atas lingkungan dan ruang hidup yang aman.

4. Penghentian seluruh proyek ekstraktif yang tidak adil bagi rakyat dan lingkungan.

Aksi ini menjadi pengingat bahwa perjuangan melawan ekstraktivisme bukan hanya soal lingkungan, tetapi juga soal keberlanjutan hidup dan keadilan antargenerasi.[]

Putri Aulia Maharani

Berita Daerah